15. Armana Grup

1 0 0
                                    

Pagi itu Nana bangun dengan suasana hati yang buruk. Belakangan ini dia tidak dapat tidur dengan nyenyak karena Cahaya. Gadis jalang itu berpacaran dengan Hendro demi membuatnya cemburu. Hendro sama sekali buta betapa liciknya Cahaya. Dia telah membohongi seluruh keluarganya selama bertahun-tahun berpura-pura bodoh dan polos. Dengan wajah kusam Nana duduk di meja makan dan meraih gelasnya yang berisi susu, meneguknya lalu mulai meraih sendok garpunya untuk mulai melahap sarapannya.

Hana melihat wajah Nana yang kusam bertanya dengan penuh perhatian, "Ada apa Na? kau tidak enak badan?"

"Apa lagi kalau bukan karena gadis liar itu. Dia berpacaran dan tidur dengan Hendro hanya demi membuat hidupku sengsara. Karena Dia tahu aku menyukai Hendro dia merayunya dan dengan licik menjebak Hendro untuk tidur dengannya. Gadis jalang itu benar-benar liar dan menjijikkan." Nana tidak lagi menahan caciannya terhadap Aya. Sebenarnya selama ini juga dia tidak pernah benar-benar menahan kata-katanya. Perbedaanya adalah sekarang dia memanggil Aya dengan sebutan yang sangat kasar sementara sebelumnya dia hanya menggunakan panggilan seperti si bodoh atau idiot.

"Apa yang membuat putri papa marah-marah sepagi ini?" Rianto yang baru saja turun dari lantai dua mendengar makian Nana. Dengan senyuman memanjakan dia menatap putrinya yang menggigit rotinya dengan kesal.

"Kau tahu apa yang dilakukan Aya, Papa? Dia sekarang telah menjadi nakal dan tidak bermoral. Dia tidur dengan pria di kampus dan terang-terangan membanggakannya di depan umum. Menjijikkan dan tidak bermoral sama sekali." Tak puas dengan ceritanya, Nana menambahkan. "Dia tidur dengan pria itu hanya karena aku menyukainya dan dia ingin aku cemburu. Aku tidak pernah tahu kalian mendidiknya dengan cara yang salah atau dia tidak pernah mengindahkan didikan kalian sehingga dia berani melakukan hal tidak bermoral seperti itu. Bagaimana kalau orang-orang berpikir aku sama sepertinya dan aku tidak bisa menikah ke keluarga baik dan terpandang? Dia menghancurkan masa depanku. Dia merebut masa depanku yang cemerlang sebagai nyonya Armana." Rutuk Nana.

"Armana? Maksudmu keluarga Armana pemilik Armana Grup?" Hana menatap Nana terbelalak. Dia tidak percaya apa yang didengarnya.

"Ya Mama, Hendro Armana pewaris tunggal Armana Grup. Aku sudah menyukainya sejak lama dan dia juga tertarik padaku, namun karena gadis jalang itu menjebaknya untuk tidur dengannya makanya Hendro sekarang menjadi pacarnya. Kenapa dia selalu ingin merebut semuanya dariku."

"Tenang, dia tidak akan bisa melakukannya. Papa akan memastikannya tidak bisa bersama dengan Pewaris keluarga Armana." Rianto tersenyum pernuh arti pada Nana.

"Benarkah Papa? Papa bisa membuat mereka berpisah?" Tanya Nana dengan mata berbinar.

"Tentu saja sayang, bukan hanya itu, papa akan coba berbicara dengan Direktur Armana Grup untuk menjodohkan mu dengan anaknya.

"Benarkah? Makasih Pa, Papa memang yang terbaik!" Nana kegirangan memeluk Rianto. Keluarga itu melanjutkan sisa sarapan mereka dengan girang.

Dipihak lain Aya juga sedang sarapan dengan girang. Hari ini Hendro berjanji menemaninya pergi berbelanja perlengkapan untuk mendaki. Ini pertama kalinya seumur hidupnya dia dapat pergi mendaki. Selama ini dia tidak pernah diijinkan untuk mengikuti kegiatan sekolah apapun di luar pelajaran inti. Rianto beralasan kalau Aya akan mudah teralihkan perhatiannya dank arena prestasi sekolahnya yang sudah buruk, maka sebaiknya dia fokus dan tidak banyak mengikuti kegiatan yang bisa mengurangi waktu belajarnya. Tentu saja semua alasan itu hanya untuk membatasi pergaulan Aya dan memudahkan mereka mengawasi gerak-geriknya.

Bi Mun melihat Aya yang berseri-seri sejak keluar dari kamarnya. "Ada hal yang baik terjadi? Kau terlihat sangat senang Aya." Bi Mun menuangkan jus jeruk untuk Aya sebelum duduk di tempatnya dan mulai mengoleskan selai cokelat ke roti. Bi Mun meletakkan roti yang sudah diberi selai itu pada piring Aya dan melanjutkan untuk membuat roti untuk dirinya sendiri.

"Hari ini aku akan pergi membeli perlengkapan untuk mendaki bersama Hendro. Aku sangat senang ini pertama kalinya aku bisa ikut kegiatan klub." Aya menjelaskan.

Bi Mun tersenyum penuh arti pada Cahaya. "Oh..." Gumannya.

"Apa? Aku benar-benar senang karena bisa mendaki, jangan berpikir yang tidak-tidak."Aya mengerucutkan mulutnya berusaha menutupi rasa malunya.

"Bibi tidak bilang apa-apa Non." Bi Mun menjawab dengan lugu namun cengiran di wajahnya menghianatinya.

"Bi Mun!" Wajah Aya semakin memerah.

Selesai makan Aya bersiap pergi ke kuliah rencananya dirinya dan Hendro akan pergi membeli perlengkapan mendaki setelah selesai kuliah. Saat mata kuliah 'Public Relation' sedang berlangsung, Aya mendapat pesan dari ayahnya yang meminta dia pulang ke rumah. Dalam pesan singkat itu Rianto hanya menuliskan dengan singkat, 'Pulang sekarang juga'. Membaca pesan itu Aya hanya menyengir sinis lalu menghiraukannya.

Selesai pelajaran, Aya keluar dari kelas menuju tempat parkir. Hendro dan dia berjanji akan bertemu disini. Aya memilih berdiri di bawah pohon lebat untuk menghindari matahari yang terik. Saat tengah menunggu sambil melihat pesan di telepon genggamnya, Nana menghampirinya, "Kau tidak melihat pesan dari Papa? Kenapa kau masih di sini?". Melihat senyuman merendahkan di wajah Nana membuat Aya ingin menamparnya.

"Kenapa?"

"Saat kau pulang kau juga akan tahu. Kenapa tanya aku!" dengus Nana.

"Maksudku kenapa aku harus pergi saat disuruh? Jika Rianto ada keperluan suruh dia hubungi Pak Andi untuk membuat janji."

"Kau pikir siapa kau? Membuat janji? Sepenting apa dirimu sampai Papa harus membuat janji untuk bertemu denganmu?"

"Sepenting apa aku tidak tahu, yang kutahu aku pemilik perusahaan tempatnya bekerja, dia hanya salah satu karyawanku. Kau mungkin tidak tahu hal ini, mengingat kau belajar lebih jarang dari kau memiliki niat baik, tapi tidak semua orang sesenggang dirimu tahu!"

"Kau! Beraninya kau! Kita lihat saja apa yang akan terjadi saat Papa tahu ini."

"Well, you know what? I don't care!"

"Aya?" Hendro menghampiri mereka.

"Kak Hendro..." Nana menatap Hendro penuh harapan, berharap Hendro meliriknya.

"Kau sudah menunggu lama?" Hendro seolah tidak mendengar Nana, bertanya pada Aya.

"Tidak." Jawab Aya sambil menyerahkan tasnya saat Hendro berinisiatif mengambilnya dari bahu Aya dan menyampirkan ke bahunya sendiri.

Tindakan kecil ini membuat Nana merasa sakit hati. Bukan hanya itu, Hendro juga menggandeng tangan Aya menuju ke mobilnya, membukakan pintu untuk gadis itu sebelum masuk. Dengan mata berkaca-kaca Nana menatap penuh dendam pada Aya. 

CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang