"Aku udah bilang sama kamu, Mas. Jangan dikasih tahu dulu," tutur Kinan setelah ia sampai di ruang makan. Setelah ia gagal mengajak anak sulungnya turun.
"Terus kapan, Nan? Sampai Ara tahu dari orang lain?" timpal Arya yang urung membalikkan piringnya. Makan malam tanpa anak-anaknya, seketika membuat nafsu makannya juga ikut menghilang. Kafka sedang menuntut ilmu di luar negeri. Si bungsu pun sedang menginap di rumah temannya. Sementara Ara, anak pertamanya itu marah karena Arya baru mengakui dosa. "Jangan bilang kalau kamu mau menutupi ini selamanya."
Kinan menggeleng pelan. Mereka sama-sama tahu, menutupi fakta yang sebenarnya sama saja melakukan dosa besar untuk kali kedua. Jika mereka tetap memaksa memakai nama Arya Alfarizki Pramono sebagai wali ketika Ayesha Kinara Pramono menikah, maka itu berarti mereka telah menjerumuskan si anak sulung ke dalam kubangan panasnya api neraka. "Ara pasti kaget banget ...." ucapan Kinan terjeda oleh tangisnya yang sudah menghambur. Ia menunduk dan mengusap kedua pipi yang telah kembali basah.
Arya meraih tangan sang istri dan menggenggamnya dengan erat seolah ingin memberikan kekuatan untuk wanita yang sangat ia cintai itu. Walaupun sejujurnya dia sendiri sedang dalam keadaan yang sangat rapuh. Jika mengingat dosanya, tak jarang dia berdoa agar Allah segera mencabut nyawanya saja. Karena dengan begitu dia tidak perlu merasakan dibenci oleh anaknya sendiri.
Papa jahat... kembali kalimat singkat itu terngiang di kepalanya. Kinara baru mengetahui satu fakta dasar mengenai dirinya dan anak itu sudah semarah ini. Arya tidak akan bisa membayangkan apabila Kinara sampai tahu niatnya dulu yang ingin melakukan tes DNA. Pun semurka apa jika Kinara juga tahu bila dulu ia pernah tidak mau mengakui kehadirannya. "Maaf, semua ini salahku."
Kinan mendongakkan wajah yang telah berderaian air mata lalu membalas genggaman tangan dari suaminya sambil mengangguk kecil. Ia menatap pasang mata Arya yang juga sudah berkaca. "Kita harus hadapi ini sama-sama... meskipun rasanya akan sangat sulit untuk dapat maaf dari Ara."
Arya mengangguk, meski itu harus ribuan kali, dia akan meminta maaf kepada sang putri.
_________
Kinara mengepalkan tangannya dengan erat. Dia menguatkan hati bersiap untuk keluar dari kamar. Sengaja ia menunggu sampai matahari agak naik. Ayahnya pasti sudah berangkat ke kantor, pun adiknya yang pasti juga sudah berangkat ke sekolah. Hanya ibunya yang mungkin masih tinggal.
"Kak ...."
Bahkan gagang pintu baru ia putar dan Kinara belum sepenuhnya keluar dari kamar, tapi ternyata kedua orang tuanya telah menunggu. Rupanya hari ini sang ayah tidak pergi berkerja. Cepat-cepat ia keluar dari kamar dan kembali menutup pintu. Langkahnya terhenti ketika ayah dan ibunya datang menghadang. Kinara sengaja membuat jarak. "Aku harus ke butik." ucapnya menunduk, tak mau menatap mereka berdua.
"Mama siapin sarapan dulu, ya, Kak."
Kinara menggeleng singkat. "Aku sarapan di jalan aja. Permisi." Gadis itu melanjutkan langkah, memilih sisi lantai yang lain. Tak ada salam hangat seperti biasa. Tak ada kecupan manis di pipi. Tak ada senyum ceria yang menghias bibirnya. Pagi ini adalah pagi terkelam di kediaman besar Arya Pramono.
"Kak ...."
Kedua kakinya melangkah cepat menuruni tangga, jangankan sekadar menoleh, Kinara malah sengaja menulikan telinga karena tak mau mendengar panggilan dari kedua orang tuanya yang bersahutan. Gadia berjilbab mocca itu kemudian berlari begitu ia sampai di lantai bawah. Kinara hanya ingin satu... segera keluar dari rumah ini.
Arya tidak tinggal diam, dia mengejar anak sulungnya itu sampai ke halaman. Namun, terlambat... Kinara sudah masuk ke dalam mobilnya dan menginjak pedal gas tanpa mempedulikan ketukan pada pintu kendaraannya. Gadis itu pergi meninggalkan rumah diiringi panggilan dari sang ayah serta air mata yang menetes tanpa diperintah.
_________
"Tante bisa mampir ke rumah kalau kamu ...."
"Ada yang mau aku tanyakan sama Tante Dian," sela Kinara ketika ia baru mendudukkan bokongnya di hadapan Dian. Tantenya itu ternyata sudah sampai terlebih dulu di sebuah restoran tempat mereka janjian. Malam tadi Kinara mengirim pesan kepada adik dari ayahnya itu. Ingin bertemu, penting. Hingga Dian memberi waktunya setelah pulang dari tugas jaga malamnya di rumah sakit.
"Kamu udah sarapan belum? Kita bicara sekalian makan, ya." Dian meraih buku menu yang berada di atas meja. Dia bisa merasakan jika sedang ada yang tidak beres pada keponakannya tersebut. Kedua mata Kinara sembab dan merah, seperti baru menangis. Dan anehnya tatapan mata Kinara seperti tak bernyawa.
"Apa Tante tahu tentang nasabku?" tanyanya lirih, tapi pasti masih bisa didengar jelas oleh lawan bicaranya tersebut. “Tante tahu kalau aku bukan anaknya papa?”
Dian memilih kembali meletakkan buku menu ke tempatnya semula lalu menatap Kinara dengan lembut. Melipat bibirnya ke dalam sembari otaknya merangkai kata dalam batin. Sebenarnya Dian bingung harus menjawab apa. "Sayang, kamu itu anaknya papa Arya sama mama Kinan." ucapannya terjeda ketika sang suami yang menjemputnya telah datang, lalu tanpa aba-aba malah mengecup keningnya sekilas. Tanpa diperintah pula, pria itu kemudian duduk di samping Dian. "Kamu keponakannya Tante Dian," sambung Dian lagi yang memilih mengabaikan sapaan dari suami tercinta.
"Ada apa, sih?" tanya Dean yang tidak paham dengan pembicaraan istri dan gadis yang berada di depannya itu. Tanpa diberitahu pun seharusnya semua sudah tahu jika Ayesha Kinara Pramono adalah keponakannya Aisha Dianitha Pramono.
"Apa Om Dean juga tahu?" tanya Kinara yang mengalihkan tatapannya kepada pria itu. Tantenya tidak mau jujur dan hanya mengulur waktu.
"Tahu apa?" Dean balas bertanya, mengabaikan cubitan kecil dari sang istri di pinggangnya.
"Tahu kalau aku ini adalah anak haram?" tanya Kinara dengan tatapan sendu dan kosong.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Rasa
General Fiction"Aku adalah anak haram, aku yang nggak pantas buat kamu." Menepis Rasa (Sekuel Undesirable Baby)