Bab X : Penampakan di Pintu Kelas

18 0 0
                                    

Anna tidak pernah merasa setidak enak ini.

Duduk di kursi penumpang van, dia dipaksa menyaksikan ketika seorang wanita mengobati luka-luka di kedua siku dan lututnya. Wanita berambut merah yang telah dia kata-katai dengan kurang ajarnya.

Parahnya, wanita ini juga yang menjadi penyelamatnya.

Dari semua orang yang mungkin datang, Anna tak pernah menyangka bahwa dia akan menemukan wajah Matsuzaki, panik dan jelas mencemaskannya. Dia rela menantang maut hanya demi menyelamatkan bocah yang dengan kurang ajar telah menghinanya.

"Ow."

Gadis itu berjengit saat sang Miko menutulkan kapas yang sudah dilumuri cairan antiseptik pada luka di lututnya.

"Tahan sedikit. Kalau tidak segera ditangani, bisa-bisa lukamu infeksi."

Itu justru membuat Anna semakin ingin berjengit. Caranya berbicara benar-benar mengingatkan gadis itu akan ibunya sendiri saat dia jatuh dari sepeda dulu.

"Hei, yang benar dong! Aku perlu memastikan apa di lututnya masih ada kaca yang tersisa atau tidak!"

"Iya-iya. Kau cerewet sekali sih, Ayako."

"Sudah kubilang, jangan memanggilku dengan sok akrab!"

Mata biru Anna bergantian memandangi Miko yang sibuk mengobati lukanya dan Biksu yang 'dipaksa' memegangi senter. Sudut-sudut bibirnya tertarik. Rasa tidak enak hatinya sedikit terobati melihat pertikaian itu.

"Matsuzaki-san, Takigawa-san." Begitu mendengar nama masing-masing dipanggil, kedua ahli spiritual menghentikan perkelahian mereka dan menoleh pada Anna. "Terima kasih. Maaf ... karena aku berkata yang tidak-tidak tadi."

Miko dan Biksu saling bertukar pandang.

"Hoo, dia minta maaf tuh."

"Tenanglah, Anna-chan. Sebagai orang dewasa, tidak sepatutnya kami bersikap kekanak-kanakan pada anak-anak seperti kalian."

Mulai lagi, deh. Rasanya Anna agak menyesali keputusannya untuk minta maaf barusan. Namun ... ya sudahlah. Untuk kali ini akan dia biarkan.

"Bagaimana? Sudah selesai?" John bergabung bersama mereka.

"Hampir." Matsuzaki menempelkan kain kasa pada lutut Anna dan merekatkannya menggunakan plester. "Beres."

"Anak yang satu lagi bagaimana?" tanya Takigawa pada sang Pastor Muda.

"Masih belum sadar. Aku cemas dia menderita luka dalam. Mungkin sebaiknya kita membawanya ke rumah sakit."

"Kita tunggu dia sadar dulu," cetus sang Biksu. "Bisa jadi dia hanya syok dan pingsan."

Anna bangkit berdiri, dan seketika meringis merasakan perih di kedua siku dan lututnya. Namun, dia tidak boleh mengeluh. Ada orang lain yang mungkin menderita luka yang lebih parah daripada dirinya.

Dengan langkah yang sedikit terseok, Anna menyeret dirinya sendiri menuju bagian belakang van. Kuroda berdiri di sana, menunggui gadis yang dibaringkan di celah sempit di antara tumpukan peralatan. Jaket kulit cokelat milik Takigawa menyelimuti sosok itu.

Ada dua hal yang baru Anna sadari saat Matsuzaki menariknya keluar dari gedung sekolah tua yang berguncang. Pertama, Kuroda datang ketika dia masih menyendiri di lantai atas. Kedua, Mai yang jatuh pingsan setelah tertimpa loker sepatu.

Duduk di sisi Mai, Anna menghela napasnya. Kuroda mengiriminya tatapan tak suka, tetapi tak berkata apa-apa, jadi Anna membiarkannya.

"Sebaiknya kalian pulang," usul Takigawa. "Biar kami yang menungguinya di sini."

Nightmare : Di Gedung Sekolah Tua [BOOK 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang