Darah yang mengalir di tubuh Dean seperti tersirap. Dia tahu jika noda masa lalu itu lambat laun pasti akan terkuak, tapi dia tidak pernah menyangka jika Kinara akan bertanya langsung pada Dian dan padanya juga. "Siapa yang berani ngomong begitu sama kamu? Sini kasih tahu Om, biar Om kasih pelajaran," jawabnya sengaja ingin mengalihkan pembicaraan. Kini pria itu tahu maksud cubitan sang istri tadi.
"Om... tolong jawab yang jujur," timpal Kinara yang mengetahui kepura-puraan pria tersebut. Adit, Dian dan Dean... mengapa semuanya senang sekali mengulur waktu dan mengalihkan pembicaraan? Lama-lama gadis itu malah merasa muak.
Dean menarik napasnya dalam-dalam. Menahan sakit karena ujung kakinya yang ada di bawah meja diinjak oleh sang istri. Dean tahu, dia tidak boleh asal bicara di depan gadis pintar ini. "Ara... maafin Om, tapi cuma papa sama mama kamu yang berhak menjawab pertanyaan kamu ini. Yang pasti, kamu adalah anak yang dikirim Allah untuk menyatukan papa sama mama kamu."
Pasang mata gadis berhijab itu kembali memanas, meremang lalu memburamkan pandangan. Sikap Dean malah membuktikan jika benar dia adalah anak haram. Jujur, dalam hati Kinara yang terdalam, dia ingin mendengar penyangkalan dari orang-orang yang sudah ditanyainya itu. Dia ingin bahwa semua yang kemarin dituturkan oleh ayahnya itu hanya bualan. Kinara ingin nasabnya jatuh pada sang ayah.
"Ara ...." Dian beranjak dari tempatnya duduk demi menghampiri sang keponakan.
Tangan kanan Kinara menepis tangan Dian yang akan mengusap bahunya. Mau seberapa besar pun penghiburan dari dokter itu, tetap tidak akan bisa menghapus kesedihan dan kekecewaan yang ia rasakan saat ini. Dengan lirih dia kembali berkata, "jadi cuma aku yang nggak tahu? Om Raka sama Tante Tiara juga tahu 'kan?" Air mata menganak sungai di lekukan hidungnya. Kinara menatap Dean dan Dian yang masih berdiri di sampingnya secara bergantian dengan menggigit bibirnya sendiri, menahan-nahan agar tangisnya tidak semakin deras. "Om... papa bohongin aku 'kan, Om ...?" tanyanya masih berharap adanya sangkalan.
Dian merengkuh bahu Kinara dan memeluknya dengan erat. Ibu tiga anak itu juga sudah tidak sanggup menahan tangisnya. Tidak perduli pada tatapan karyawan restoran yang melihat mereka seperti orang yang penasaran. Untung juga pengunjung restoran tidak begitu banyak karena memang masih jauh dari jam makan siang dan tempat mereka yang berada di sudut. Sementara Dean hanya bisa menunduk sambil mengepalkan tangannya. Matanya juga sudah terasa panas. Ini yang diam-diam ia takutkan sejak dulu, Kinara adalah anak yang pintar dan pasti tidak akan menganggap hal ini lumrah terjadi di masa sekarang. Dean sudah mengira bila Kinara pasti tidak akan menerimanya dengan mudah. Dan ternyata apa yang ia takutkan itu benar-benar terjadi. Kalau dia yang jadi Arya, pasti Dean lebih memilih bunuh diri saja.
"Tante, papa bohongin aku 'kan?" Kinara mengulang pertanyaan yang sama, kali ini ditujukan pada Dian. Bukannya segera membenarkan, tapi Dian malah diam. Membuat Kinara merasa semakin terperosok ke dasar bumi. "Ini nggak adil buat aku, Tante. Aku nggak mau begini. Aku nggak mau jadi anak haram." Tergugu di pelukan Dian, gadis manis itu menumpahkan semuanya di sana.
"Ssttt, nggak ada anak haram di dunia ini, Sayang," elak Dian sambil mengusap-usap bahu keponakannya tersebut.
"Tapi aku bukan anak papa, Tante. Dan itu berarti Tante Dian juga bukan ...."
Dian buru-buru melepaskan pelukannya dan menunduk agar bisa menatap wajah Ara dari dekat. Ia menangkup kedua pipi Ara yang basah dengan air mata yang juga berlinangan di pipinya sendiri. "Kamu anak papa, kamu itu keponakannya Tante Dian sama Budhe Ari. Kamu cucunya nenek Ratri, Sayang."
Pandangan mata Kinara sudah kabur tertutup oleh air mata hingga wajah Dian yang tepat berada di depannya pun menjadi sangat tidak jelas. Kinara tidak menyangka jika akan mengalami hal menyedihkan ini dalam hidupnya.
Ketimbang dengan ibunya, dia memang lebih dekat dengan sang ayah. Dulu ketika Kinara berbuat salah di sekolah, papanya lah yang akan jadi tameng dari kecerewetan sang ibu yang mempunyai tabungan wejangan yang luar biasa banyak. Papanya yang akan diam-diam menuruti semua keinginannya.
Pernah suatu ketika, saat Kinara masih duduk di bangku sekolah dasar, dia ingin tempat pensil baru seperti punya temannya. Kinara meminta kepada ibunya, tapi beliau menolak dengan alasan tempat pensil milik Kinara sudah banyak dan masih bagus-bagus. Kinara tidak boleh boros, lebih baik uangnya ditabung atau diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Kinara kecil ingin marah, tapi dia tahu jika itu tidak mungkin karena sebenarnya apa yang diucapkan oleh ibunya itu memang benar. Namun, anak kecil tetap lah anak kecil. Kinara tidak bisa menutupi kekesalannya karena barang yang sangat ia inginkan tidak dibelikan. Hingga suatu sore saat ayahnya baru pulang dari kantor, lelaki itu memberikan kejutan untuknya, sebuah tempat pensil bergambar keropi yang sangat ia impikan. Arya bilang itu hadiah untuk anak cantik yang sudah mau menurut pada nasihat mama.
Lalu, setelah semua perlakuan manis itu, siapa yang menyangka jika pria yang penuh kasih sayang itu ternyata bukanlah orang yang baik.
"Papa jahat, Tante. Papa udah jahat sama aku.”
Bersambung.
Lanjut kalau udah dapet 107 bintang 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Rasa
Ficción General"Aku adalah anak haram, aku yang nggak pantas buat kamu." Menepis Rasa (Sekuel Undesirable Baby)