Lima

12 2 0
                                    

Tepat hari ini.

Genap sudah seminggu Kezia mengangguki keinginan Rafi. Seminggu juga dia kehilangan tidur nyenyaknya. Terkutuklah sikap tidak enakan yang ada pada diri gadis itu. Dimana pun makhluk yang bernama tidak enak hati itu berada, ingin sekali Kezia menemukan dan membunuhnya dengan cara yang sangat sadis. Karena sangat menyebalkan ketika bilang iya padahal lubuk hatinya yang paling dalam membisikkan tidak. Tapi, bukan berarti ketika gadis jenius dari jurusan Akuntansi itu jujur dia akan menjadi tenang. Tidak, sama saja. Dia akan tetap merasa sangat bersalah.

Dan entah kemana lenyapnya keyakinan bahwa dia akan meraih bahagia dengan membahagiakan orang lain.

Ironi sekali hidupnya. Jatuh hati pada sang kakak. Kemudian terpaksa menerima lamaran dari musuhnya di masa lalu.

Tadinya, dia berniat untuk tidak memberitahu Adis tentang lamaran mendadak Rafi. Tapi siapa lagi yang bisa dia mintai pendapat di tengah kekalutan perasaannya itu.

"Gua bilang juga apa suatu hari lu akan kenak batu juga dari sikap gak enakan lu itu." suara Adis terdengar nyaring dari ponsel Kezia.

"Ish, bukannya membantu malah ngehina."

"Terus dengan menghindar bisa membantu, begitu?"

Enggak

Enggak sama sekali.

Seminggu kabur, selama itu pula dia kehilangan ketenangan hidup. Kantung matanya sudah sepekat americano yang ada didepannya kini. Jika ditambah sebulan saja, kezia mungkin bisa mati berdiri.

Rafi mengiriminya banyak pesan. Dia jawab tapi sebagian besar hanya iya, tidak, maaf dan terima kasih. Belakangan dia malah tambah merasa bersalah karena Rafi tidak lagi mengiriminya pesan karena itu berarti Rafi mulai merasa mereka tidak baik-baik saja. Semakin rumit rasanya hubungan dadakan yang dijalani Kezia ini.

"Kamu jadi ke sini tidak?" Ucapnya pada akhirnya karena terlalu jengah mendengar omelan Adis di telepon.

Akhir pekan kali ini, Kezia memilih merenung di kafe menghindari topik yang sedang hangat di rumahnya. Apalagi kalau bukan tentang Rafi. Seseorang yang susah payah dia hindari.

"Udah OTW. Sepuluh menit lagi nyampek." Balas Adis kemudian pamit untuk menutup telepon.

Kezia melamun lagi. Pikirannya menjadi ramai kembali dengan pertanyaan apakah langkah ini sudah benar? dan tentang bagaimana kehidupan mereka kelak jika diawali dengan banyak keraguan? Sama seperti sebelumnya dia tidak berhasil menemukan jawabannya.

Rambutnya menjadi sasaran paling empuk untuk meluapkan kekesalan. Sudah tak terbentuk karena sejak tadi terus ditarik ke sana ke mari. dia tidak menyadari ada seseorang yang tengah memperhatikan dan berjalan ke arah nya sekarang ini.

"Dora!"

Sontak kepala Kezia menuju sumber suara. Itu Rafi. Dia terkejut. Hatinya belum siap sepenuhnya untuk bertemu pria itu. Tapi kalau sudah seperti ini, dia bisa apa.

"Hai" balas Kezia sangat gugup

"Sedang apa, Ra?"

"Nunggu teman."

"Aku baru selesai meeting. Boleh aku gabung?"

Kezia hanya mengangguk.

Setelahnya hening. Keadaan semacam ini membuat Kezia semakin canggung. Kepalanya pun menunduk mengikut suasana hati.

"Maaf, kemarin-kemarin gak ngirim kabar ke kamu. Kantor lagi hectic."

Nah, beginilah Rafi yang dia kenal seminggu ini. Selalu minta maaf untuk hal-hal yang sebenarnya tidak masalah untuk orang lain. Rafi paling sering bilang, maaf ya lama balas pesan kamu untuk pesan yang baru lima belas menit terkirim. Padahal Kezia malahan membalas pesannya lebih lama dari itu.

"Ehh, gapapa kok."

Kezia menoleh pada Rafi sejenak lalu mengembalikan atensinya seperti sebelumnya, memandang granit putih bercorak smock di kakinya.

"Aku buat kamu nggak nyaman, ya!"

"Enggak, kok. Aku biasa aja."

Dengan cepat dia memperbaiki gestur tubuhnya, beralih pandang dari kedua tangan gemetarnya pada Rafi. Seketika itu, dia menyesal karena mata Rafi memandang dengan cara yang aneh. Kezia tidak tahu cara mendeskripsikannya. Yang jelas, Dia tidak pernah diperhatikan seperti itu sebelum ini.

Hening lagi beberapa saat hingga Rafi punya sesuatu untuk ditanyakan pada Kezia.

"Sidangnya jadi minggu depan, Ra?"

"Ehh, kok bisa tau? Aku pernah cerita sebelumnya, ya!"

Sepengingatan Kezia, dia belum pernah cerita sama sekali.

"Mama kamu yang kasi tau."

"Ohh iya, mama cerita apa lagi."

"Banyak. Tapi aku udah hapalin kok. Kamu suka warna coklat tapi enggak suka coklat. Makanan kesukaan kamu seblak yang pedas banget pake ceker ayam. Kamu biasa beli di warung dekat SMA mu, kan? Terus ....."

"Oke, Stop. Aku perasaan waktu kamu main ke rumah mandinya gak lama. Tapi mama udah ngasi tau banyak hal."

"Bukan aku yang minta, loh!"

"Iya, aku tau. Mama orang yang  memang suka membangga-banggakan anaknya di depan orang lain. Kadangkala aku mikir, mama itu seperti sedang menjual kami pada orang-orang."

Rafi menunjukkan ekspresi keheranan dan Kezia dengan cepat menangkapnya.

"Agak lebay ya kedengarannya? Tapi ya begitu mirip tukang buah yang membangga-banggakan dagangannya. Tiap kumpul keluarga ada aja yang ditonjokan. Kak Daren lulus cumlaude lah. Aku ikut olimpiade lah."

"Kamu tidak senang dipuji-puji begitu, ya?"

"Enggak juga. Aku juga cewek. Kayaknya semua cewek suka dipuji, deh. Yang enggak aku suka itu, efek dari mama ngomong gitu sepupu-sepupuku pada musuhin kami semua. Kan orang tua mereka jadi banding-bandingin gitu. Makanya, dari kecil terbiasa main berdua aja sama Kak Daren."

Kemudian dering ponsel Kezia menjeda pembicaraan mereka. Dia baru tersadar kalau tadi mengundang seseorang ke tempat ini setelah membaca nama si penelpon.

Kezia menoleh Rafi dan meminta izin untuk mengangkat telpon.

"Itu yang namanya Rafi, Kez?" Tanya Adis tanpa berucap salam terlebih dulu.

"Ehh, kamu udah sampai. Kamu dimana?"

Kezia celingukan ke kiri dan kanan untuk menemukan keberadaan sahabatnya.

"Jawab dulu pertanyaanku!"

"Iya, ini aku bareng Rafi."

Rafi yang tadinya memainkan ponselnya kini menatap gadis itu begitu namanya disebut. Kezia hanya tersenyum tipis sebagai balasan.

"Oke, he will threat you better. Trust me. Aku gak jadi kesana takut ganggu orang yang lagi pacaran. Aku balik dulu. Bye."

Setelah itu telepon diputus sepihak oleh Adis.

"Kok gitu, dis,.. dis,.. Lah kok ditutup?"

Kezia merana lagi. Tadinya kedatangan Adis seenggaknya bisa dia jadikan alasan untuk berpisah dengan Rafi. Bagaimana pun mentalnya belum siap untuk ini semua. Pacaran saja dia bahkan tidak pernah sekalipun. Jadi, untuk hubungan yang lebih dari itu harusnya tidak segegabah ini. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Dia tidak tega melihat mimik wajah sedih pria di depannya ini seperti yang terjadi di mobil tempo hari untuk kedua kalinya.

"Teman kamu kenapa?"

"Enggak tau nih, tiba-tiba aja bilang mau balik padahal udah sampai sini."

"Gara-gara aku ya? Maaf ya. Apa aku pergi aja? Kamu telpon dia minta kesini lagi."

Kezia boleh jawab iya gak? Tapi percaya deh, gadis itu tidak akan mampu mengatakannya.

"Gak gitu. Dia bilang gak mau ganggu orang yang lagi pacaran. Dia aneh kita kan enggak lagi pac..." Kezia terdiam menyadari sepertinya ada yang salah dari ucapannya. Dia berdecak untuk dirinya sendiri.

Rafi tersenyum lebar atas reaksi gadis itu, "Iya, kita enggak lagi pacaran. Aku kan udah melamar kamu. Itu tandanya kamu tunangan aku."

Shit, itu lebih mengerikan dari pada pacaran.

Kolong LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang