Mendengar kabar sang kakak melamar pujaan hatinya sudah cukup buruk bagi Kezia. Sekarang menjadi lebih buruk karena mama memaksanya untuk ikut dalam acara lamaran resmi ke rumah Erin.
Sejak acara makan malam itu, gadis itu sudah dikuliahi tentang pakaian apa yang harus dia kenakan. Mama juga menawarkan diri untuk jadi pe-make up-nya untuk acara malam nanti. Kezia merasa jengah, karena itu begitu dia punya alasan untuk keluar rumah, dia bergegas untuk pergi.
"Kezia Adora Luan, kamu gila ya?. Udah dari jam berapa kamu disini. Padahal kita janji jam 5 loh, Kez. Tante Arinka nelponin aku dari tadi."
Kezia sudah keluar rumah sejak jam satu siang tadi. Segera setelah sahabatnya itu menelpon mengajak bertemu, Dia langsung pamit pada Mama untuk keluar bersama Adis walaupun saat itu lebih cepat empat jam dari janji mereka. Kezia banyak menghabiskan waktunya di toko buku dan gedung bioskop. Baru setelah merasa kakinya butuh istirahat, dia beranjak ke kafe tempat mereka sekarang duduk. Tapi Kezia tidak akan memberitahukan hal itu kepada Adis sebab dia sedang tidak ada mood untuk mendengar gadis itu mengomel.
"Baru setengah jam aku disini, dis." Jawab Kezia menoleh sebentar lalu kembali mengalihkan pandangannya ke buku yg tadi sempat dia beli di toko buku.
Kezia tahu sahabatnya itu nampak kurang puas dengan jawabannya. Dia bahkan sadar kalau Adis belum memindahkan pandangan dari dirinya. Namun, menghindari semua topik tentang orang-orang di rumahnya adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
"Kamu gak lagi nyembunyiin sesuatu dari aku, kan Kez?". Selidik Adis
Adis dan keahlian cenayangnya memang sangat sulit untuk dibohongi. Mungkin karena sudah bersama sejak SMP, Gadis itu sudah tau seluk-beluk mood Kezia yang selalu benar dalam tebakannya.
Merasa tidak bisa mengelak lagi, Kezia menutup bukunya, kemudian menatap Adis dengan tatapan sendu dan membuka suara, "Dis, Gue harus melupakan dia, kan?."
Tidak butuh waktu lama untuk Adis menerka siapa Dia yang dimaksudkan oleh sahabatnya itu. Adis tahu betul kemana hati Kezia berlabuh dan dia juga yang menyarankan solusi itu jauh-jauh hari, di hari pertama sang sahabat menceritakan kegalauannya. Adis hanya terlalu menyayangi Kezia sehingga tidak ingin jika gadis berkacamata itu terluka walau sedikit saja.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Kez?" Adis berbicara dan memindahkan kursinya lebih dekat dengan Kezia, merangkul pundak gadis itu dengan tangan kanannya.
"Kak Aen, Dis. Kak Aen,..." Kezia tercekat omongannya sendiri.
Dia butuh kekuatan untuk melanjutkan apa yang ingin dia utarakan. Kezia bisa merasakan elusan di punggungnya. Tapi bukannya merasa dikuatkan, gadis itu malah merasa tidak sanggup lagi untuk menahan kabut di matanya lebih lama.
"Kak Aen akan lamaran hari ini." Akhirnya, deretan kalimat menyakitkan itu lolos dari bibirnya bersamaan dengan air mata yang jatuh menyentuh pipinya.
Kezia tertunduk dalam. Sedikit demi sedikit perih yang berasal dari dadanya merambati sekujur tubuhnya yang mendadak kebas. Kedua tangannya meremas ujung kemejanya sangat erat, tapi apa yang baru dia lakukan itu tidak mengurangi sedikit saja rasa sakit yang dia alami. Gadis itu tidak lagi peduli dimana dia berada sekarang ini.
Adis tidak berbicara sepatah kata pun pada gadis itu, karena menurutnya, yang dibutuhkan Kezia sekarang adalah waktu untuk meluapkan kesedihannya. Dia yakin sahabatnya itu tidak pernah membiarkan dirinya melakukan demikian. Adis ikut larut dalam duka yang dimiliki Kezia. Dia dengan cekatan membawa Kezia dalam pelukannya. Adis tidak masalah jika setelah ini dia akan pulang dengan pundak bajunya yang basah asalkan sahabatnya itu merasa lebih baik.
*****
Pada akhirnya Kezia tetap harus ikut acara lamaran yang membuat hatinya teriris-iris itu. Gadis itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti saran dari Adis.
"Kez, langkah awal untuk melupakan dia cuma dengan cara elo menganggap dia adalah kakak elo sama seperti yang mama papa lo pengen. Dan tidak ada adik yang nolak untuk datang ke acara lamaran kakaknya sendiri."
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Erin, Kezia hanya fokus melihat keluar jendela mobil. Gadis itu tak berminat sedikit pun masuk ke dalam obrolan penumpang lainnya dalam mobil itu. Bahkan kalau boleh jujur, telinganya cukup panas mendengar sang mama membangga-banggakan seorang Erin yang sebentar lagi menjadi menantu di keluarganya.
Erin yang anggun,
Erin yang pintar masak,
Erin yang mandiri,
Erin yang sopan,
Erin yang ramah,
Dan Erin-Erin yang lainnya yang melukiskan kesempurnaan.
Sedangkan Kezia, selalu saja terlihat minus di mata mamanya. Sebelum berangkat tadi Kezia dan mamanya bahkan sempat bertengkar. Lagi-lagi perihal gaya busana Kezia yang kuno. Mamanya marah melihat gadis itu lebih memilih keluar dari kamarnya mengenakan jeans dan kaos oblong ditambah sweater abu-abu kesenangannya, meninggalkan gaun merah jambu yang sudah dibelikan mamanya khusus untuk acara hari ini. Omelan panjang mama tidak berhenti sampai papanya menengahi perdebatan itu.
Mamanya tidak pernah tahu apa yang menjadikan Kezia seperti ini?, tidak pernah tahu bahwa pernah ada masa dimana Kezia sangat tertarik dengan make up dan gaun. Tapi disaat bersamaan dia juga menjadi begitu membenci kedua hal itu. Dia masih sangat ingat malam itu, saat dimana dia berpikir bahwa mungkin saja ada setidaknya kemungkinan Daren menganggapnya lebih dari seorang adik. Berbekal tutorial Youtube, Kezia coba berdandan untuk sang kakak. Tidak peduli bahwa Daren sudah menolaknya. Tapi apa yang dia dapat malam itu?. Daren seakan-akan sudah melempar kotoran ke mukanya.
Di malam itu, malam prom night kelulusannya, Daren meneriaki dirinya di depan orang ramai, "Gaun apa yang kamu pakai, Kez?. Kekurangan bahan begini. Kamu udah kayak perempuan murahan tau gak. Terus ini make up kamu. Kayak ondel-ondel di pasar minggu."
Saat itu, yang bisa dilakukan Kezia hanya meremas gaun merah selututnya dengan kasar. Perkataan Daren itu jelas sangat menyakitki hatinya. Harus sekali yaa mengatai Kezia perempuan murahan. Demi Tuhan, gaun yang dia kenakan bahkan lebih tertutup dari pada kepunyaan temannya yang lain.
Itu adalah penghinaan paling kejam yang pernah Kezia terima. Lebih sakitnya lagi hinaan itu disampaikan oleh orang yang bahkan tinggal seatap dengannya. Kalau memang Daren membencinya karena pernyataan cintanya, lelaki itu tidak selayaknya mempermalukan dirinya sedemikian rupa.
Kezia tahu dia salah sudah menyukai kakaknya. Gadis itu bahkan sudah lama kecewa dengan dirinya sendiri karena hal itu. Tapi apakah pantas dia menerima semua kata-kata kasar itu hanya karena dia mencintai kakaknya sendiri? Hanya karena sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan.
Mengingat semua kenangan itu hanya membuat mata Kezia kembali berkabut. Gadis itu lagi-lagi mendongakkan kepalanya menatap langit malam demi menahan air matanya yang siap luhur kapan saja.
"Kez, gimana skripsi kamu?" Dan hanya Papanya seorang yang mengerti kehadirannya di mobil ini.
Kezia menoleh menghadap papanya, "Lancar pa, kalau enggak ada halangan mungkin minggu depan aku udah bisa ajuin jadwal sidang."
"Bagus itu. Jadi, kamu bisa bantuin abang kamu di kantor. Kasian kakak ipar kamu nanti kalau sering ditinggal sendirian di rumah sering-sering sama kakak kamu." Kezia mendesah keras mendengar omongan mamanya itu.
"Kezia pengen ambil S2, Ma." Itu bukan permintaan izin. Itu pernyataan. Setelah dia pikir-pikir itu jalan terbaik untuk hatinya. Dia harus S2, yang jauh kalau bisa.
"Enggak ya, Mama gak ngizinin. Udah deh, Kez. Kamu S2 mau ngejar apaan sih?. Sesekali kamu dengerin Mama kenapa?. Kamu bantuin kakak kamu. Titik."
"Udahlah, Ma. Biarkan Kezia nentuin jalan hidupnya sendiri. Dia sudah dewasa untuk tau yang mana yang baik dan buruk untuk hidupnya."
"Enggak, Pa. Anak ini kalau gak dimarahin pasti ngelunjak terus."
"Kenapa harus Kezia yang berkorban. Kenapa gak Erin saja yang bantu kak Daren di kantor. Kata Mama dia bisa segalanya. Kenapa Kezia, Ma?. Anak mama itu sebenarnya siapa, sih. Aku apa Erin?" Akhirnya semua kerisauannya, keluar begitu saja. Kezia tak kuasa menahan apa yang ada di dadanya lebih lama. Dan sedetik kemudian tamparan menghantam pipi putih mulusnya.
Mama dan euforianya menyambut menantu baru memang tidak bisa terbantahkan, tidak peduli semua itu bisa saja melukai anak perempuan semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kolong Langit
RomanceKezia Adora Luan tidak mengerti dengan perasaannya sendiri yang dengan bodohnya memilih sang kakak untuk dicintai. Dia bahkan tidak bisa menahan diri untuk tidak patah hati ketika sang kakak mengenalkan kekasihnya pada orang tua mereka. Tapi, dia bi...