Telepon genggam di atas meja itu terus berdering. Bukan panggilan dari pria yang ingin ia lupakan karena nomornya sudah ia masukkan ke daftar hitam. Itu adalah panggilan dari sang ibu, seusai magrib tadi beliau memang terus-menerus menghubunginya. Kinara meremas kertas hingga membentuk bulatan besar lalu melemparkannya asal ke arah tempat sampah di sudut ruangan. Sudah banyak kegagalan yang ia torehkan hari ini. Otaknya seolah tidak bisa diajak menggambar desain baju untuk menyambut hari raya beberapa bulan lagi. Untuk menyambut hari kemenangan itu setidaknya dia harus punya dua model baru.
Mama
[Kak, kok jam segini belum pulang?]Kinara membaca pesan masuk dari layar atas notifikasi. Tanpa membuka aplikasi atau pun membalasnya, dia mengembalikan ponsel itu ke tempatnya semula. Gadis itu menekuk satu lengannya di atas meja dan menumpukan dagunya di sana. Tangan kanannya menggenggam pensil dan kembali menggores kertas dengan asal-asalan seperti anak kecil yang baru belajar mewarnai. Tiba-tiba setetes air matanya turun lagi dan membasahi lengan gamisnya. Gerakan tangan kanannya semakin lama semakin menguat. Begitu berulang-ulang sampai membuat kertasnya terkoyak. Lalu menghujamkannya dengan keras hingga ujung pensil itu patah. Kemudian ia menenggelamkan wajahnya di lekukan lengan. Kinara menumpahkan semua tangisnya lagi yang seolah tak mau mengering.
Jika menurutmu patah hati karena putus hubungan dengan sang pujaan itu menyedihkan, putus hubungan dari orang tua lebih dari sangat menyedihkan. Seperti vas bunga yang terbuat dari keramik mahal dan terjatuh dari ketinggian, hancur lebur menjadi kepingan kecil yang tak berharga.
Tok tok tok.
Buru-buru mengusap kedua pipi setelah mendengar ketukan dari luar. Kinara mendongak ke arah pintu dan bertanya siapa kah gerangan orang yang mengganggu tangisnya.
"Ini saya Mbak, saya mau pamit pulang dulu. Yang lain juga udah pulang." Jawaban dari luar membuat gadis itu melirik jam pada dinding sebelah kiri. Jarumnya yang pendek memang telah menunjuk angka tujuh.
"Iya, silakan. Nanti biar saya yang kunci pintunya," sahut Kinara tanpa berpindah dari posisi duduknya.
"Apa Mbak Kinara mau lembur? Eh... Pak."
"Anak saya ada di dalam?"
"Ada, Pak," jawab karyawannya itu dengan sangat jujur. "Mari, Pak, saya permisi pulang dulu."
Mendengar percakapan dua orang yang berada di luar dengan jelas, Kinara tidak mungkin keluar lalu mengusir sang ayah. Masih ada Nita, karyawannya itu di sini. Gadis tersebut memilih tetap diam di kursinya hingga pintu itu dibuka dari luar.
Jangan biarkan rasa penasaranmu menggantung. Baca kelanjutannya di aplikasi Karyakarsa-Bubibupeach dan/atau KBM App-Bubibupeach dengan judul yang sama, Menepis Rasa. Silakan pilih salah satu. Terima kasih ❤
Mampir juga ke judul Seutas Rasa, ini adalah cerita adiknya Kinara 😊
Oiya, kalau ada yang mau ditanyakan silakan hubungi Instagram Bubibupeach, ya. Langsung dm aja soalnya kalau di wp jarang dibuka, takutnya malah kelamaan nggak dibalas 🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Rasa
General Fiction"Aku adalah anak haram, aku yang nggak pantas buat kamu." Menepis Rasa (Sekuel Undesirable Baby)