8. Azka

9 6 0
                                    

"Menangis dalam diam, tertawa bahagia menipu dunia untuk terlihat tak ada masalah"

***

Senin pagi yang sangat melelahkan, namun wajah Hilya ada yang berbeda dari biasanya. Muka yang pucat, mata sembab, dan tatapannya kosong. Ara berniat menanyakannya, tapi ia urungkan niatnya karena mendengar suara pengumuman untuk segera memasuki lapangan upacara. Dengan asal Ara menarik lengan Hilya untuk segara menemapati barisan paling belakang sendiri.

"Azka Pradpita Pratama," ucap Ara melihat cowok yang berbaris di sebelahnya—kelas 12 Multimedia.

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Azka Pradipta Pratama, jurusan Multimedia yang menjadi rebutan di SMK Al-Azhar ini. Pesona Azka sangat menarik perhatian kaum hawa, apalagi dia anak pondokan dan terkenal pintar di kelasnya. Tak heran jika banyak yang menyukai dirinya karena kelebihannya terkesan sempurna, meskipun kesempurnaan itu hanyalah milik Allah semata.

"Azka pesonanya gila banget, bikin meleleh!" ucap Ara dan mendapat hadiah jitakan dari Hilya.

"Rian atau Azka?" tanya Hilya.

Hilya yang tadinya diam saja sekarang sudah mulai berbicara lagi. Ara sangat senang sekali melihat Hilya yang aktif bicara kembali, tidak seperti beberapa menit yang lalu.

"Belajar melupakan Rian itu sulit, tapi gue berusaha mengikhlaskannya. Nggak tahu kenapa tiap kali lihat Azka gue senang pakai banget." Ara terus melirik Azka.

"Jadi, lo suka sama Azka?"

Ara menginjak sepatu Hilya. "Ya, nggak, Lya. Gue itu cuma sebatas kagum sama dia. Ya kali gue sama dia, itu tidak mungkin. Perbedaan kita jauh, nggak pantas gue bisa memiliki dia—halu."

"Sepatu mahal gue enak aja lo injak-injak!" Hilya membalas balik dengan menginjak sepatu Ara dan ia mengaduh kesakitan.

Setelah mereka berdebat kecil, suasana menjadi sunyi, dan hanya terdengar lantunan lagu Indonesia Raya mengiringi pengibaran bendera. Kepalanya mendongak, tangannya diangkat sejajar alis, dan begitu khidmat menghormati sang saka merah putih.

Selepas upacara tersebut selesai Ara mengajak Hilya untuk duduk sebentar di mushola. Sebenarnya ini alibi Ara agar bisa melihat Azka. Hari ini juga Ara tidak melihat Rian masuk sekolah. Tidak usah kaget lagi, karena begitulah anak TSM yang jarang masuk sekolah, tapi waktu ulangan selalu masuk. Meskipun Ara berusaha melupakan Rian, namun hatinya terasa berat melepaskannya setelah perjuangannya mencintai dalam diam pupus di tengah jalan.

"Azka terlalu sempurna. Pendidikan dia bagus, agamanya, dan finansial perekonomiannya berbeda sama gue. Rasanya mustahil bisa bersamanya." Manik hitam Ara menatap Azka yang menaik anak tangga satu persatu.

Hilya tersenyum. "Rian aja susah didapatkan, apalagi Azka, Ra. Jelas-jelas dia cari yang se-level sama dia. Memang lo nggak tahu kalau mantan pacarnya Azka anak MA Angkasa?"

"Tahu, makanya gue sadar diri banget buat menaruh perasaan sama dia. Gue yang suka sama Rian aja berujung miris, Lya."

"Jodoh cerminan diri lo, Ra. Orang yang lo suka hari ini bakal kalah sama yang tertulis di lauhul mahfudz. Fokus memperbaiki diri, masa depan, dan cowo urusan belakangan." Hilya berdiri selepas menali sepatunya dan mengulurkan tangannya membantu Ara untuk segera berdiri.

"Gue itu heran sama lo, karena jago banget menasihati gue yang jelas-jelas lo sendiri nggak pernah pacaran dan belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi, gue bersyukur punya sahabat kayak lo."

"Woi, Lya, Ara cepat masuk kelas!" teriak Cika dari lantai tiga.

Ara mendongak ke atas. "Iya, bentar ini lagi jalan."

***
"

Lo kenapa sih, muka lo nggak ceria banget dari biasanya?" ucap Ara membuyarkan lamunan Hilya.

Buliran air mata lolos dari mata bulatnya. "Gue capek, gue pengin hilang sesaat dan nggak mau berada di titik ini. Tapi, gue sadar apa yang hari ini gue alami adalah takdir dari-Nya."

"Lo ada masalah? Coba lo cerita sama gue, Lya. Kalau lo kayak gini gue nggak tahu masalah lo seperti apa?"

Ingin sekali Hilya menceritakan masalahnya pada sahabatnya, tapi lidahnya terasa keluh untuk berucap. Mengingatnya saja dadaknya begitu sesak, bagaimana jika dunia tahu bahwa di balik sifat cuek seorang Hilya terdapat kisah pilu yang menyayat hati. Mungkinkah dunia akan menertawakannya karena apa yang dilakukan selama ini hanya untuk menutupi lukanya? Biarlah dunia berbuat semaunya, cukup ketahui saja bahwa tidak semuanya yang terlihat baik-baik saja itu bahagia. Namun, justru dengan cara itulah mereka menipu semuanya agar terlihat baik-baik saja tanpa ada masalah. Hidup tanpa masalah mustahil rasanya. Setiap manusia akan diuji oleh sang Pencipta, melewati segala rintangan yang diberikan-Nya.

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," (QS Al-baqarah ayat 155)

"

Entah kenapa gue nggak sanggup cerita semuanya sama lo, meskipun lo adalah sahabat terbaik gue selama ini."

Kata itu, yang baru saja keluar dari mulut Hilya membuat hati Ara tergores. Kenapa Hilya tidak mau membagi kesedihanya padanya? Bukankah mereka bershabat baik? Tapi, Ara paham jika masalah Hilya pasti sangat rumit–—ia mencoba memahaminya.

Suara ustadz waktu dikajian itu terus terngiang dalam pikiran Hilya.

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS Al-Insyirah ayat 6)"

"Gue nggak bakal maksa lo buat cerita semuanya, tapi gue harap lo tetap mempunyai kesabaran yang luar biasa. Semisal lo udah siap buat cerita sama gue, lo cerita aja."

"Hayo, ngomongin apa?" ucap Raisa tiba-tiba nonggol di samping Ara.

Hilya mengusap bekas air matanya. "Ini loh, Ara kayaknya suka sama Azka."

"Azka anak MM itu?" sahut Cika.

"Eh, gila lo bisa-bisanya suka sama Azka!" ucap Aida tak terima.

Ara menjitak kepala Hilya."lo kalau ngomong ngawur aja. Nggak usah dengar apa kata Hilya, itu cuma fitnah. Asal lo tahu aja gue cuma kagum, nggak lebih. Karena––"

"Karena apa? Kenapa lo jadi kaget gitu?" tanya Cika yang merasa aneh dengan gerak gerik Ara.

"Oh, nggak. Gue cuma mau bilang karena hati gue udah dijaga sama seseorang yang tertulis di lauhul mahfudz." Dusta Ara.

"Ya jelas kali, Ra. Lo gimana sih!" sewot Aida.

Gue nggak tahu gimana jadinya kalau tiga anak ini tahu tentang gue yang suka sama Rian. Bisa abis dibully satu kelas, terutama Raina dan geng julidnya.

"Lo habis nangis ya, Lya?" tanya Raisa.

"Kelilipan aja ini, makanya mata gue berair. Setelah ini waktunya Bahasa Inggris, ya?" Hilya mengalihkan pembicaraan.

Ara memutar bola matanya jengah. "Malas dah gue, kalau waktunya Bahasa Inggris. Pasti dikasih tugas mulu dan berakhir disuruh baca ke depan dengan pelafalan sesuai kamus."

"Namanya aja sekolah, nggak usah mengeluh. Lebih baik mersakan sakitnya belajar sekarang, daripada tersiksa karena kebodohan akibat nggak mau belajar. Paham?" timpal Hilya.

Mereka bertiga hanya mengangguk-angguk karena berdebat dengan Hilya pasti akan kalah. Jangan remehkan Hilya, meskipun kelihatannya cuek, tapi ia jago debat dan baru-baru saja menjuari lomba debat tingkat nasional dengan meraih juara satu.

Halu, 3 Oktober 2021

Dari Pintu SMK (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang