28 - Pergi yang Tak Mungkin Kembali [End]

47 14 11
                                    

Ah, aku nggak nyangka kalau cerita ini kudu berakhir. Ah, iya, Gaes. Versi Wattpad sama naskah asli nanti ada perbedaan. Tentu naskah asli udah diperbaiki, plus ada enam ekstra part juga. Part manis antara Dendra sama Kinan, juga Kinan sama Jan. Mwehehehe.
Meski begitu, ending nggak jauh beda, kok.

Selamat membaca~
***

"Hal yang paling membuatmu menyesal adalah baru menyadari perasaan untuk orang yang sudah pergi dan tidak mungkin akan kembali." -Kinanti Magani Ayunda
***

"Ketakutan terbesarku adalah melepas tangan orang yang aku cintai dan mencintaiku."

Kalimat itu terus berputar di kepala Kinan, sedangkan tangannya terus menggenggam tangan Jan yang begitu lemah. Hampir sebulan sudah Jan bertahan dengan kondisi seperti itu, tubuh yang tak bergerak dengan selang terpasang di beberapa bagian tubuhnya, ventilator yang membantu pernapasan, serta mata yang tak kunjung terbuka juga.

"Bangun, Jan." Kinan masih setia duduk di kursi dekat ranjang pasien sembari sesenggukan.

"Nak Kinan mending pulang dulu, istirahat, dari semalam belum pulang, 'kan?" Emilia mengelus pelan punggung perempuan yang sedang menangisi putranya itu. "Nak Kinan butuh istirahat."

Bagaimana bisa Kinan istirahat? Sementara sejak kecelakaan itu, ia selalu merasa bersalah. Setiap kali ia memejamkan mata, kilas balik kejadian itu terputar dengan sangat kejam, membuat tubuhnya gemetar. Setiap kali ia tertidur, Jan datang dalam mimpinya, membuat hatinya makin pedih.

Kinan menyalahkan diri sendiri, merasa bahwa kecelakaan itu tak akan pernah terjadi andai saat itu, ia tak memutuskan menyebarang. Andai saat itu, ia bersikap lebih dewasa saat bertemu Dendra. Namun, semua hanyalah andai yang faktanya telah menjadi penyesalan.

Sementara, di luar ruangan ICU, papa Jan duduk dengan cemas. Ia selama ini tak pernah bersikap seperti itu. Sama halnya dengan Kinan, rongga dada Erwin juga dipenuhi penyesalan. Ia mengingat semua kejadian di masa kemarin. Ia sering memukul Jan tanpa alasan pasti, membuat putranya menderita seorang diri hanya karena keegoisannya.

Erwin duduk dengan gusar. Kepalanya menunduk, tatapannya tertuju ke lantai keramik rumah sakit yang serba putih. Selama hidup Erwin, ia hanya memberi rasa sakit untuk Jan, dan penyesalan tanpa ampun telah menjadi hukuman baginya karena menjadi ayah yang tak berguna.

Laki-laki berwajah tegas itu tak lagi menunjukkan ketegasan, hanya ada kesedihan yang terlihat. Ia takut jika kata maaf belum sempat diucapkannya, ia juga takut kasih sayang yang belum sempat ditunjukkannya hanya akan menjadi rencana tanpa pernah terlaksana.

Sementara itu, di samping Erwin ada Jenny yang saat ini menumpukan kepalanya di bahu sangat papa. Perempuan yang usianya sama seperti Kinan itu untuk pertama kalinya menangis. Ya, Jenny menangis karena Jan. Ia menyayangi adiknya tanpa pernah mengucapkannya, ia merindukan Jan, tetapi tak pernah berhasil mengungkapkan semua itu dengan kata.

Tak ada lagi yang tersisa, mereka kini hanya menunggu keajaiban sembari terus merasakan penyesalan yang makin menyesakkan.

***

Jan menitikkan air mata, ia seperti bisa melihat apa saja yang terjadi. Papanya yang menangis karena mengkhawatirkannya. Ia melihat semua orang berdoa untuknya. Ingin rasanya ia memeluk sang papa, untuk pertama dan terakhir kalinya, tetapi Jan tak bisa menyentuh apa pun dan siapa pun juga.

Call Me Nuna |Park Jihoon| Tamat√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang