Mati

25 3 0
                                    

"Mati lebih cepat"
"Mati lebih cepat"

Pagi-pagi sekali penggalan lirik lagu Beranjak Dewasa yang dinyanyikan Nadin Amizah terlantun. Frasa yang menakutkan. Perasaan Hersa semakin tidak karuan. Mengapa terdengar seperti perpisahan? Mei, puan cantiknya itu tidak akan pergi, kan?

Lagu berakhir dengan sunyi mengisi setelahnya. "Mei, nanti ingat jangan kemana-mana tanpa ku okey? Aku usahakan jam 8 malam sudah di rumah." Lagi-lagi Mei hanya patuh dan mengangguk.

"Hati-hati di jalan Hersa, aku tunggu." Ucap Mei sambil mengantar Hersa kedepan pintu.

Beriringan dengan punggung Hersa yang semakin menjauh, Mei rasa sudah saatnya mengakhiri segalanya bukan?

Mei terdiam, mengamati foto cantik yang ia dan Hersa ambil pada 2 tahun lalu saat pemuda itu tiba-tiba mengajaknya ke kebun teh.

Ada begitu banyak pil-pil berserakan, cutter serta silet yang darahnya sudah mengering. Kasihan Hersa, kasihan Mei, semesta tidak juga menjadi ramah.

Dengan gemetar, Mei ambil sepucuk kertas, sebagai titipan untuk Hersa ketika ia pulang nanti. Ah, sayang sekali tangannya tidak bisa diajak kerja sama untuk membuat tulisan cantik nan mudah dibaca. Tidak apa, yang terpenting maknanya.

Berbeda dengan Mei yang sedang bernostalgia, Hersa sedari kemarin terus dihantui rasa takut. Puannya, tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Hersa tahu bahwa akan ada sesuatu terjadi yang diluar kendalinya. Hersa gelisah.

Hersa hari ini pergi ke sebuah toko perhiasan, sengaja ingin memesan langsung cincin ukiran yang khusus sudah Hersa design. Sembari menunggu selesai, ia berkunjung ke toko bunga yang kebetulan memang dekat dengan tempat ia membeli cincin.

Dengan semangat, meskipun ia tahu maknanya, ia segera memilih bunga lili putih, bunga kesukaan kekasihnya.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7, dengan berbekal lili putih serta cincin yang baru saja selesai, ia melenggang pulang. Diraih telepon miliknya, tak lama suara terhubung dengan Mei.

"Hai puan cantik, nanti bolehkah saat aku pulang disambut dengan gaun indah? Mari kita berkencan malam ini, sebentar lagi aku tiba. Tunggu ya cantik." Hersa cekikikan apalagi setelah mendengar suara Mei disana yang ia pastikan sedang menahan malu.

Hening. Tiba-tiba buana diguyur hujan. Perasaan tidak karuan yang sempat hilang, kini Hersa rasakan kembali. Semoga, saat ini ia sedang mengemis, bahwa semuanya baik-baik saja.

Gelap. Seisi ruangan gelap ketika Hersa sudah sampai rumah. Semakin meletup perasaan takut pada Hersa saat tidak menemukan sang puan menyambutnya pulang. Tergesa-gesa ia geledah seisi rumah, Mei nya itu kemana?

Menarik nafas Hersa menenangkan diri. Setelah tenang, ia menangkap suara gemericik air. Hersa lupa bahwa kamar mandi belum ia periksa. Sesaat ia lega, seandainya kalau tidak menyadari bahwa seharusnya walaupun sedang membasuh diri Mei pasti menjawab dirinya.

Persetan. Bukan ia tidak tahu sopan santun, tapi ia khawatir dengan puannya. Lagi-lagi perasaan gundah datang, ia mendobrak pintu kamar mandi. Tidak terasa air matanya menetes. Puan cantiknya, Mei, mandi bersimbah darah. Bathtub yang dipenuhi lilin-lilin aromaterapi, kini dipenuhi bau amis. Mei, puannya menyerah.

Hersa memproses apa yang dilihatnya. Mei, sekarang sedang menggunakan gaun cantik berwarna putih, rambutnya diikat menjadi sepundak, bibir merah ranumnya kehilangan rona. Mei, puannya sudah tidak bernyawa. Detik ini, Hersa benar-benar membenci semesta.

MeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang