Begitu kembali ke gedung sekolah tua, Anna tidak bisa menemukan keberadaan John, Mai, atau pun Kuroda. Kotak P3K di dalam van sudah dalam keadaan tertutup, tetapi masih belum dikembalikan ke tempatnya semula. Pasti baru digunakan untuk mengobati lengan Kuroda.
Duduk di kursi samping sopir, Anna menghela napasnya. Sesekali dia melihat Takigawa atau Matsuzaki melintas di jendela gedung sekolah tua. Entahlah apa yang sedang mereka lakukan. Anna tidak tahu sekaligus tidak peduli.
Setelah kira-kira setengah jam berlalu, sosok Mai dan John muncul dari arah gerbang depan.
"Kalian dari mana?" tanya Anna tanpa basa-basi. "Kok lama sekali?"
"Habis mengantar Kuroda-san pulang," sahut Mai. "John menawarkan diri untuk menemani, yah, kalau-kalau orangtuanya Kuroda-san menanyakan yang macam-macam."
John menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya sambil tersenyum tipis. "Kupikir, orangtua mana pun pasti akan bertanya-tanya kalau mendapati anak mereka pulang dalam kondisi luka-luka."
"Yah, ada benarnya sih." Anna sepakat. "Jadi, bagaimana? Kalian tidak kena marah atau apa, 'kan?"
"Tidak-tidak~" Mai menggelengkan kepalanya dengan ceria. "Rumahnya ternyata kosong. Kuroda-san bilang kalau orangtuanya memang sibuk bekerja, bahkan di hari libur sekalipun."
Orangtua yang sibuk, huh?
Sepertinya sekarang Anna mulai memahami kenapa Kuroda begitu menginginkan perhatian. Dia bukan siswi yang populer. Bahkan di rumah pun, orangtuanya yang super sibuk hampir tak pernah memperhatikannya. Dia pasti sangat kesepian.
Jujur, itu membuat Anna sedikit bersimpati. Namun, tetap saja gadis itu masih tidak terima. Mengaku punya kekuatan supranatural hanya demi mendapat perhatian orang ... itu perbuatan yang sama sekali tidak bisa dia biarkan. Terutama karena Kuroda tidak memahami kenyataan pahit di balik itu semua.
"Jadi ... Naru mana?"
Menoleh pada sang penanya, Anna pun berkata, "Pergi. Menenangkan diri."
"Terus lukanya bagaimana?"
"Sudah kubalut pakai sapu tangan. Dia tidak mau diajak kembali kemari, jadi hanya itu yang bisa kulakukan."
Mai mengerucutkan bibirnya. "Harga dirinya terlalu tinggi sih."
Mendengar itu, Anna tak bisa menahan senyum geli. "Mau bagaimana lagi, dia 'kan perfeksionis yang punya harga diri setinggi langit dan ego sedalam lautan."
Kedua gadis pun tertawa, setidaknya sampai John bertanya, "Sekarang bagaimana?"
Peralatan yang sebagian besar sudah dikemas ke dalam van menjadi yang pertama Anna lihat.
Benar juga. Sekarang bagaimana?
~*~*~*~
Pada akhirnya, mereka sepakat untuk mengemas peralatan yang masih tersisa. Semuanya, kecuali mikrofon untuk merekam suara. Alih-alih dimasukkan ke van, alat itu justru dipasang kembali di beberapa titik dalam gedung sekolah tua.
"Mungkin sebaiknya kita juga memasang kameranya," usul Mai saat mereka tengah memasang mikrofon di laboratorium. "Anna, kau tahu caranya?"
Gadis yang ditanya seketika tersenyum malu. "Tidak. Aku jarang ikut turun ke lapangan sih."
Langit mulai menggelap, tetapi tidak ada tanda-tanda Naru kembali. Takigawa memasang altar di salah satu ruang kelas dan sekarang telah siap dengan pakaian kebesarannya. Sudah jelas dia akan segera melakukan eksorsisme versinya sendiri.
"Memang tidak apa-apa alat yang lain dibereskan?" tanya John.
Mai yang menjawab, "Yah, kalau kita butuh alat yang lain 'kan bisa kita bawa masuk kapan saja. Lagipula, gedung ini akan segera runtuh. Semakin sedikit peralatan semakin baik ... kurasa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare : Di Gedung Sekolah Tua [BOOK 1]
Horror"Pernahkah kau membuat sebuah dosa besar yang tidak akan pernah bisa kau lupakan seumur hidupmu?" Menjadi seorang ghost hunter tidak pernah sekalipun terbersit di benak Anna. Namun terkadang, manusia harus melakukan apa yang wajib mereka lakukan, bu...