Dapur adalah teritoriku. Aku yang sensitif akan 1000× lebih sensitif di sana. Bisa dibayangkan betapa menyebalkannya. Makanya lebih memilih mundur kalau udah ada yang ambil alih. Biasanya gak akan mau inisiatif berbagi, kalau gak kepaksa.
Malas berdebat masukin a dulu, bukan b dulu. Ko digituin sih, bukannya diginiin, ko cepet banget sih, padahal aku gak bisa pelan. Aku bilangin ya. Masak itu seni, seni itu bebas 😪 kamu atau aku cuma soal style aja. Soal beda nenek moyang aja, bapakku jago masak, mungkin bapakmu jago makan 😂
Tapi hari itu, aku membiarkan dia masuk teritori. Sang amatir, aku tahu betul gelagatnya. Firasatku udah gak enak. Tapi kupikir, apa salahnya, mungkin aja ini bakal menyenangkan.
Gerak-geriknya mulai mencurigakan. Bagaimana dia melempar ikan nila itu ke wajan, bertanya a, b, dan c, yg mestinya gak perlu ditanyain lagi. Sejenak aku jaga jarak, melakukan hal lain, demi kedamaian jagat raya 😂
Dan sejenak itu ternyata petaka. Dia cuma mau balikin ikannya. Tapi gatau gimana, wajannya ikutan mau dibalik. Ikannya... Hilang. Lenyap. Beneran hilang, sampai kita melongo, saling lihat kaya dua orang bego.
"Ikannya kemana??" Celingak-celinguk nyari kebelakang kompor, ke bawah, ke samping kanan-kiri. Gak ada.
Sampai ke satu spot yg seharusnya gak memungkinkan ikan itu bakal kesana. Gak mungkin deh pokonya, posisinya juga gak masuk akal si ikan bakal loncat ke sana. Mau pake hitung-hitungan fisika, dari jaraknya, ketinggiannya, kecepatannya, gak mungkin. Tapi ajaibnya ikan itu ada di sana. Di tempat sampah. Ajaib banget. Respect aku.
Hari itu kita gak jadi makan ikan kayanya. Cuma dapet bahan buat ditertawakan. Untuk seumur hidup 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice of Life
RandomSepenggalan cerita dalam hidup yang sepertinya lucu. ha. ha.