Fajar dan Senja; Xaturnis

39 2 0
                                    

Ia terbangun dari tidur.
Takzim mengintip di ufuk timur.
Tubuhnya berkilauan.
Sinarnya menyinari seluruh lautan.
Gulitanya malam.
Seketika sirna digantikan sinar cendayam.
Untukmu, sang Fajar.
Kulabuhkan perahu hati pada dermagamu.
Semoga kau mau menumpang di kapalku.
Atau mungkin berlayar selamanya bersamaku.
Dari, Senja.
Yang selalu setia menunggu kau tiba.
Semoga kau juga merasakannya.
Merasakan garis-garis cinta.
Yang terbang tanpa suara.
Dari terbit fajar sampai tenggelamnya senja.

Dari Senja, untuk Fajar.

***





"Nuwun sewu, Kanjeng Ibu. Arya perhatikan sejak tadi Kanjeng Ibu berdiri di teras, menatap langit, sudah lima belas menit lebih, ada apa sebenarnya?"

Wanita paruh baya yang masih terlihat anggun dan gagah dengan balutan baju kebaya cokelat serta rambut yang disanggul rapi di kepalanya itu menengok kearah laki-laki yang menyandang status sebagai menantunya, Aryasa Bratawidjaya.

"Lihatlah lembayung-lembayung jingga itu, Arya." ucapnya seraya menunjuk tangan kanannya ke udara.

Arya menengadahkan kepalanya dengan rasa penasaran. Benar saja, langit luas di atas sana tidak lagi berwarna kebiruan, melainkan sempurna dihias dengan indahnya warna khas jingga dari lembayung senja. Terang menyinari Keraton dan Kota disekitarnya, memberikan rasa teduh dan sakral bagi siapapun yang sedang melihat lembayung itu.

Burung-burung bergerombolan menari di pucuk pepohonan, rupanya tak ingin ketinggalan menikmati langit yang hari ini nampak indah sekali untuk dipandang. Cuaca masih cukup hangat, namun juga teduh seiring dengan bertambah jingganya warna langit.

Arya akhirnya mengerti, ini memang patut dipandang, ia tau dari istrinya—Kirana Diajeng Candramaya bahwa Ibunya itu sangat menyukai lembayung. Sejak dulu yang selalu membuat beliau bahagia adalah saat-saat di mana kedua matanya bisa menatap lekuk cakrawala berwarna jingga yang terasa meneduhkan, menghangatkan.

"Tetapi ada yang aneh, Arya"

"Apa itu, Ibu?"

"Lihatlah jam di dinding itu. Sekarang ini belumlah masuk waktu sore, bahkan bisa dikatakan masih berada diwaktu siang."

"Lalu jika ada lembayung ini, apakah itu berarti matahari akan tenggelam di waktu siang, Ibu?" tanya Arya heran, bahkan ia sendiri merasa bodoh untuk bertanya hal itu.

"Tidak, Arya. Aku sudah berdiri di sini sejak beberapa jam lalu, tidak ada tanda-tanda matahari akan turun. Bahkan aku tidak tahu ada dimana Si Merah Besar itu berada, tertutup awan."

Penuturan dari Kanjeng Ratu membuat Arya lagi-lagi penasaran dan sedikit heran. Ia menuruni anak tangga batu untuk berdiri di tengah lapangan luas dengan rerumputan kecil di depan Keraton. Menengok kesana kemari berharap menemukan sang surya, nihil, kemana perginya ia?

"Nuwun sewu, Kanjeng Ratu."

"Abiraka, apa ada hal yang ingin kau sampaikan?"

Amor Verus (Cerpen Romansa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang