Epilog

33 3 0
                                    

Di setiap situasi, kita selalu diberikan pilihan. Sekurang-kurangnya sebanyak dua,

Iya atau tidak,

Negosiasi atau pasrah,

Berjuang atau menyerah,

Percaya atau ragu,

dan seterusnya.

Di setiap masalah yang menghampiri, kata menyerah begitu menggoda. Tidak jarang aku hendak menyentuh pilihan itu. Namun, semesta melarang melalui perpanjangan tangannya. Tanpa aku sadari, semesta bekerja dengan caranya sendiri untuk membuatku mengerti. Dan menyadarkan aku, untuk tidak gegabah untuk menanggapi suatu hal.

Untuk membuka mata lebih lebar,

Untuk lebih mempertajam telinga,

Untuk lebih membuka pikiran dan hati,

Dan aku bersyukur tidak menyerah. Karena jika aku sudah menyerah, maka aku tidak akan pernah tau kebenaran dan tujuan dari kebenaran itu.

Semuanya akan terjawab. Di waktu yang tepat.

Naura menutup buku yang seminggu terakhir ia buka setiap harinya. Tugas menjurnal dari Bimo ternyata, secara mengejutkan, meringankan beban dalam dirinya. Tidak pasti apa saja yang akan ia tulis setiap harinya. Naura hanya diminta untuk menuangkan apapun yang sedang ia rasakan ataupun pikirkan. Baik dari masa lalu, masa kini, atau masa depan.

Senyum Naura merekah ketika melihat langit cerah yang mengintip dari balik jendelanya. Buku keramat itu Naura simpan di tempat tersembunyi. Cukup tersembunyi hingga orang lain akan sulit menemukannya--dibawah karpet dibawah area meja kerjanya di rumah.

Langkah Naura yang ringan membawanya ke beranda kamar. Dengan bebas Naura menjelajah pandangannya ke langit. Semenjak dari Bali, Naura merasakan perubahan dari dirinya. Positif tentunya. Naura jadi lebih mudah tersenyum dan kata orang, wajahnya berbinar. 

Meskipun ia tidak bisa bohong, proses menghadapi dirinya sendiri bukanlah perjalanan yang mulus dan mudah. Salah satu contohnya, kilatan rekaman masa lalu bermunculan lebih sering dari biasanya. Rentang waktunya pun lebih bervariasi, tapi reaksi tubuhnya tidak se-ekstrim itu. Hanya tremor, atau kadang tidak beraksi sama sekali.

Kemajuan yang cukup menjanjikan untuk Naura.

Namun kebahagiaan dan ketenangan yang tadi ia rasakan secara penuh di hatinya, tiba-tiba terusik dengan kegelisahan, ketakutan, amarah, dan dendam. Perjalanannya ke Bali kali ini memang, benar-benar, mengubah semua aspek hidupnya. Baru saja Naura hampir tenggelam di pikirannya, pintunya terketuk beberapa kali.

"Naura, yuk makan?"

Matanya kembali hidup, "Iya!" Sahutnya dengan semangat berlari kecil ke arah pintu.

*** 

Dalam Mercusuar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang