Red Note; Xaturnis

14 0 0
                                    

Red Note
Oleh Xaturnis

Di persimpangan dengan ruas tiga jalur itu, seorang wanita berkemeja putih melangsungkan pembunuhannya yang ke-25. Tepat setelah pisau bergerigi di tangannya berhasil menembus urat nadi leher lelaki tak berdosa itu, bibirnya perlahan terangkat.

“Satu ... dua ... tiga ... empat.”

Decihan keras terdengar sesaat kemudian. Ia merogoh saku rok hitam selutut yang ia kenakan, mengeluarkan benda mirip kertas berwarna merah dari sana.

“Sayang sekali.” napasnya berhembus pelan. Diselipkannya kertas catatan tempel merah itu ke dalam seragam polisi yang dikenakan pria di hadapannya.

Angin dingin bertiup kencang, dari caranya membuat bulu kuduk merinding, sepertinya beberapa saat lagi akan turun hujan lebat.

“Padahal aku menyukaimu. Tapi kalau bukan jodoh mau dikata apa?” suara monoton wanita itu menutup ‘kegiatan’nya malam ini.

Langkah kaki jenjangnya perlahan tinggalkan persimpangan dan mayat anggota kepolisian yang tiga hari lalu sempat menyatakan perasaan suka padanya.

Perjalanan dua puluh menit berjalan kaki membawanya sampai di sebuah apartemen kecil tak jauh dari gedung olahraga ternama di kota itu. Hujan turun membasahi tanah bersamaan dengan pintu unit di lantai dua yang ditutup.

“Kira-kira ... dia adalah orang yang bagaimana?”

Wanita itu bergerak duduk ke kursi kerja usai membuat semangkuk mie instan. Seharusnya dia menepati jadwal yang sudah ditetapkan untuk memelototi layar komputer sampai pagi, tapi urung karena ternyata ‘kegiatan’ nya malam ini cukup menguras tenaga.

“Aku belum menghapus make up.” katanya seraya menguap mulut.

Wanita itu mulai merayap ke dunia mimpi sambil berpikir bahwa tak apa sekali-sekali tidur dengan make up yang masih menempel di wajah. Mie instan malang yang belum sempat disentuh sempat tumpah sedikit karena ulahnya, menodai setelan olahraga hitam yang ia kenakan.

Gemericik hujan masih setia menemani awal pagi. Hari minggu, bukan hari yang sibuk bagi kebanyakan orang. Tetapi bagi lelaki berjaket abu-abu ini, tidak ada hari libur sebelum dirinya bisa bertatap mata langsung dengan si pembunuh berantai yang sudah setengah tahun meresahkan kota.

“Kita sudah sampai. Kuharap kau tidak terlalu memaksakan dirimu, detektif. Setelah mendapat informasi lengkap soal kasusnya, segera lah kembali ke kotamu.”

“Kenapa?”

Pengemudi taksi menoleh cepat, pasang wajah ketakutan seperti sedang dikejar anjing.

“Tidak ada seorang pun yang bisa menangkap siluman sepertinya.”

“Siluman?”

“Ya! Pembunuh berantai itu.”

Sang detektif muda dari kota besar menyunggingkan senyum.

“Aku akan menangkapnya. Sampai jumpa lagi, pak.”

“H–hei! Jangan berani-beraninya mencari siluman itu! Detektif!” pengemudi taksi menongolkan kepalanya lewat jendela, pekikannya terdengar sampai ke seberang jalan.

Sang detektif penumpang taksinya sudah melangkah di zebra cross menuju kantor kepolisian, hanya berbalik sebentar untuk memberi senyum tanpa berniat turuti perkataan si pengemudi taksi.

“Beberapa waktu terakhir, korban sedang dekat dengan seorang wanita yang bekerja di kantor penerbitan.”

“Wanita itu biasanya berangkat pagi hari dan pulang malam. Namun kemarin malam kamera pengawas tiba-tiba mati dan aku ketiduran, jadi tidak tahu apakah kini dia ada di rumah atau tidak.”

Detektif memperhatikan seksama layar yang memperlihatkan rekaman hitam putih dari kamera pengawas.

“Siapa dia?”

Penjaga apartemen refleks menghentikan sementara video yang berjalan, dia mengernyitkan dahi, menatap sejenak seseorang yang ditunjuk sang lelaki.

“Ah, gadis programmer yang tinggal di unit yang bersebelahan dengan si wanita kantoran. Dia jarang bersosialisasi dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam. Biasanya dia keluar jam 6 pagi dan kembali beberapa menit setelahnya, mungkin membeli makanan untuk dimakan seharian.”

“Kau memperhatikan semua orang yang tinggal di sini?”

Penjaga apartemen itu terkekeh kecil menanggapi kecurigaan detektif di sebelahnya.

“Apartemen ini tidak besar, detektif. Dan aku duduk di pos selama 24 jam, jadi memperhatikan tiap-tiap penyewa sudah bagaikan kebiasaan.”

“Baiklah.”

Pengawas apartemen tampak heran melihat si detektif mulai bangkit, bersiap meninggalkan pos.

“Aku akan pergi menanyakannya beberapa hal.”

Detektif itu menelusuri tiap-tiap unit apartemen di lantai dua, berhenti tepat di hadapan pintu hijau yang diyakininya adalah unit yang tepat.

Meski sudah lebih dari tiga kali bel dibunyikan dan tak ada seorang pun yang bukakan pintu, detektif tetap menghujani unit itu dengan bel. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya dan ia harus memastikan bahwa itu adalah benar, saat ini juga.

Hampir ketika kakinya sudah terangkat ingin hampiri unit sebelah, pintu bercat hijau itu dibuka. Si detektif melebarkan pupil mata, di hadapannya kini berdiri seorang gadis berpakaian olahraga.

Melihatnya sekilas saja, sudah terlihat bahwa gadis itu amat kusut dan lelah, sebenarnya itu hal wajar mengingat ini adalah hari libur sejuta umat. Salah si detektif yang tega-teganya membombardir rumah orang lain dengan bel di pagi buta, sudah begitu ternyata dia salah rumah pula.

Sang detektif berdehem pelan.

“Maaf mengganggu waktu Anda. Saya—”

“Kau salah unit.” suara parau gadis itu menyapa telinganya.

Si detektif menelan ludah. Tak salah lagi.

“Eh ... saya memang mau ke sini.”

Gadis itu membuka kedua matanya yang semula menutup akibat kantuk.

“Kalau soal kelompok peretas, aku sudah tidak berhubungan dengan mereka.”

“Bukan itu—”

“Soal kejadian di minimarket, memang aku yang salah. Tapi mana bisa aku merelakan keripik edisi terbatas itu.” si gadis memasang wajah jengkel sembari bersandar pada dinding di sebelahnya.

“Itu juga bukan.”

“Lantas?”

Detektif itu menyelidik sejenak ke wajah si gadis, lantas ia mengeluarkan sebuah kertas berwarna merah dari saku jaket abu-abunya.

Itu sebuah kertas catatan tempel.

Si gadis menatapnya dengan wajah biasa, seolah tidak tertarik, atau bahkan tidak terlihat heran soal mengapa seorang pria asing datang ke unit apartemennya hanya untuk memberi kertas catatan tempel.

“Aku menemukanmu—”

“Satu ... dua ... tiga ... empat ...” si gadis perlahan melepaskan genggamannya pada pisau lipat yang telah menancap di leher lelaki di hadapannya.

Ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya itu, terutama saat rupanya si detektif masih bernapas dengan normal setelah beberapa saat, tidak seperti korban-korbannya yang langsung ambruk. Jika pun masih bisa bicara biasanya para korban akan menyumpah serapahi si gadis programmer, yang rupanya juga si wanita kantoran.

“Lima.”

Kertas catatan tempel merah di tangan sang detektif perlahan jatuh ke lantai.

“Aku menemukanmu.”







Red Note
Oleh Xaturnis

S e l e s a i

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Amor Verus (Cerpen Romansa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang