Chapter 6

113 9 2
                                    

Aryo turun dari taksi sambil menyeret koper dan membenarkan tali pada tas punggung yang tergantung di bahunya. Wajah lelahnya sudah tidak bisa ditutupi, penerbangannya kali ini cukup panjang karena harus transit terlebih dahulu. Parahnya lagi, selama perjalanan Aryo tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi Naura.

Aryo menuju meja resepsionis, "Malam, saya kerabat dari Adinda Naura. Ruang rawatnya di bagian mana ya?"

"Mohon maaf Pak, tidak ada nama pasien Adinda Naura di klinik ini." jawab penjaganya.

Aryo mengerutkan keningnya dan kembali mengecek nama klinik yang dikirimkan, "Benar kok di sini lokasinya, coba tolong dicek lagi?"

Penjaga tersebut tetap menggeleng dengan senyum tipisnya.

Aryo mengerutkan keningnya, wajahnya menegang. "Kok bisa enggak ada ya? Nama dan alamat yang dikirim Kak Mila sudah benar kok. Masa iya Kak Mila bohong? Jangan-jangan--" ucapan pelan untuk dirinya sendiri terhenti.

"Malam, ada yang bisa di bantu?" tanya seorang dokter yang terlihat masih cukup muda.

"Oh enggak apa-apa kok, Dok. Tadi kakak teman saya minta saya untuk datang kesini tapi nama teman saya enggak terdaftar. Mungkin saya salah alamat--"

"Nama teman kamu siapa?" sanggahnya langsung.

Aryo menaikkan sebelah alisnya, "Naura. Adinda Naura."

Dokter itu sesaat diam dan memperhatikan Aryo dengan tatapan tidak menyenangkan.

"Sorry, kenapa ya?" Kali ini sorot mata Aryo berubah defensif

"Bisa buktikan bahwa kamu temannya?" ucap Dokter itu.

"Apa-apaan sih. Kok aneh banget," pikir Aryo. Namun, Aryo langsung mengambil ponselnya dan menunjukkan foto bersama Naura yang ia miliki, "Tidak ada salahnya untuk dicoba kan." lanjut pikirnya.

Dokter itu mengangguk sekali, "Okey, ikut saya." perintahnya. Penjaga resepsionis itu hanya sedikit membungkukkan tubuhnya.

Aryo tidak banyak bertanya dan mengikuti langkah dokter muda itu. Tidak berapa lama mereka sampai di depan sebuah ruangan.

"Ini ruangan Naura. Oh iya, perkenalkan saya Bimo. Saya pemilik klinik ini dan juga teman dari Kamila, kakak Naura." ucapnya sambil menjulurkan tangan.

Raut wajah Aryo berubah, dengan senyum tipisnya ia menjabat tangan Bimo. "Saya Aryo Dok, temannya Naura. Maaf ya tadi kalau kesannya tidak sopan."

Bimo tersenyum ramah, "Tidak apa-apa, tidak usah panggil Dokter juga. Saya yang minta identitas Naura di rahasiakan, mengantisipasi orang yang mau menemuinya. Kalau kamu teman Naura, kemungkinan kamu tahu kan alasannya?"

Aryo tersadar, sepertinya Bimo ini cukup dekat dengan kakak Naura hingga bertindak sejauh ini. Ada perasaan lega yang menjalar di dadanya. Aryo pun mengangguk, "Saya mengerti, terima kasih Kak."

Bimo pun membukakan pintu ruang rawat, "Silakan. Oh iya, Kamila baru sebentar tidurnya, jadi jangan terlalu berisik ya. Saya tinggal dulu, Aryo."

Setelah berpamitan, Aryo langsung masuk ke ruangan itu. Lampunya cukup redup, tapi ia bisa dengan jelas melihat Naura tertidur dan seseorang yang ia percaya sebagai kakak Naura yang tertidur di sofa.

Aryo menaruh kopernya dan tas punggung terlebih dulu di pojok ruangan lalu beralih untuk duduk disamping kasur Naura. Kepalanya sedikit berdenyut melihat kondisi Naura.

"Lo kenapa lagi sih, Nay? Lo bikin gue jantungan tahu enggak sih.." omel Aryo menggerutu.

Melihat wajah Naura, seketika bayangan wajah Devano muncul di benaknya. Bibirnya berubah masam memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya pada Naura dan Vano. Aryo mengacak frustasi rambutnya.

Dalam Mercusuar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang