Chapter 15

51 4 0
                                    

Hari ini menjadi hari terakhir Naura di kantor. Badannya lelah bukan main karena harus menyelesaikan semua tanggung jawabnya dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. Jam makan siang masih berakhir setengah jam lagi tapi Ella sudah terlihat sangat suntuk.

Naura mengaduk minumannya dengan asal, "Udah semingguan gue minta maaf loh, La. Jangan sedih-sedih gini ah. Gue kan cuman pindah kantor bukannya pindah negara," rayu Naura.

Ella mendengus sebal, "Ya tetep aja, Ra. Kalau enggak ada lo, terus gue gimana?" rajuknya.

Ingin sekali Naura tertawa melihat Ella seperti ini. Tapi mengingat ini akan jadi hari terakhirnya sebagai kolega satu kantor Ella, ia tidak ingin membuat temannya ini semakin kesal. Naura sengaja tidak memberitahu Ella tentang keputusan resign-nya dari jauh hari. Selain memang karena Naura super sibuk, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama teman seperjuangannya dari magang dengan tenang.

"Gue yakin lo akan baik-baik aja. Lo kan lebih supel dari gue,"

Ella semakin menekukkan wajahnya. Tiba-tiba matanya membulat dan menarik paksa tangan Naura, "Bilang sama gue apa yang ada di otak gue sekarang itu enggak bener..."

Naura menatap Ella polos sambil menahan senyum, "No way!" Pekik Ella yang sukses membuat mereka jadi pusat perhatian di restoran itu. "Jadi beneran? Kok gue baru tau?! Kapan?!" Percayalah, antusiasme Ella yang berlebihan membuat Naura malah terlihat seperti maling yang tertangkap basah.

Naura tertawa dan menarik tangannya lagi, ia membenarkan cincin yang tersemat di jari manisnya. "Sengaja enggak pernah gue pake aja," jawabnya santai.

Ella semakin melongo tidak percaya, "Gue temen lo bukan sih?" Protesnya.

Tawa Naura semakin geli, "Ya temen lah, masa iya patung,"

"Kapan, Ra? Gila ya, bisa-bisanya ya gue enggak tau lo dilamar," Lengkap dengan gelengan kecewa dari Ella.

Naura menimbang sebentar, "Belum sebulan lah," lalu menyunggingkan senyum tidak bersalah.

Malam saat Vano meminta Naura untuk menikahinya adalah malam yang membuat hatinya serasa naik wahana ekstrim. Naura membeku hingga membuat Vano harus mengulang lamarannya dengan berlutut. Nyatanya, Vano tidak terlambat datang ke makan malam karena agenda formal, tapi karena ia mencari cincin yang cocok untuk melamarnya.

Saat itu, linangan air mata Naura yang sudah hampir kering kembali muncul. Vano meraih tangan Naura dan mengelusnya, "Would you be my last, babe?" tanya Vano lagi.

Belum ada kata-kata yang bisa Naura ucapkan, ia pun memeluk leher Vano. Vano ikut memeluk dan mengusap punggung Naura, "Kenapa?" Gumam Vano. Vano bingung dengan reaksi Naura? Jelas, tapi ia lebih takut Naura menolak lamarannya.

"I love you," bisik Naura.

Senyum Vano mengembang lebar diikuti dengan rasa lega, "So?"

Naura melonggarkan pelukannya tanpa melepas lingkaran tangan di leher Vano, menatap lurus manik mata kekasihnya ini. "I have conditions," pintanya sambil menarik cairan yang hendak keluar dari hidungnya.

Kerutan kening tidak hanya terjadi pada Vano, tapi juga Ella yang dari tadi seksama mendengarkan cerita Naura pun ikut kebingungan. "Conditions? Maksudnya?"

Pandangan Naura masih terpaku pada cincin yang ia gunakan, "Gue minta dia untuk nunggu. Masih banyak yang harus gue mengerti tentang diri gue. Lagipula gue masih mau tinggal bareng kakak-kakak gue. Gue juga masih mau fokus untuk bantu kantor kakak gue, dan paling penting," Tatapan Naura bertemu dengan Ella, ia pun tersenyum. "Gue enggak mau melangkahi kak Mila untuk nikah,"

Dalam Mercusuar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang