Ada Cinta

2.1K 226 33
                                    




Dua minggu. Total waktu Tay Tawan tidak membuka aplikasi Go-Jeknya. Hal ini terjadi karena peristiwa terakhir kali ia bertemu New Thitipoom. Tay Tawan yang tampan dan menawan di tolak oleh New.

New bukan homoseksual.

Tay pun begitu. Ia yakin, jelas dalam ingatannya bahwa ia tidak pernah menyukai laki-laki lain selain New Thitipoom. Bahkan sebenarnya ia tidak pernah melihat New sebagai sosok laki-laki atau perempuan. Ia hanya menyukai New. bukan pada strata social atau bahkan jenis kelaminnya.

Kondisi Tay yang sedang patah hati juga membuat Off Jumpol susah. Tay menjadi sering marah dan uring-uringan. Off tahu, Tay memang terlahir dengan bakat menyusahkan orang. Ia sudah terbiasa menghadapi Tay yang selalu keras kepala, juga emosinya yang meledak-ledak. Tapi melihat Tay yang sering bermuram durja di kursi putarnya seraya menatap jendela kaca kantor sangatlah menyayat hati.

Tay tampak seperti pemuda lemah yang gampang di sakiti.

Off turut berduka cita.

"Lupakanlah New, Tay. Kau terlihat tidak seperti Tay yang ku kenal."

Off masih setia memperhatikan Tay. Ia meletakkan pulpen sambil bertopang dagu memandang Tay. Hening sempat memenuhi ruang rapat yang kini hanya di huni mereka berdua.

Tay mengabaikan pernyataan sahabatnya itu. Lekas ia pijit keningnya yang sudah berlipat tiga.

Dasar hati yang tidak tahu diri. Disaat dirinya ditolak pun, hati Tay masih berdebar kencang saat mengingat wajah New yang tersenyum.

"Aku benar-benar sudah gila." Bisik Tay pelan.

Nanti juga diam sendiri, pikir Off. Lekas Off kembali tenggelam dalam laporan keuangannya, mengabaikan Tay yang menendang kursi tak berdosa yang tak sengaja menghalangi jalannya.

...

Hidup seorang diri di apartemen tentu mewajibkan agar Tay bisa mengolah makanan sendiri. Sejujurnya ia bisa saja menyewa pembantu atau memesan makanan mewah di restoran. Tapi untuk hari ini, khusus hari ini, Tay ingin sekali merasakan menjadi orang biasa. Maka Tay memutuskan untuk pergi ke pasar swalayan di dekat apartemennya.

Ia memandang smartphone di tangannya. Ada perasaan rindu menyeruak begitu logo aplikasi berwarna hijau itu memenuhi layarnya. Tapi buru-buru Tay swipe up. Seharusnya ia uninstall saja aplikasi ini. Tapi lagi-lagi Tay masih berharap jika saja ia bisa bertemu dengan New.

"Hah... sudah dua minggu rupanya. Dan aku masih belum bisa menghilangkannya dari pikiranku." Gumam Tay pelan.

Ia kemudian menggeleng pelan, mengangkat telepon genggamnya di telinga.

"Ya? Jemput aku di apartemen. Antarkan aku ke swalayan, kau tahu kan aku tidak suka menunggu lama, Off?"

...

Tay memilih makanan di lemari pendingin dengan cermat. Beberapa hari ini dia selalu makan Junk Food. Sepertinya ia harus memperbaiki gizi dalam makanannya segera.

Tay bergerak menuju deretan lemari pendingin minuman soda. Ia mengabaikannya, namun seseorang bergumam di belakangnya pelan.

"Permisi."

Tay memberi celah pada pemilik suara itu agar meraih sesuatu di lemari pendingin. Ia berbalik, secara tak sengaja melirik sosok di sampingnya.

"New?"

Sosok itu sedikit terkejut. Ia tidak memakai jaket Ojolnya sebagai identitas. Melainkan sebuah sweater abu-abu yang membungkus tubuhnya dengan pas.

"Oh— mas Tay juga belanja?"

Tay memperhatikan nada bicara New yang sedikit parau. Kedua pipinya memunculkan semburat merah muda dan bibirnya yang seingat Tay semerah cherry kini memucat. Pemandangan yang cukup membuat punggung tangan Tay bergerak tanpa sadar menuju kening New.

"Kamu demam New?"

"Ah, bukan demam. hanya haus." Jawab New seraya mengangkat cola di tangannya.

"Jadi kamu sedang berkerja sekarang?" Tanya Tay.

"Nggak mas. Saya kesini hanya mau beli minum." Tay masih menatap lurus pada wajah New.

"Kalau begitu, saya permisi duluan mas." Ujarnya sambil lalu.

Tay menghela nafas, jelas New sedang demam. kenapa juga ia berdalih dengan alasan yang tak masuk akal? Pemuda di hadapannya ini sudah melebihi kerasnya batu.

Namun Tay itu mutlak kan? Juga tidak terbantahkan.

"Kita pulang sekarang."

Tay melepas genggaman New pada sekaleng cola, menggantinya dengan genggaman tangannya yang hangat.

"Biar aku yang antar."

"Tapi mas, saya bawa motor." Sahutnya seraya berusaha menarik kepalan tangannya yang digenggam Tay.

Tay menunjuk dengan dagu kearah seorang pria yang menatap mereka dari jauh.

"Biar temanku yang mengurus motormu."

New tampak akan melawan alih-alih melepaskan tangannya, ia malah mengikuti langkah Tay yang berjarak satu langkah di depannya.

Tay sendiri terkejut melihat dirinya dengan berani menggenggam tangan mulus milik New. Rasa ingin melindunginya jauh lebih besar ketimbang rasa malunya.

Katakanlah jika memang seorang Tawan Vihokratana kini sudah luluh dan tunduk di bawah pesona New Thitipoom. Dan Tay tidak menganggap hal ini sebagai kekalahan.

Genggaman itu putus saat Tay mengangkut semua belanjaannya ke atas meja kasir. Termasuk cola milik new.

"Biar saya bantu mas."

"Tidak New. kamu diam saja. Kamu sedang sakit.."

New mendelik. Ia memang demam, tapi tidak sekarat.

"Tolong jangan perlakukan saya seperti orang sekarat mas Tay. Saya Cuma demam."

Tay abai. Ia menatap tajam pada New yang masih protes. Tay mengeluarkan kartu hitamnya setelah kasir sudah menghitung total belanjaannya.

Nominal yang muncul membuat manik New membola sempurna, nafasnya sesak. Ia tidak akan belanja selama tiga sampai empat bulan kalau ada di posisi Tay.

Usai membayar semuanya, Tay menyerahkan botol mineral kearah New. dan memasukkan cola milik New pada kantung belanjaannya.

"Orang demam lebih baik minum air mineral. Bukan cola."

Tay kembali menggandeng New menuju mobilnya. Atau bisa dibilang itu adalah mobil Off yang dipinjam sepihak oleh Tay.

"Bawa motor New ke rumahnya. Aku akan membelikanmu Iphone 13 jika kau tidak terlambat. Jangan sampai ada di sana ketika aku datang."

Off hanya memutar bola matanya saat menerima kunci motor milik New. bosnya kadang-kadang tidak bisa ditebak.

Tapi itulah Tay Tawan.

Pria penuh ambisi dan kesombongan.

"Lumayan lah, iphone 13." Kata Off menaikkan kacamatanya.

Tay membukakan pintu untuk New, menaruh semua belanjaannya di kursi belakang. Lalu menyuruh New untuk tetap dalam mobil sementara Tay berlari ke apotek samping Swalayan. Ia membeli beberapa obat paracetamol dan juga plester pereda demam.

Di tengah perjalanan, Tay melirik New yang selang beberapa menit kerap memejamkan matanya. Rona merah menghiasi wajah putihnya bahkan belum hilang.

"Apakah kamu merasa pusing?" Tanya Tay.

New hanya mengangguk, matanya memancarkan rasa tidak enak. Tay lagi-lagi mengulurkan tangannya meraba kening New. "Panasmu semakin tinggi. Bersabarlah New. sebentar lagi kita sampai."

New tidak pernah repot-repot berpikir, darimanakah Tay tahu alamat rumahnya? Karena dalam pikirannya sekarang adalah ia ingin cepat-cepat rebah di atas kasur. Kepalanya benar-benar pusing.

MY OJOL - TAYNEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang