KECEPLOSAN

73 13 28
                                    

Ketika Elang sedang asyik mengendarai motor, di tengah perjalanan, ponselnya berdering berkali-kali. Elang serba salah antara mau mengangkat panggilan itu atau tidak, karena saat ini cuaca sedang mendung, awan bergumpal berwarna abu-abu tua, kabar buruknya Elang lupa membawa jas hujan. Hatinya gelisah bukan main, Elang takut jika ada sesuatu yang penting, entah itu dari Mama, atau tiba-tiba dari Dhana atau Cakra, siapa tahu jadwal ngampus berubah, karena bisa saja hal itu terjadi.

Tanpa berpikir lama, Elang menghentikan motornya di tepi jalan, membuka helm dan merogoh ponsel yang ada di dalam ransel, pikirnya, "Siapakah gerangan?"

Elang melihat nama Bruce Lee terpampang di layar ponselnya, seperti mendadak amnesia, Elang dibuat linglung dengan nama itu, hatinya bersuara, "Sejak kapan gue temenan sama Bruce Lee?"

Hampir saja ia tidak ingat siapa pemilik nomor bernama Bruce Lee itu. Butuh waktu 20 detik untuk Elang sadar, "YA ALLAH, UNA!"

Elang menepuk keningnya dengan pelan, ia baru ingat sewaktu Una mengatakan naksir sama Cakra yang katanya mirip Lee Haechan, sejak saat itu Elang mengubah nama kontak adiknya dengan nama Bruce Lee. Alhamdulillahnya Una tidak tahu namanya disimpan seperti itu, kalau tahu, entahlah, mungkin pundak Elang akan jadi mangsa lagi.

"Halo, ass --" Belum sempat Elang menyelesaikan kalimatnya, Una sudah nyerobot duluan.

"ABANG!"

"Heh? Ada apa?"

"Beliin pembalut, Bang."

"WHAT?"

"Pembalut, Abang jangan pura-pura budeg."

Elang meradang, ia pikir ada hal penting apa sampai adiknya nelpon berkali-kali seperti itu, ternyata cuma perkara pembalut.

"Iya iya, nanti Abang beliin!"

"Yang bersayap ya, Bang."

"Iya, bawel ah. Ya udah, Abang tutup ni."

Tuuut!

Elang mengakhiri panggilan dari Una secara sepihak. Ia tak habis pikir dengan Una, kenapa selalu dirinya yang disuruh-suruh. Meski begitu, Elang tetap menyayangi Una, karena yang ia punya hanya Mama dan adik semata wayangnya itu. Kalau bukan Elang yang dijadikan tempat untuk meminta tolong, lantas siapa lagi. Elang ingat betul bagaimana pesan Mama, "Suatu saat nanti, Una mungkin bakal bikin Abang kesel dan marah, tapi Abang harus inget, perbanyaklah berlapang dada, mengalah demi mempererat tali persaudaaran itu sikap mulia, kebaikan yang Abang berikan akan kembali ke diri Abang juga."

Air dari langit mulai menjatuhkan diri secara sukarela ke bumi, belum sampai membuat Elang basah, hanya meninggalkan titik-titik kecil pada pakaian yang dikenakan Elang. Laki-laki itu memutuskan untuk mampir ke Indomaret yang ada di depan GOR, tempat latihan taekwondo Una. Berteduh sekaligus membeli pembalut yang diinginkan Una.

Setelah berhasil masuk ke Indomaret, Elang langsung menuju ke tempat di mana pembalut itu berada.

"Yang bersayap, yang bersayap, yang bersayap."

Layaknya Harry Potter, mulut Elang seperti merapal sebuah mantra, tentu saja dengan nada suara yang lirih. Elang mengarahkan jari telunjuknya dari atas sampai ke bawah, dari kiri sampai ke kanan, hanya demi menemukan pembalut bersayap.

"Aah, ini dia."

Di saat Elang memegang kemasan pembalut itu, ada tangan lain yang memegang produk yang sama dengan yang Elang pegang.

"LIA?" Mata Elang seakan ingin melompat karena saking kagetnya. Sementara Lia juga terlihat shock karena mendapati seorang laki-laki membeli produk pembalut.

Elang takut disalahpahami oleh Lia, "Dari sekian banyak tempat, kenapa harus di Indomaret? Kenapa juga pada saat beli pembalut?"

Rasanya Ingin bersyukur karena ketemu Lia, tapi di sisi lain Elang juga ingin menghilang saat ini juga, malu. Sebagai laki-laki gagah perkasa kebanggaan kabupaten bisa-bisanya ketahuan beli pembalut, dipergoki Lia pula, Apa kata dunia?

Sementara Lia, masih berperang dengan pikirannya sendiri, ia bingung kenapa laki-laki ini menyebutkan namanya, seperti pernah ketemu tapi entah di mana. Lia berpikir keras, maklum saja, Lia cuek dengan sekitar, sehingga ia selalu mengabaikan hal-hal yang menurutnya tidak penting, seperti pertemuannya dengan Elang di parkiran GOR kemarin.

Tak ingin membuat Lia lebih bingung lagi, Elang segera memperjelas semuanya.

"Ini aku beliin buat Una."

Pikiran Lia jadi tercerahkan saat Elang menyebutkan nama Una, ia ingat bahwa laki-laki yang saat ini berdiri di sampingnya adalah abangnya Una.

"Ooh, ya udah, ini untuk Una aja."

Lia menyodorkan pembalut bersayap yang ia pegang kepada Elang dan Elang pun menerimanya. Laki-laki bertubuh atletis itu tidak tahu harus berkata apa, ingin meminta nomor whatsapp, Elang merasa seperti terlalu jelas menyukai Lia, ingin membelikan es krim, Elang juga belum terlalu dekat untuk membelikan sesuatu. Perang batin menyelimuti Elang saat ini, sedangkan Lia sudah berjalan menjauh dari Elang untuk mencari barang lain yang ingin ia beli.

"Projen oh Projen, memang dingin sekali hatimu, Nak." Elang berbicara dalam hati, tiba-tiba saja ia teringat dengan perkataan Dhana, "Basa basi kek, apa kek."

Masih untung Elang diajak bicara walau cuma se-uprit, daripada Dhana hanya dianggap sebagai makhluk ghoib yang tak pernah di sapa oleh Lia.

Di luar, hujan mulai turun semakin deras, Elang membayar pesanannya kepada kasir, sementara Lia berdiri di belakang Elang untuk mengantri. Tidak ada pengunjung lain selain mereka berdua, batin Elang, Kalo jodoh mah pasti dibiarin berdua, etapi ada Mbak Kasir, gak pa-pa jadi orang ketiga ya, Mbak, kalo gak ada si Mbak gimana saya bisa bayar. Hohoho.

Elang senyum-senyum sendiri mendengar suara hatinya, Mbak Kasir yang sudah terpesona sejak Elang menginjakkan kaki masuk ke Indomaret jadi salah tingkah, dikira Elang melempar senyum sama dia. Mbak Kasir itu tidak tahu kalau hati Elang sedang berbunga-bunga sama manusia yang ada di belakangnya.

Setelah selesai membayar, Elang memutuskan untuk duduk di luar. Kebetulan ada dua kursi dan satu meja di sana.

"Lia, duduk sini! Berdiri terus nanti capek lo."

Elang membuka pembicaraan terlebih dahulu, ia merasa gemas ketika melihat Lia bertahan tegak di depan pintu Indomaret sembari melihat hujan turun.

Gadis yang wajahnya terlihat muram itu tak menoleh sedikitpun ketika mendengar suara Elang. Mungkin, inilah yang dimaksud Dhana, dianggap ghoib.

"LIA?" Susah payah Elang memanggil nama Lia, derasnya hujan memang luar biasa, kalau Elang tak mengeraskan suara, mana mungkin Lia bisa dengar.

Lia merasa terusik oleh suara panggilan Elang, ia pun mulai berjalan menghampiri Elang. Sungguh tak disangka-sangka, seorang Emilia Sarah Ziannisa mau duduk atas tawaran yang Elang berikan.

"Gak perlu teriak, aku gak tuli," kata Lia dengan wajah tanpa ekspresi.

"Iya, maaf."

Tidak ada jawaban atas permintaan maaf yang Elang ucapkan, Lia diam tanpa menanggapi. Ia masih manatap hujan yang turun tanpa berkedip sedikitpun, tatapannya sendu seakan banyak menanggung pilu.

"Kenalin, aku Elang. Maaf belum sempet ngenalin diri waktu di GOR kemarin." Elang menyodorkan tangan kanannya untuk menyalami Lia.

Gayung bersambut, Lia membalas menyalami Elang dengan cepat.

Elang tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya ketika berjabat tangan dengan Lia, ia memberikan senyuman terbaik yang ia miliki. Tanpa terasa laki-laki yang saat ini mengenakan jaket berwarna hitam itu dengan spontan mengeluarkan kata yang tak seharusnya ia ucapkan secepat itu.

"Lia, kamu cantik."

Duarrr!!! Suara petir menyambar-nyambar. Seketika Elang menutup mulutnya rapat-rapat, kalau ada Una di sana pasti sudah diejek, "Panik, gak? Panik, gak? Paniklah, masak enggak."

Mata Elang terlihat tidak fokus, ia tak tahu harus bagaimana setelah bertindak bodoh seperti itu, "Mampus, gue ngomong apa barusan?"

Elang ||  Lucas NCT - SUDAH TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang