Bab VII : Esok Hari

119 2 0
                                    

Malam itu, bulan tidak bersinar. Pendar bintang-bintang pun terlalu samar, tertutupi oleh cahaya lampu perkotaan yang begitu menyilaukan. Satu-satunya sumber penerangan yang dapat diandalkan hanyalah sebuah senter berukuran besar yang sekarang berada di genggaman Naru.

"Jika Mai-san tidak memanggilku, aku pasti sudah tamat."

Di tengah kegelapan, Anna tak bisa melihat wajah John dengan jelas, tetapi dia bisa membayangkan ekspresi penuh kelegaan dari Pastor Muda itu. Terdengar jelas dari caranya berbicara.

Memang benar, jika bukan berkat peringatan dari Mai, John sekarang pasti sudah tidak bersama mereka. Langit-langit kelas runtuh tepat ketika dia beranjak dari tempatnya melakukan eksorsisme. Telat sepersekian detik saja, John pasti sudah celaka.

Runtuhan langit-langit itu kini memenuhi lantai kelas tempat sang Pastor Muda melakukan eksorsisme. Hanya Naru yang berada di dalam sana, mengamati sebuah proyektil dengan amat teliti. Sisanya berdiri menonton aksi pemuda itu dari koridor.

"Karena tempat ini berbahaya, lekas kita turun saja," ajak Takigawa. Anna bisa merasakan ada kekhawatiran yang tersembunyi dalam ucapannya.

Matsuzaki menyilangkan tangannya dengan dingin. "Aku akan pulang sekarang."

Kuroda tertawa mengejek. "Mudah sekali kau ketakutan."

Namun Matsuzaki tidak terpengaruh oleh pancingan itu. "Hidupmu adalah hal paling berharga yang kau miliki. Masako pasti sudah tewas kalau dia jatuh di tempat yang salah. John juga hampir celaka. Aku ini cerdas, jadi aku akan mundur sebelum hal yang sama juga terjadi padaku."

"Bilang saja kau takut."

"Masa bodoh. Aku akan menghentikan investigasi hari ini dan melanjutkannya besok."

"Dia benar," kata Naru sebelum ada orang lain yang sempat mencibir wanita itu lagi.

"Hei, hei, apa kau juga ketakutan, Naru-chan?" ledek Takigawa.

"Terserah apa katamu, tapi kali ini Miko-san memang benar. Mai, kau bisa pulang."

Mai melepas pekik kegirangan, tetapi sesaat kemudian menutup mulutnya sendiri. "Sungguh?"

"Ya, dan—" Naru menjeda, melemparkan proyektil yang tadi dia periksa ke lantai, lalu beralih pada Kuroda, "—Kuroda-san, kau juga sebaiknya pulang."

Hanya Mai dan Kuroda. Tidak ada Anna. Apa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan empat mata saja?

Takigawa menyeringai jahil. "Hei hei, kalau saja aku perempuan, apa kau juga akan—"

Naru mengiriminya tatapan tajam sebelum sang Biksu mampu menyelesaikan ucapannya dan berkata dengan sangat ketus, "Kusarankan kalian semua pulang sekarang."

Ah, dia ngambek, tuh.

"Aku juga sebaiknya pulang, kalau begitu," kata John disertai helaan napas.

"Penurut sekali kau ini," ledek Takigawa. "Ya sudahlah, ayo kita pulang dan lanjutkan ini besok."

Biksu berambut gondrong itu membimbing mereka turun ke lantai bawah. Anna harus menggunakan cahaya dari telepon genggamnya supaya tidak terpeleset di tangga. Pada bagian paling belakang, Naru berjalan mengikuti mereka.

Ketika mereka mencapai ruang depan, pemuda itu melambaikan tangannya. "Sampai besok."

"Bagaimana denganmu?" tanya Mai. "Kau tidak pulang ke rumah?"

"Ada yang harus aku selidiki malam ini."

Dasar penggila kerja, cibir Anna dalam hati.

Tanpa menunggu rombongan itu pergi, Naru masuk kembali ke dalam. Anna harus mencari-cari alasan supaya yang lain mau pulang duluan dan meninggalkannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Begitu dia berhasil melakukannya, gadis itu pun segera kembali ke dalam gedung.

Nightmare : Di Gedung Sekolah Tua [BOOK 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang