"Yang mulia, gerakanmu sangat mudah ditebak" Perkataan Arlen memang ada benarnya. Sebelum aku memasuki tubuh Leo, mungkin Leo selalu bertarung menggunakan instingnya, tetapi tidak denganku. Aku bukanlah sosok jiwa hewan buas yang selalu bertindak dengan instingnya. Aku selalu memikirkan apa yang kulakukan dari gerakan ke gerakan lainnya. Ini mungkin akan sedikit menguntungkan lawanku jika ia adalah petarung veteran.
Aku terus menggerakkan tubuh dan pedangku dengan cepat sambil mencari celah di setiap gerakan Arlen. Tapi karena ia adalah prajurit veteran, membuat semua seranganku berhasil ditahan dengan mudah. Setiap kali aku mau mundur untuk mengambil nafas, Arlen malah maju dengan serangan yang sangat kuat. Tebasan dari tangan kirinya langsung diarahkan ke lengan kiriku. Aku langsung menarik pedang dari bawah lenganku dan menahan serangan Arlen. Sepertinya tidak cukup untuk menahannya dengan satu tangan. Aku hampir dibuat tunduk dan jatuh ke bawah. Benar-benar kekuatan yang mengerikan.
Arlen mundur dengan hati hati. Aku berpikir untuk berdiri tegak kembali, tapi rasanya sangat sulit.
"Sepertinya sudah cukup untuk hari ini, yang mulia" Selesai dengan ucapannya itu aku langsung jatuh terduduk dengan napas yang sedikit sesak serta keringat yang terus bercucuran. Bagaimana tidak, aku dan Arlen terus beradu pedang selama kurang lebih 30 menit.
"Kau benar-benar tidak menahan diri, Arlen" Jawabku dengan napas yang hampir habis.
"Kau sangat berbeda dengan pertarungan kita yang terakhir, yang mulia" Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini akan berlanjut.
"Kau terlalu banyak berpikir, yang mulia. Memang itu sangat bagus, tapi cara bertarung seperti itu akan sangat mudah terbaca oleh musuh" Arlen mengatakan itu dengan penuh perhatian seperti menasehati anaknya sendiri.
"Kau benar, aku juga harus memperbanyak latihan fisik ku agar tidak cepat kehilangan stamina" Jawabku.
"Tapi kau telah berkembang, yang mulia" Arlen mengatakan itu dengan senyum di wajahnya."Oi, yang mulia!" Suara teriakan itu terdengar dari kejauhan. Seorang remaja yang umurnya sama denganku mendekat ke arah kami.
"Kenapa kau ada disini! Kau masih harus istirahat" Ia mengatakan itu dengan wajah khawatir.
"Ayah, apa yang kau lakukan dengan yang mulia. Yang mulia masih harus istirahat. Dengan banyak bergerak, mungkin lukanya akan terbuka lagi.... " Ia terus memarahi Arlen dengan terus berlanjut.Remaja yang seusiaku ini adalah Blake, Blake Cannon. Anak dari Arlen dan Duchess Daisy. Kasus Arlen sedikit berbeda. Arlen adalah murni rakyak biasa tanpa status bangsawan. Tapi dengan prestasinya ia berhasil menikah dengan anak dari seorang Duke. Yah, bisa dibilang mereka juga sepasang kekasih yang akhirnya bisa bersatu. Istri Arlen atau ibu dari Blake adalah salah satu dari menteri keuangan di Kerajaan ini. Blake biasanya akan selalu ada disampingku, tapi karena ada urusan keluarga ia pergi kembali ke kediaman utamanya.
"Kau terlalu berlebihan Blake, aku baik-baik saja... " Tanpa menyelesaikan kata-kataku baju putih yang kukenakan berubah warna menjadi merah. Aku memegangnya dan ternyata itu adalah bercak darah dari lukaku yang kembali terbuka.
"Ahhh, yang mulia, apa kau baik-baik saja" Bale berteriak dengan keras karena mungkin khawatir dengan keadaanku.Kesadaranku juga mulai hilang dan perlahan pingsan dengan tenang. Berkat kejadian itu aku terbaring di kasurku selama 3 hari. Arlen sangat merasa bersalah dengan perbuatannya. Tapi aku tidak membiarkan siapapun menghukumnya, karena dari awal ini adalah kesalahan yang kubuat. Dengan ini aku menjadi kutu buku lagi dan memperbanyak buku yang kubaca. Benar benar luka yang mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Second Life as a Prince
FantasyAku yang tidak berguna dan hanya menjadi beban. Orang menjijikkan sepertiku mendapat kesempatan kedua untuk hidup lebih baik. Tapi malah terjebak di tubuh seorang pangeran yang kejam dan keji. Apakah ini adalah hukuman ku atau ini adalah kesempatan...