9. Bolehkah Baper?

7 5 2
                                    

"Hilangkan perasaan ini jika dia bukan milikku."

***

Hampir saja Ara terpleset dari anak tangga, tapi untungnya ada sebuah tangan yang meraih telapak tangan Ara untuk digenggamnya. Kepala Ara diangkat, melihat siapa pemilik tangan ini? Mata Ara membulat sempurna kalah melihat seseorang yang dicintainya dalam diam adalah yang menolongnya. Tapi, ini bukan mimpi, 'kan? Tanpa sadar mereka berdua saling berpandangan beberapa detik sebelum Ara perlahan melepaskan tangannya dari Rian dan menunduk sambil mengucapkan terima kasih. Jantunganya terasa berdetak lebih kencang, namun ia sadar Rian hanya sebatas menolongnya, tidak lebih.

"Lain kali hati-hati, kalau jatuh bisa buat gagar otak atau mati. Emang lo mau mati sebelum bertemu jodoh lo di dunia? Bisa jadi jodoh lo nggak di dunia sih, tapi di akhirat!"

Bulu kuduk Ara merinding mendengar perkataan Rian. Terkesan menakut-nakuti, tapi apa yang dibilangnya benar. Bolehkah baper? Dan Ara berharap Rian adalah jodohnya.

"Nama lo siapa?" tanya Rian melirik name tag yang tersemat di jilbab putih Ara.

Ara masih menunduk tanpa berniat menatap lawan bicaranya. "Panggil aja Ara."

"Lo anak kelas FKK,'kan?"

"Iya, kenapa?"

Rian memberikan sebungkus paper bag  pada Ara. "Gue boleh minta tolong nggak? Tolong kasihkan Raina, bilang sama dia ini dari gue."

"I––iya," tangannya gemetar meraih paper bag tersebut.

"Oke, makasih. Gue balik ke kelas dulu."

Ara menatap kepergian Rian dengan perasaan perih di hatinya. Ternyata pertemuan ini hanya membuat Ara kembali terluka. Padahal ia sudah berusaha mencoba melupakan Rian, tapi lagi dan lagi perasaan itu kembali, menabur luka yang baru setelah sedikit sembuh.

"Harusnya gue nggak ke toilet," gumam Ara seraya menenteng paper bag.

Langkah kaki Ara terhenti ketika memasuki ruang kelas dan tak lupa mengucapkan salam. Ia menghampiri Raina yang sibuk berceloteh alias ghibah bersama geng-nya. Rasanya muak sekali bertemu dirinya, tapi ia sudah janji untuk memberikannya.

"Ini ada titipan dari Rian," ucap Ara menyodorkan paper bag.

Riana menoleh dan meraihnya. "Eh, maksih, Ra."

"Sama-sama," jawab Ara dan berlalu pergi menuju bangkunya.

Hati Ara semakin kacau selepas bertemu dengan Rian baru saja. Kenapa rasa itu kembali lagi? Jelas-jelas Ara mati-matian berusaha tidak mengharapkannya lagi, namun masih ada sedikit celah di hatinya untuk memberi sedikit kesempatan memperjuangkan Rian. Bodoh, tidak seharusnya Ara seperti ini. Di belahan bumi ini masih banyak cowok yang jauh lebih baik dari Rian.

"Lo kenapa ngasih Raina paper bag?" tanya Raisa mengintrogasi.

"Tadi nggak sengaja ketemu Rian dan gue hampir terpleset di tangga, tapi Rain nolongin gue."

"Terus?"

"Dia titip itu tadi buat Raina," sambungnya.

Raisa mengangguk. "Gue kira lo ngado Raina. Soalnya hari ini ulang tahunnya–– 7 September."

Pantas saja dia ngasih kado. Hmm, Rian emamg romantis, namun sayang salah tempat melabuhkan hatinya.

"Woi, bengong mulu? Mikirin apa lo?"

"Enggak, gue cuma mikir nasib nilai ulangan gue nanti. Keadilan hanya untuk kesayangan," dusta Ara.

Raisa tersenyum masam. "Hahah, iya. Ulangannya belum di mulai, tapi lo udah mikirin nilai aja."

Dari Pintu SMK (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang