BUNTUT PERBUATAN ELANG

68 13 0
                                    

Baru saja Elang menginjakkan kaki memasuki pintu rumah, seboleh akal ia menutupi pipinya, tapi, namanya juga naluri seorang ibu, Mama tahu ada yang tidak beres dengan anak laki-lakinya itu.

"Abang, pipinya kenapa ditutupin tangan?" tanya Mama untuk memastikan.

"Nggak pa pa, Ma. Lagi pengen kayak gini aja. Hehehe." Elang berdalih, niatnya supaya Mama percaya.

Mama berjalan menghampiri Elang yang saat ini sedang berdiri di depan televisi.

"Coba turunin tangannya, Mama mau liat muka anak Mama yang ganteng ini," pinta Mama.

Una hanya duduk diam di sofa sambil melihat Mama mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Elang. Sebenarnya Una takut kalau Mama bakalan marah besar.

Perlahan Elang menurunkan tangannya, terpampang jelas luka lebam di pipi kirinya.

"Ini kenapa pipi Abang bisa kayak gini? Jujur sama Mama, Abang berantem sama siapa?" Mama menyilangkan kedua tangannya, mencoba tenang dan berpikir jernih, supaya tidak dikuasai oleh amarah.

"Di kampus tadi ada orang yang nyebelin banget, Ma. Bukan Abang yang mulai duluan, tapi dia. Abang nggak bisa biarin wajah Abang yang berharga ini dianiaya kayak gini, jadi Abang bales."

"Emangnya gara-gara apa bisa sampe kayak gini, Bang?" Mama masih tak habis pikir dengan anak sulungnya ini.

Hampir saja Una meloloskan kalimat, "Gara-gara cewek, Ma" Untungnya Una cepat sadar kalau perkataannya nanti bisa memberatkan Elang di hadapan Mama.

"Abang mau nyelamatin temen Abang, Ma. Laki-laki itu nyari masalah duluan." Elang tidak bermaksud membohongi Mama, karena memang benar, statusnya Lia masih jadi temannya Elang.

"Apa nggak bisa dibicarain baik-baik? Kenapa harus main pukul-pukulan sih? Abang nggak kasian sama Mama? Tiap hari ngurus rumah, bikin kue, belum lagi kalo Abang adu mulut sama Una, sekarang malah nambah masalah baru. Mama capek lho, Bang! Tolong dong kerjasamanya!"

Una mengelus kedua bahu Mama, "Ma, udah, Ma. Abang nggak sepenuhnya salah kok. Lagian luka lebam di pipi Abang bukan luka yang serius, Mama jangan khawatir ya."

"Gimana Mama nggak khawatir? Kalo masalah Abangmu ini berbuntut panjang gimana? Mama juga yang susah."

"Maafin Abang, Ma. Abang janji nggak bakal gitu lagi." Elang tertunduk sekaligus menyesali perbuatannya di depan Mama.

Kali ini, Mama terlihat kecewa sekali dengan Elang. Karena kesibukan Mama mengurus rumah dan membuat kue membuat Mama sedikit sulit mengendalikan emosi. Daripada Mama mengeluarkan kata-kata yang nantinya akan ia sesali, Mama lebih memilih untuk meninggalkan kedua anaknya di ruang tamu dan masuk ke kamar untuk menenangkan diri.

"Sabar, Bang. Mama kayaknya lagi banyak pikiran. Abang mandi dulu sana, abis tu sholat Magrib, Una lagi nggak sholat, jadi mandinya bisa entaran."

Elang hanya mengangguk mendengarkan perintah dari adiknya itu.

"Jangan lupa lukanya nanti dikompres pake es, Bang."

"Iya, Dek." Elang mengusap-usap pucuk kepala Una sembari melangkahkan kaki menuju kamar atas untuk mengambil handuk.

Una yang melihat kondisi abangnya hanya bisa geleng-geleng kepala, "Bang Elang, Bang Elang."

***

Setelah menyelesaikan makan malam bersama, Mama masih enggan bicara, Elang dan Una dibuat cemas.

"Ma, Mama masih marah sama Abang?" tanya Elang dengan sedikit ragu-ragu.

"Enggak, Mama nggak marah." Mama berusaha mengerti dengan situasi yang Elang alami.

"Ma, duduk di teras, yuk! Udah lama kita nggak ngobrol," pinta Una.

Sudah seminggu Mama tidak pernah duduk santai bersama anak-anaknya, karena Mama mendapatkan banyak orderan kue untuk acara khitanan tetangga sebelah, belum lagi pesanan untuk acara nikahan, Mama jelas lelah dengan aktivitasnya seperti itu. Una merasa Mama perlu bercerita banyak hal untuk melepaskan stress. Menurut Una, mungkin inilah penyebab Mama mudah terbawa emosi.

Malam ini, rembulan bersinar terang benderang, Mama duduk lesehan di atas tikar yang sudah terbentang di teras depan rumah, diapit oleh kedua anak kesayangannya. Elang punya banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Mama, begitu pula dengan Una. Kedua anak Mama ini ingin berkata jujur dengan hubungan percintaan yang sedang mereka jalani.

Mulai dari Elang yang menceritakan tentang Lia, bagaimana kehidupan gadis itu dan bagaimana perasaan Elang terhadap Lia. Tidak ada satu kisah yang tertinggal saat Elang memberitahukan semuanya pada Mama. Una juga secara rinci menjelaskan tentang dirinya yang sudah berpacaran dengan Cakra, Una merasa bersalah karena selama ini merahasiakan hubungan asmaranya dari Mama.

Mama yang mendengar kabar mengejutkan dari kedua anaknya sampai tak bisa berkata-kata.

"Jadi, anak-anak Mama ini udah kena serang sama yang namanya cinta?" Mama tersenyum seraya mengusap punggung Elang dan Una secara bersamaan.

"Awalnya Abang takut buat cerita sama Mama, takut Mama bakal marah." Wajah Elang benar-benar serius ketika mengadu seperti ini.

Una memeluk Mama dari samping seraya berkata, "Una juga, Ma. Takut nambah beban pikiran Mama."

"Maafin Mama ya, Sayang. Harusnya Mama lebih merhatiin kalian berdua, harusnya Mama selalu nanyain gimana kalian menjalani kuliah dan latihan. Mama tau pasti berat, kan? Karena Mama selalu sibuk ngurusin orderan kue, Mama jadi nggak tau kalo anak-anak Mama punya kabar baru kayak gini."

"Abang juga minta maaf karena udah ngecewain Mama. Abang nggak bisa nahan diri."

"Nggak pa-pa, Abang. Buat pelajaran aja untuk ke depannya. Sesekali Abang perlu belajar bela diri kayak Una, biar bisa ngelak kalo mau di pukul orang."

"Tuh, dengerin, Bang. Una yang ngeliat Abang dipukul tadi aja kesel, padahal si Julio pake ancang-ancang dulu sebelum mukul, keliatan kalo gerak refleks Abang kurang bagus, jadinya kecolongan deh, bonyok tu pipi, hehehe."

Mama menepuk pundak Una dengan pelan, "Eeh, Abangnya kesakitan kok malah diketawain?"

"Maaf, Ma. Abisnya Bang Elang lucu pipinya jadi lebam kayak gitu."

"Harusnya tadi Una nolongin Abang, bukan cuma jadi penonton doang," balas Elang.

"Abang kan udah gede, lebih kekar dari Una, jadi Una nggak mau ikut campur, tapi kalo tadi si Julio nyerang Abang bertubi-tubi, Una bakal turun tangan. Berhubung cuma sekali pukul aja, jadi masih okelah."

Elang menghela napas panjang sembari memeluk Mama, "Kok ada Adek yang tega ngebiarin Abangnya bonyok gini, Ma?"

Mama dan Una hanya tersenyum mendengar keluh kesah dari Elang.

Malam itu, Mama punya syarat yang harus dipenuhi oleh kedua buah hatinya. Untuk Una, asalkan kewajiban kuliah dan latihan tidak terganggu, Mama tidak masalah Una pacaran. Sedangkan untuk Elang, Mama tidak bisa memaksa Elang untuk berhenti mencintai Lia, bagaimanapun juga rasa cinta itu hadir tanpa tahu ditujukan untuk siapa, tak terkecuali kepada gadis yang sudah bertunangan sekalipun. Andaikan Julio adalah laki-laki yang baik, Mama jelas akan melarang Elang untuk meneruskan perasaannya. Berhubung Julio adalah laki-laki yang kasar dan tempramen terhadap Lia, jadi, Mama memutuskan untuk memberi lampu hijau untuk Elang, dan Elang sudah berjanji kepada Mama untuk tidak terlibat perkelahian lagi.

Mama lega karena pembicaraan dengan anak-anaknya berjalan dengan baik, tidak ada yang mereka sembunyikan lagi. Mama jadi belajar bahwa bertanya tentang keseharian anak itu penting agar anak-anak lebih terbuka dan bisa mencurahkan keluh kesah yang dirasakan sepuas hati.

Elang ||  Lucas NCT - SUDAH TERBIT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang