Ayah

79 88 91
                                    

"Assalamu'alaikum, Abah pulang." Salam nya dengan senyum yang tak luntur dari bibir nya.

"Waalaikumsalam."

"Anak-anak dimana?"

"Rai di kamar, Rafka belum pulang, Kak Awa belum pulang." Jawab mamah.

Rai keluar dari kamar, Salim kepada Abah terlebih dahulu lalu dia kembali duduk sambil menonton tv.

"Yaudah kalau gitu Abah mandi dulu." Pamit nya untuk ke kamar diikuti mamah di belakang nya.

Rai sedang menunggu Ayah nya, tadi di telepon beliau berkata ingin menjemput Rai. Tidak tahu untuk apa tapi dari nada nya tidak ingin di bantah.

Tak berselang lama Rafka pulang diikuti dengan kedatangan Ayah Rai di belakang Rafka.

"Masuk om, itu Teh Rai nya kebetulan lagi nonton tv." Kata Rafka mempersilahkan Ayah untuk duduk.

"Teh Rai, om ini kata nya mau ketemu." Ucap Rafka saat mata nya bertubrukan dengan mata ku.

"Keluar," ujar ku tanpa mengindahkan ucapan Rafka.

Aku bangkit dari duduk, dan menghampiri Ayah. Dan Rafka langsung pergi tidak ingin ikut campur.

"Keluar, kita bicara di luar."

"Kenapa sih Rai? Gak sopan banget, Ayah baru nyampe siapin minum. Ayah tamu di sini." Jelas nya.

"Aku kasih minum, tapi Ayah keluar! Kita bicara diluar." Desis ku.

"Kenapa sih? Ayah duduk di sini kamu gak suka banget. Ayah gak mau berdebat sama kamu, sekarang kemas baju-baju kamu. Kita ke Bekasi sekarang nenek meninggal." Jelas nya mulai marah.

"Ini bukan rumah aku! Dan aku gak mau ikut ke Bekasi."

"Kenapa? Dia nenek kamu." Kata nya.

"Jangan paksa aku untuk kali ini aku gak mau turutin permintaan Ayah."

"Raisya! Ayah bilang beresin pakaian kamu! Oke, kita cuma sehari ikut menguburkan." Putus nya final.

"Kenapa aku harus ikut? Apa partisipasi nya sebagai nenek kepada cucu nya ini hah? Aku gak peduli! Aku gak peduli mau dia meninggal pun aku gak peduli!" Teriak ku.

"Raisya!" Bentak nya dengan tangan yang siap menampar.

"Stop!" Teriak Abah di tangga menghentikan niat Ayah.

"Tolong bicarakan baik-baik." Kata Abah sambil mengelus pundak ku pelan.

"Saya tidak ada urusan dengan anda."

"Tapi anda membuat keributan di rumah saya."

"Raisya, Ayah bilang turuti ucapan Ayah. Apa alasan kamu benci sama nenek? Dia baik, kerabat-kerabat Ayah baik sama kamu dan Adek mu. Tapi apa ini balasan kamu?"

"Baik? Gak pantes seorang nenek ngejelekin aku di belakang! Ngebanding-bandingin aku sama cucu-cucu kesayangan nya. Aku punya hati! Aku sakit hati sama omongan keluarga Ayah."

"Ayah tahu? Waktu ayah pergi ninggalin aku sama Ica, aku minta ke nenek untuk kasih aku uang buat periksa Ica ke dokter, tapi apa? Aku kira setelah di jelek-jelekin bakal di kasih tapi enggak! Keluarga ayah juga sama semua! Mana yang kata nya kaya, dosen, guru, pengusaha. Gak guna! Aku punya dendam sama mereka, jadi aku mohon aku gak sudi untuk ke Bekasi lagi."

"Dengar? Rai tidak mau, jangan paksa lagi." Ucap Abah memeluk ku, tetesan air mata perlahan tumpah berlomba-lomba untuk keluar.

"Seharusnya kamu berpikir, kenapa anak-anak kamu tidak mau mengunjungi keluarga dari ayah nya. Pasti ada yang salah dengan keluarga mu, jangan salah kan anak." Kata mamah ikut memojokkan Ayah.

"Ayah potong jatah uang untuk hobi kamu!" Ancam nya.

"Jangan mengancam seperti itu, tidak rugi jika anda tidak menafkahi anak-anak anda, sekarang ada saya. Mereka juga ikut menjadi bagian dari anak-anak saya." Kata Abah.

"Saya mohon, silahkan tinggalkan rumah ini. Sudahi membuat keributan di sini." Ucap Abah mengusir nya dengan halus.

Tak terima dengan ucapan Abah, Ayah langsung keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku menghapus air mata yang sempat keluar tadi, lalu segera melepaskan diri dari pelukan Abah dan pergi ke kamar tanpa sepatah kata pun.

***

Hingga waktu makan malam pun Rai masih belum ada tanda-tanda akan keluar dari kamar.

Sebenarnya tidak ada niatan sedikit pun untuk keluar kamar, tapi Rai kembali mengingat ia tidak ingin terkena penyakit maag yang akan merepotkan pihak manapun. Maka dari itu, dengan amat sangat terpaksa Rai memesan makanan via Gofood.

Tidak lama, hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk menunggu makanan datang, dan saat pagar rumah terdengar berisik Rai buru-buru keluar untuk membawa makanan nya ke kamar sebelum ada yang mengambil duluan.

"Ini, udah mamah bayar." Kata nya saat aku baru akan menutup pintu kamar dari luar.

Tanpa basa-basi aku langsung mengambil makanan nya, dan berniat langsung masuk ke kamar sebelum suara itu mengintrupsikan untuk makana di depan televisi.

"Mamah ambilin minum ya,"

Aku menatap kepergian nya dengan datar.

Setelah kembali dari dapur pun, keadaan kembali hening, aku tidak berniat untuk menyalakan televisi dan bersuara terlebih dahulu.

"Kenapa kamu gak ngomong sama mamah waktu itu?" Tanya nya ketika melihat makanan ku habis.

"Buat apa? Toh ujung-ujungnya yang ada bakal jadi panjang, dan gak ada solusi sama sekali."

"Tapi dengan kamu cerita setidaknya mamah tau-"

"Apa yang bakal mamah lakuin kalau aku bilang? Gak ada! Jadi stop ngomongin itu." Potong ku menatap nya tajam.

Kejadian dimana aku minta uang untuk pengobatan Ica itu mamah yang menyusun rencana, saat itu mamah gak ada uang untuk periksa Ica yang pada saat itu ada benjolan di vagina nya.

Aku diantar mamah untuk kerumah nenek, tapi mamah nunggu aku dirumah teman nya, sedangkan aku diantar oleh ojek yang disewa untuk mengantarkan aku.

Aku masih ingat, dulu aku kelas lima sd, dan sekarang kelas 2 sma, tapi luka itu masih tersimpan rapat dihati dan gak ada yang tahu dengan jelas apa yang nenek dan tante katakan pada saat itu.

"Maaf, andai dulu mamah gak ikutin kamu dalam rencana itu, mungkin kamu gak bakal ikut-ikutan benci sama keluarga pihak ayah kamu,"

"Tapi tenang, sekarang kamu gak bakal kesusahan lagi, adik kamu juga sama. Dan sekarang tugas kamu cuma belajar, mau bagaimana pun kondisinya, inget kamu harus bayar kesakitan kamu dengan prestasi." Lanjut nya sambil menatap mataku.

Aku langsung pergi ke kamar tanpa menjawab nya. Aku mengerti tujuan mamah memang bagus, ingin aku tidak di pandang buruk oleh keluarga ayah. Tapi dengan ucapan nya yang seperti itu sama-sama menyakiti itu. Aku seperti ditekan sana sini untuk terus menjadi orang yang sempurna, dan kadang bukan kapasitas ku untuk terus menerobos pelajaran yang memang aku sendiri tidak paham. Tapi, jika aku menyerah mereka akan dengan ganas memarahi ku.

Self MaturationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang