3. Cilok

13 8 3
                                    

"Pada dasarnya tak selamanya perasaan bisa terbalaskan."

***

Napas Ara terengah-engah sehabis berlari kecil memutari alun-alun sebanyak tiga kali, sedangkan Hilya masih terus berlari tanpa terlihat lelah sekalipun. Ara meneguk sebotol air mineral yang dibawanya dari rumah. Pandangan Ara terjatuh pada sebuah jungkat jungkit yang ditempati oleh Rian di sebalah kanan, dan Raina di sebelah kiri.

"Setiap gue lihat lo dengan Raina hati gue terasa sakit." Ara meremas botol minumanya secara kasar.

"Woi, Ra, lo mau cilok nggak?" teriak Hilya yang berada di depan gerobak tukang cilok.

Ara tak menjawab pertanya Hilya, ia fokus melihat ke arah Rian dan Raina. Sesakit ini mencintai Rian? Tapi kenapa hatinya harus berlabuh pada orang yang salah.

"Ditanya nggak jawab, malah bengong lagi!" Hilya berdecak sebal.

Ara masih tidak merespon ucapan Hilya. Tiba-tiba saja air matanya lolos begitu saja. Hilya yang melihat itu langsung merotasikan pandangannya mengikuti tatapan Hilya menuju dua insan yang tengah bermain dengan iringan gelak tawa.

"Enggak usah dilihatin! Nggak baik buat kesehatan mata dan hati lo!" titah Hilya.

"Gimana nggak lihat, ini aja kelihatan banget."

"Ya nggak usah dilihat. Lo itu kalau diilangin susah banget!" kesabaran Hilya mulai habis.

"Mbak-mbak, yang baju abu-abu dicariin teman gue." Dua cowok itu melintas di hadapan mereka berdua. Yang dimaksud baju abu-abu adalah Hilya.

Hilya menatap mereka horor. "Mbak-mbak, emang gue mbakmu apa?!"

"Buset, ketus amat dia. Awas lo, nanti yang ngedeketin pada mundur semua."

"Mau dia mundur terserah. Gue juga nggak nyuruh mereka mundur. Dasar buaya, beraninya ngatain gue!" ucap Hilya sedikit berteriak karena mereka sudah mempercepat langkahnya menjauh.

"Lya, pulang aja yuk!" ajak Ara dengan nada suara lesu.

"Kenapa? Karena lo nggak kuat lihat mereka berdua, iya? Gue, 'kan udah bilang ke lo berkali-kali buat membuang perasaan lo jauh-jauh buat Rian, tapi lo masih batu benget jadi orang."

Tanpa banyak bicara Ara langsung bangkit meninggalakan Hilya yang kesal padanya. Pagi harinya rusak begitu saja karena melihat Rian dan Raina bersama.

"Astaga, tungguin, Ra!" Hilya segera menyusul Ara.

"Semakin ke sini perasaan gue ke Rian semakin dalam," liri Ara.

Hilya memasukkan tangannya ke dalam sakunya. "Dan semakin sakit hati lo tiap hari melihat mereka berdua."

"Perasaan ini tumbuh dengan sendirinya tanpa sepengetahuan gue dan dipatahkan oleh kenyataan yang ada. Mau nyerah, namun hati gue masih berkata buat mengejar dia." Ara menoleh ke belakang dan masih mendapati Rian bermain dengan Raina.

Terdengar embusan napas panjang dari Hilya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa pada Ara agar sadar bahwa perasaanya ke Rian hanyalah bertepuk sebelah tangan. Rian saja tak mengenal Ara. Bukannya Hilya mengejek Ara, akan tetapi, kenyataan lah yang membuktikan sejauh ini hanya sakit hati yang Ara rasakan. Berjuang sendiri itu sakit, terlebih yang diperjuangkan hatinya berpihak milik orang lain.

"Lo tahu, Ra. Kadang manusia itu lupa sama cinta-Nya Allah. Mereka sibuk mengejar cintanya hambahnya sampai lupa pada pencipta-Nya. Allah itu juga butuh cinta, bukan hanya kita aja. Lo lihat Rian sama Raina aja udah sakit, apalagi Allah yang cemburu lihat lo terlalu mengejar cintanya Rian."

Seketika Ara menghentikan langkahnya. "Bukannya cinta itu juga butuh perjuangan?"

"Ya, tapi lo sadar nggak, apa yang lo lakukan kadang bisa membuat Allah cemburu. Jadi, sewajarnya aja lo mencintai Rian.  Memang semua butuh perjuangan, tapi kembali lagi pada diri kita. Adakalahnya yang sebenarnya kita perjuangkan hari ini bukanlah hal yang terbaik untuk kita." Hilya mencermahi Ara p × l × t × ½ = ujung-ujungnya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Ara mengangguk-angguk, ia paham dengan apa yang dimaksud Hilya.

***

Setelah mendengarkan perkataan Hilya tadi membuat pikiran Ara sedikit terbuka. Mulai hari ini ia harus bisa sedikit demi sedikit buat tidak memikirkan Rian terus. Ia sadar jika selama ini perasaanya ke Rian terlalu berlebihan, egois berambisi untuk mendapatkannya. Dipatahkan oleh kenyataan memang adalah hal yang menyakitkan, tapi tidak semuanya berujung menyedihkan.

"Gue jadi sedikit sadar, Ra. Apa yang lo katakan tadi ada benarnya." Ara memainkan sendok minumannya.

Saat ini mereka berdua sedang ada di coffee shop. Selepas pulang dari alun-alun Ara mengajak Hilya mampir ke sini untuk sekadar makan dan minum.

Hilya mengulum senyum. "Kalau lo sedikit sadar gue senang, Ra. Barangkali lo sakit hati setiap dengar perkataan gue buat lo nggak mengejar Rian, sorry banget. Gue nggak bermaksud mnghina perasaan lo.

"Iya, gue tahu. Gue itu bersyukur banget bisa ketemu sama lo, bersahabat, dan selalu menasihati gue ketika gue seneng maupun susah."

"Enggak nyangka ya, kita udah kelas 12 aja," ucap Hilya seraya menyantap kentang goreng.

"Bentar lagi mau lulus, endingnya perasaan gue ke Rian gimana ya, nanti?" tanya Ara.

"Kalau itu urusan Allah hehehe. Mau nyesek, bahagia, sedih, dan kecewa, lo pokoknya harus bisa menerimanya dengan ikhlas!"

Ara membuang mukanya. "Gue harap endingnya nggak mengecewakan."

Buliran air mata mengenang di pelupuk mata Ara. Selalu saja Ara mentihkan air matanya buat orang uang jelas-jelas tidak pernah menghargai perasaanya. Bagaimana bisa menghargai, sedangkan Rian saja tidak mengenal Ara. Kisah cinta Ara benar-benar miris. Percaya saja mungkin ini adalah jalan yang harus Ara lewati, sebuah ujian yang harus ditaklukan untuk menuju garis takdir yang sesungguhnya.

"Jangan mellow gitu, deh. Gue yang jomblo nyesek lihat air mata lo jatuh terus." Hilya mencoba menghibur Ara.

"Lya, sampai sekarang lo masih belum bisa mencintai seseorang?"

Hilya meimincingkan kedua matanya. "Ngapain lo nanya gitu?"

"Ya, secara nggak sadar lo, 'kan orangnya cuek, judes lagi. Tadi aja sampai dikatai dua cowo yang lewat depan kita." Ara berhasil membuat wajah Hilya kusut.

"Hm, nggak ada yang pas di hati gue."

"Lo itu terlalu cuek, judes, dan lo, 'kan mengharap sama abdi negara. Boleh-boleh aja sih lo berharap dapat abdi negara, tapi kasihan aja sama yang dekatin lo pada kabur semua."

Hilya menyumpal mulur Ara dengan kentang. "Baru aja sedih sekarang udah  puas ngatain gue. Emang gue berharap, tapi ya, nggak berharap-harap amat. Sadar posisi aja, kayak lo yang harusnya sadar juga."

Coffe  shop siang ini benar-benar menjadi tempat perbincangan paling berarti. Sosok Hilya begitu hangat ketika Ara menumpahkan segal keluh kesahnya padanya. Hilya tidak pernah protes setiap kali Ara selalu bercerita tentang masalahnya. Ia berusaha memberi solusi jika masalah itu masih bisa diatasi.

Terima kasih telah menjadi sahabat yang paling berati buat gue, Hilya.

Semoga suka sama part ini!!

Baca, vote, komen, dan bantu share biar banyak yang baca❤

Typo banyak, sorry

See U next chapter!

Halu, 8 September

Dari Pintu SMK (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang