Sembilan tahun.
Sembilan tahun lamanya Anna mengenal Naru dan sampai hari ini pun, dia masih tidak mengerti kenapa banyak kaum hawa yang mudah sekali terpikat oleh pemuda itu pada pandangan pertama.
Naru sedang berbicara dengan salah seorang teman sekelas Anna saat ia dipergoki. Tangan kanannya menjinjing koper hitam berukuran sedang yang entah apa isinya. Siswi yang dia ajak bicara serta segerombol siswi lain yang mengintip dari balik pintu kelas, hampir semuanya memiliki tampang seperti habis bertemu dengan idola mereka.
Apa sih?! batin Anna menjerit dengan kesal. Kalau mereka mendadak nge-fans padamu 'kan aku juga yang bakal repot!
Pemuda yang menjadi akar permasalahan kini menoleh pada Anna. Tatapannya tetap terkesan datar dan dingin, padahal biasanya ekspresi manusia akan berubah ketika menemukan sosok yang mereka cari-cari
Sosok yang dimaksud jelas Anna. Kalau tidak, buat apa dia sampai repot-repot datang kemari segala?
Mungkin karena merasa kehadirannya tidak dibutuhkan lagi, siswi yang tadi ditanyai Naru pun pamit undur diri. Dengan pipi bersemu merah dan senyum lebar di wajah, gadis itu masuk kembali ke kelas, lalu disambut oleh gerombolan siswi yang berniat menggali informasi. Dalam sekejap, satu ruangan pun dipenuhi oleh suara cekikikan melengking para wanita muda.
Itu sukses membuat Anna semakin dongkol. Melihat betapa heboh reaksi gadis-gadis di kelasnya, pasti tadi Naru memanfaatkan tampangnya lagi. Pemuda itu tahu persis bahwa dia memiliki wajah yang orang-orang anggap atraktif dan dia selalu saja memanfaatkannya demi keuntungannya sendiri.
Tidak salah Mai mengatainya narsis.
"Dari mana saja kau hah?!" tanya Anna tanpa basa-basi dalam bahasa ibunya. Suaranya terdengar tajam dan terkesan menuntut, yang mana tidaklah aneh mengingat apa yang telah diperbuat Naru. "Kau tak menjawab teleponku, kau mengacuhkan semua pesanku, dan sekarang ... sekarang kau muncul begitu saja di depan seluruh teman-temanku layaknya hantu! Maumu apa sih?!"
"Stop," kata Naru menggunakan bahasa yang sama, jelas merasa terganggu dengan cecaran Anna. "Kau terlalu berisik."
"Satu—" Anna mengacungkan jari telunjuk kanannya, "—setidaknya kau bisa mengirimkanku satu pesan saja daripada membiarkanku mengkhawatirkanmu."
Sebelum gadis itu mendapatkan respon apa-apa, Kanzaki telah lebih dulu menyela dengan berkata, "Anu ... Davis-san ...?"
Dua orang yang tengah beradu mulut menoleh padanya.
"Aku ... ke kelas duluan ... ya?"
Siswi yang biasanya kelihatan riang gembira dan percaya diri, sekarang tampak canggung dan salah tempat. Anna jadi merasa sedikit bersalah karena telah melupakan kehadiran teman sekelasnya itu.
"Iya," sahut Anna dalam bahasa Jepang, tidak lupa memasang tampang menyesal. "Maaf. Nanti aku menyusul."
Kanzaki berusaha tersenyum, meski tidak kelihatan seceria biasanya. Sebelum pergi, dia bahkan menyempatkan menganggukkan kepala tanda pamit pada lawan bicara Anna.
Setelah gadis itu menghilang di balik pintu, Anna mencengkeram tangan Naru dan menyeret pemuda itu beberapa meter jauhnya. Dia tidak mau pembicaraan ini jadi tontonan para siswi di kelasnya. Risiko terbongkarnya rahasia mereka jadi alasan utama, tetapi yang paling Anna cemaskan justru kemungkinan lahirnya klub penggemar dadakan yang memuja pemuda perfeksionis penggila kerja.
Dengan tangan tersilang di dada dan wajah yang cemberut, gadis itu pun mengubah bahasanya lagi dan berkata, "Kau berhutang satu penjelasan padaku."
"Nanti." Naru--masih bicara dengan bahasa Inggris--kelihatan tidak menyesali sedikit pun perbuatannya saat berkata demikian, dan itu benar-benar membuat Anna bertambah jengkel. "Saat ini aku ingin kau ikut denganku. Sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare : Di Gedung Sekolah Tua [BOOK 1]
Terror"Pernahkah kau membuat sebuah dosa besar yang tidak akan pernah bisa kau lupakan seumur hidupmu?" Menjadi seorang ghost hunter tidak pernah sekalipun terbersit di benak Anna. Namun terkadang, manusia harus melakukan apa yang wajib mereka lakukan, bu...