Pengakuan Dosa

3.1K 504 20
                                    

"Nonton apa, sih, kok sampai nangis begitu?" Arya Alfarizki Pramono duduk bergabung dengan sang anak sulung yang tengah menikmati acara di layar televisi. Kepalanya lantas menggeleng pelan saat mengerti penyebab putrinya itu menangis. Beliau lantas duduk bersandar, agak menyerongkan posisinya supaya bisa menatap anaknya yang telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Waktu begitu cepat berlalu.

Gadis berjilbab warna espresso itu mengusap pipinya yang basah karena air mata. Sekilas ia menatap sang ayah, balas tersenyum lalu dua detik kemudian dia malah menghambur memeluk pria tua tersebut. “Itu ceweknya udah nggak punya ayah. Kasihan banget, Pa,” ucap Ayesha Kinara Pramono, masih dengan tangis sesenggukan.

Arya mengusap-usap puncak kepala sang putri yang tertutup jilbab. Mengusapnya dengan lembut, usapan yang tak pernah berubah sejak dulu. “Cuma sinetron, Kak,” tutur Arya sembari melirik sang istri yang tengah menikmati buah-buahan. Istrinya itu hanya menahan tawa senyum ketika tangis Kinara masih terdengar.

“Tapi kasihan.” Tangis Kinara belum menyurut dan dia malah memeluk ayahnya tersebut semakin erat. Dia tidak bisa membayangkan bila dirinya seperti gadis di dalam sinetron itu. Kinara merasa beruntung karena masih memiliki orang tua yang lengkap dan sehat.

Sinetron itu bercerita tentang kakak beradik yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Seorang kakak yang menjaga adik satu-satunya hingga dewasa dan si kakak pula yang melepaskan adiknya saat menemukan pendamping hidup.

Arya hanya diam dan menunggu hingga tangis sang putri mereda dengan sendirinya. Padahal scene di sinetron telah berganti dengan iklan produk makanan ringan.

"Itu adiknya menikah dan kakaknya yang jadi walinya langsung," ucap Kinara setelah beberapa saat menangis di pelukan sang ayah. Posisi duduknya kini sudah kembali tegak dan mengusap-usap kedua pipinya lagi. Gadis itu kemudian meraih segelas jus jeruk yang esnya sudah hampir mencair semua. Menyedotnya sedikit lalu kembali meletakkannya di atas meja. “Kayak papa pas menikahkan tante Dian dulu itu,” sambungnya lagi.

Arya, ayah dari Ayesha Kinara Pramono itu hanya kembali mengangguk sambil ikut melihat ke arah televisi yang kini sudah kembali menayangkan sinetron. Dia ingat jika dulu dia juga pernah berada di posisi seperti itu saat menikahkan adik bungsunya dengan salah satu sahabatnya. Pria tersebut lalu menengok ke samping kiri ketika bahunya terasa berat. Rupanya sang anak sulung sudah bergelayut manja di lengannya, lagi.

"Pa, nanti kalau aku menikah. Aku nggak usah pakai pesta mewah, ya. Yang penting ada Papa, Mama dan semua keluarga."

Arya tersenyum simpul menanggapi celotehan anak sulungnya. Ayesha Kinara Pramono adalah satu-satunya anak perempuan yang ia miliki. Tentu Arya akan membuatkan pesta semewah mungkin untuk anaknya tersebut. Hari pernikahan Kinara harus menjadi hari yang paling membahagiakan untuk anak gadisnya. "Aduduh anak Papa udah ngomongin nikah aja, kayaknya udah ada calonnya, nih." kelakarnya lalu menarik pelan ujung hidung si anak yang tak terlalu mancung. Air mata gadis itu sudah mengering.

Kinara mengerucutkan bibir ketika hidungnya yang minimalis ditarik begitu. Kedua pipinya lantas bersemu merah karena saat mendengar ucapan dari sang ayah, seketika itu pula ia jadi teringat kepada pria beralis tebal yang saat ini tengah dekat dengannya. Malaikat penolong kala mobilnya mogok di suatu malam, beberapa bulan yang lalu.

"Nggak mau dikenalin ke Papa sama Mama?" tanya Arya saat anaknya itu malah senyum-senyum sendiri.
Arya melirik sang istri lagi, tapi Kinan juga hanya balas menggelengkan kepala, tanda bahwa dia juga belum tahu tentang siapa pria itu.

"Belum saatnya." balas Kinara lalu menarik dirinya menjauh dari lengan sang ayah. "Yang tadi itu beneran lho, Pa. Yang penting lagi, Papa yang harus jadi wali nikahnya langsung. Aku nggak mau kalau diwakilin kayak temenku yang kemarin. Papanya masih ada, tapi malah diwakilin ke wali hakim. Papa 'kan udah pernah menikahkan tante Dian sama om Dean. Jadi pasti berani dong jadi wali nikah lagi," sambung Kinara tanpa memberi jeda, tanpa menyadari perubahan raut wajah dari ayah dan ibunya.

Pria berkepala lima tersebut mencoba memaksakan senyum. Sekilas menatap kepada sang istri yang kini telah meletakkan garpu buahnya.

"Siapa calonnya?" tanya Kinan, sang mama yang mencoba tersenyum sekaligus sedikit mengalihkan pembicaraan. Wanita yang masih amat cantik di usianya yang tak lagi muda itu sama kalutnya dengan sang suami. Bingung harus mulai menjelaskan dari mana.

"Ada deh, aku jamin Mama sama Papa akan langsung suka sama dia. Sholatnya rajin, dia juga pinter ngaji," sahut Kinara sembari tersenyum cerah meski kedua pipinya masih memunculkan semburat merah.

Bukan waktunya masih malu-malu kucing lagi, dia sudah dewasa dan apa gunanya mengulur waktu jika sudah menemukan calon pendamping yang sesuai kriterianya. Lelaki itu pun sudah pernah menyatakan keseriusan kepadanya. "Pokoknya harus Papa sendiri yang nanti jabat tangan calon suami aku. Papa nggak takut, kan?" Kembali menggelayut di lengan sang ayah, Kinara menatap pria berjambang halus itu tanpa menyurutkan senyumnya yang manis.

Arya balas tersenyum kecil. Dalam hatinya berkecamuk perasaan yang tidak menentu. Dia ingin jujur, tapi dia menjadi ragu saat melihat sang istri yang memberi isyarat dari gelengan singkat.

"Papa... jawab iya gitu aja kok lama banget, sih," gerutu gadis itu lalu mengerucutkan bibirnya lagi. Dia memang tipe orang yang akan terus memburu apabila belum mendapatkan jawaban dari pertanyaanya.

"Kak, Papa mau jujur tentang sesuatu sama Kakak," ucap Arya setelah menarik napasnya cukup panjang dan mengembuskanya pelan. Sekali lagi ia melirik sang istri yang sudah menunduk dalam.

"Emang Papa pernah bohongin aku apa?" tanya Kinara yang masih betah menempel pada lengan ayahnya itu. Bagi gadis tersebut, Arya Pramono adalah ayah terbaik sedunia yang tidak akan ada tandinganya. Sosok pria yang menjadi cinta pertamanya. Bahkan, Kinara mematok tentang kriteria seorang pria untuk menjadi pendampingnya kelak harus sama baiknya dengan sosok sang ayah. Dan pria yang saat ini tengah dekat dengannya, sudah cukup mendekati sifat ayahnya tersebut.

"Maaf, Papa nggak bisa jadi wali nikahnya Kakak."

Bersambung.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang