Move to Jakarta

134 130 226
                                    

Aku kira amarah nya akan meledak, ternyata Ayah masih bisa menahan nya. Dia mengancam kalau aku kembali turun, dan tidak balik lagi ke posisi awal juara 1, maka dia tidak akan memberi uang untuk jatah kanvas.

Hobi ku melukis, dan tentu saja aku butuh kanvas, cat, dan kuas. Aku meminta Ayah untuk selalu memberikan uang untuk jatah hobi ku yang mahal itu.

Sebenarnya aku menemukan bakat melukis itu baru terlihat saat kelas 1 SMA, baru-baru ini. Saat itu ada tugas melukis, dan aku kecanduan sampai sekarang. Selain melukis, aku juga suka menulis fiksi, banyak cerita yang aku selesaikan di wattpad. Jika pun uang dari ayah sudah tidak dikasih, maka dengan terpaksa aku harus menerbitkan cerita yang ku tulis menjadi novel, dengan banyak nya pembaca tentu saja tidak akan repot jika aku berbisnis dalam bidang ini.

"Turun kebawah," kata mamah diambang pintu kamar, lalu setelah itu keluar. aku mengikuti nya dibelakang.

"Besok kita pindah, jadi Rai silahkan untuk beres-beres barang yang mau kamu ambil." Jelas mamah saat aku baru saja mendudukkan bokong ku di karpet.

Aku tidak mengindahkan perintah nya, lalu menyalakan televisi yang kebetulan menampilkan film Korea. Tv kabel memang segala ada.

"Rai kamu denger?"

"Nanti aja malam kan bisa."

"Anak itu emang rada susah diatur." Kata mamah pelan, sontak saja aku tertawa.

"Kenapa kamu?" Tanya mamah tidak sadar aku menertawakan ucapan nya yang kelewat lucu itu.

Aku tidak menghiraukan nya, lalu pergi ke dapur untuk mengambil buah.

Di kulkas sepertinya masih ada jeruk sisa tadi. Aku suka buah-buahan, suka sayur-sayuran, dan gak suka pizza.

"Wah ada mangga, kapan beli nya? Pelit banget gak ngasih tau." Gumam ku pelan dan membawa 2 buah mangga ke belakang rumah untuk di kupas.

Mangga-mangga ini manis sekali, seperti nya ini spesies aromanis. Aku terlalu fokus memotong-motong mangga sampai tidak menyadari ada seseorang yang duduk disebelah ku.

"Rai gak suka ya mamah nya nikah lagi?" Tanya seseorang mengagetkan nya.

"Gak tau," jawab ku.

"Atau Rai gak suka sama Abah?" Tanya Abah sekali lagi.

"Gak ada alasan untuk suka atau gak suka sama Abah."

"Tadi Abah liat ada ruangan yang isinya penuh lukisan. Terus kata Wa Utin, itu kamu yang ngelukis. Bagus banget tau Rai, suka ikut lomba gak?" Kata nya antusias.

"Enggak."

"Yah, kenapa?"

"Males, ikut lomba banyak tekanan."

"Kalau Rai butuh apa-apa bilang aja sama Abah, atau mau Abah beliin kanvas?" Tawar nya membuat ku tergiur.

Belum sempat aku menjawab, Abah lebih dulu terkekeh, "nanti Abah beliin 2 waktu pulang ke Jakarta ya."

Aku menatap nya tak suka, "sogokan?"

"Ey! Soudzon kamu, nanti kalau ada kanvas itu berarti dari Abah. Kamu ditawarin kanvas mata nya udah berbinar gitu, jadi Abah gak tega kalau php-in kamu." Jelas nya terkekeh sekali lagi, lalu beranjak dari duduk untuk masuk kedalam.

"Oh iya, itu buah Abah yang beli loh, khusus buat kamu, manis gak?" Tanya nya sekali lagi.

"Manis, makasih." Setelah itu, ia benar-benar masuk kedalam.

Self MaturationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang