Ketidaksengajaan Takdir; Vemoon

20 1 0
                                    

Ketidaksengajaan Takdir
Oleh Vemoon





Apa yang banyak orang besarkan dari kota ini ternyata benar. Paris selain dijuluki kota romantis di sini Roya juga bisa melihat seniman jalanan yang banyak terdampar di sepanjang trotoar. Penampilan mereka bebas, tak tertata, tak berstruktur, tapi justru mengeluarkan aura fashionable yang alami.

Tidak semua adalah pelukis, seniman juga bisa berarti mereka yang menciptakan suatu karya baru. Seperti contohnya kakek tua tampan yang duduk di tepian air mancur. Rambutnya yang sudah dominan putih bahkan tak bisa melupakan masa mudanya yang pasti selalu menjadi incaran perempuan. Alat musih selo ada dalam dekapannya. Sesekali ia mencoba memainkan satu, dua tangga nada kemudian dicatatnya di buku yang tergeletak di samping. Rupanya ia sedang membuat untaian lagu.

Entah Roya harus kemana lagi. Tujuan utamanya berada di sini bukan hanya untuk terlihat seperti orang linglung, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Memang menyenangkan bisa melihat – lihat banyak hal, tapi kaki ini seperti sudah tidak sanggup. Ia pun singgah di sebuah cafe kecil yang ada di pinggiran trotoar, berjejer bersama toko – toko lainnya. Roya memesan segelas vanilla latte dan duduk di salah satu kursi di luar cafe. Sebentar ia mengecek layar ponselnya yang tidak menunjukkan notifikasi apapun dari orang yang menjadi tujuannya.

Roya menyandarkan punggungnya. Lebih dalam lagi memperhatikan orang – orang yang lalu – lalang. Seorang pria dimintai tolong untuk mengambil gambar tiga orang turis di depan sebuah bangunan berarsitektur kuno. Pria itu memotretnya kurang lebih tujuh kali, wajahnya masih tersenyum ketika turis tersebut meminta lagi.

Ia pun mengembalikan kameranya dan pandangannya bertemu tatap dengan mata hitam Roya. Syukurlah sore ini Roya memakai riasan eyelineri sehingga matanya terlihat sedikit lebih besar. Ia adalah gadis keturunan asia yang punya mata sedikit lebih sipit, namun masih punya kelopak ganda, kelebihan yang tidak dimiliki kakaknya. Kulit Roya putih bersih, rambutnya panjang sampai menyentuh tulang ekor.

Laki – laki tadi sudah duduk manis di hadapan Roya. Ia tersenyum lalu menyapa, “ _bonjour_ .”

Namun Roya hanya menatapnya. Punggungnya masih bersandar dengan lengan yang bersedekap, sikap yang terlewat santai untuk kesan pertemuan pertama. Tapi, di samping itu pun Roya punya alasan mengapa ia tak membalas.

Roya adalah turis dadakan yang tanpa aba – aba langsung dibawa kakaknya pergi ke negara Prancis ini. Kakaknya adalah seorang designer yang mendapat kesempatan emas untuk menunjukkan hasil keringatnya di peragaan busana yang akan digelar dekat menara Eiffel dua hari lagi. Jadi, bukan salah Roya kalau ia hanya diam saat disapa dalam bahasa Prancis.

“Aku melihat mata sipitmu terus memperhatikanku tadi bersama turis – turis itu.” Akhirnya laki – laki itu berbicara bahasa Inggris yang bisa dengan mudah Roya pahami.

“Ah, orang yang memperhatikan ras.” Roya mengangguk – angguk paham begitu telinganya mendengar kata sipit dari laki – laki asing yang ada di hadapannya.

Laki – laki itu terkekeh. “Tidak benar – benar serius. Aku bahkan bekerja untuk orang – orang dari berbagai ras.”

“Pemandu wisata, right?” tebak Roya masih dengan wajah datar. Bukan ia tak tertarik dengan obrolan mereka, hanya ia punya sedikit masalah soal mengeskpresikan perasaannya. Jauh di lubuk hati ia berkata tertarik dengan laki – laki ini. Bagaimana beberapa menit lalu kakinya yang jenjang dengan percaya diri melangkah mendekati gadis asing yang duduk sendirian dengan vanilla latte.

“Aku sedang libur. Tapi, kalau kau mau berkeliling aku akan menemani. Setidaknya menjadi teman bicara untuk menghabiskan soremu?” lagi – lagi senyuman menawan terpatri di wajahnya yang rupawan.

Amor Verus (Cerpen Romansa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang