Chapter 1

21 1 0
                                    

#Jakarta, 13 tahun kemudian.

———|

Dirgantara International College, adalah kampus elit nan bergengsi yang tidak pernah kekurangan mahasiswa dan mahasiswi setiap tahun ajaran baru berganti. Dibangun di atas tanah seluas dua ratus lima puluh hektar. Benar-benar luas. Tanahnya dibagi sama rata menjadi empat kawasan. Kawasan pertama ialah kawasan barat yang berisikan gedung para dosen, gedung rektorat beserta gedung para staff kampus beserta ruangan kelas mewah dengan mesin pengatur suhu yang komplit untuk perkuliahan pada masing-masing fakultas.

Kampus ini memiliki kantin dengan chef khusus di setiap fakultasnya yang memiliki menu masakan berbeda setiap hari. Lalu kawasan bagian timur terdapat fasilitas olahraga lengkap yang terdiri dari lapangan futsal, basket, voli, bulu tangkis, kolam renang, tenis lapangan, dan lapangan menembak, serta panjat tebing. Di seberangnya juga terdapat ruangan Ukm yang terdiri dari komunitas fotografer, Diving club, Aksarabaca, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di sebelah utara dan selatan berdiri dua buah gedung yang berlawanan satu sama lain yaitu asrama mahasiswa dan asrama mahasiswi. Kampus ini memang sangat mewah sebab menyiapkan dormitory bagi mereka yang tidak ragu untuk berkuliah di sini. Dengan taraf internasional tentunya berisikan mahasiswa yang tentunya tidak abal-abal.

Tahun ajaran baru akan dimulai hari ini. Kampus Dirgantara akan menggelar ospek pada para mahasiswa yang sudah lolos pendaftaran tiga tahap pada registrasi sebulan sebelumnya. Di salah satu dorm putra, sebuah ruangan luas  berisikan lima mahasiswa. Salah satu mahasiswa baru saja keluar dari kamar mandi saat dering teleponnya berbunyi mengusik telinga.

Seraya menggosok air yang masih menetes dari helaian rambut cepaknya. Nama si pemanggil tertera di dalam gawai. Melihat nama tersebut lantas membuatnya berdecak malas. Ia matikan panggilan itu seraya mendesis. "Sampah!" hardiknya.

Dari arah belakang datang suara serak seorang pemuda dengan wajah bantal ia pun menutur. "Hoam... Ngantuk banget Mak!" gumamnya pelan sebelum ia melebarkan netra melihat sang sahabat kini sudah rapi dengan celana jeans hitam bersama hoodie navy bertuliskan CSC beserta lambang pistol yang dililit taipan. "Widih Pak ketu kita nih gercep amat. Selamat pagi, muehehe..." sapanya.

Sosok yang dipanggil dengan embel-embel pak ketua itu hanya mendengkus lalu melemparkan handuk ditangannya tadi yang sudah berbentuk gumpalan menuju wajah si tersangka.

PLAK.

"ADOHHH... Sakit Bos." keluhnya lalu mengusap wajah. "Kalo kegantengan gue ini sampai luntur gimana?" Meskipun ngilu dia tidak berani melempar balik, melempar guling misalnya. Jangankan melempar guling memberi tatapan tajam pun ia mana berani. Bisa-bisa ia ditendang ke Antartika nanti. Hih, seram. Jangan sampai itu terjadi.

"Muka lo emang udah burik dari lahir, jadi kalo luntur pun tinggal masukin wantex aja biar terbarukan lagi." ouch, pedas sekali mulut yang baru saja bicara itu. Di ranjang seberang, seorang pemuda yang juga baru selesai mandi tengah membuka lemarinya mempersiapkan baju pun ikut membuka suara. Pemuda satu ini memang irit bicara kalaupun bicara banyak yang keluar dari mulutnya seperti bisa ular. Beracun dan mematikan.

"Heh, Samiun, diem lo! Sirik aja!" pemuda yang tadinya meringis kini menyahut sewot. Tertinggal bekas kemerahan di wajah tampannya akibat lemparan handuk. Memang tenaga sang ketua tadi tidak main-main.

"Berisik banget woi kalean malem-malem! Tidur ngapa tidur!" teriak sebuah suara yang lain dari pemuda berambut gondrong. Alisnya menukik tajam menggosok kupingnya yang terganggu.

"Eh, ini juga si idiot satu. Udah pagi ini, pagi. Pusing kepala gue lama-lama. Mau mandi lah." pemuda pertama yang bangun tadi beranjak mulai membawa handuk sebelum langkahnya terhenti tiba-tiba saat sebuah tangan asing menyela.

Thalassophile (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang