Sudewi merasa sepi di hari perayaan tersebut. Perutnya membesar seiring berjalannya waktu. Dalam hitungan mundur, Sudewi akan menjadi seorang ibu. Tugasnya bertambah satu lagi. Bukan hanya sebagai seorang permaisuri melainkan ibu untuk insan yang kelak menjadi pewaris tahta kerajaan.Wanita itu mengusap perutnya penuh kehangatan. Meskipun Maharaja tak pernah lagi mengisi ranjang di sampingnya tapi ia bisa mulai merasakan kehangatan saat maharaja tahu bahwa ia akan menjadi seorang ayah. Senyumnya terukir teringat Maharaja yang membawakannya sebuah kijang hasil pemburuannya di hutan. Kulit kijang jantan tersebut telah dijadikan sepatu yang sangat nyaman untuk dipakai.
Wanita itu merasa bosan dan memanggil Wulan dan Saka. Ia dengar Maharaja tak hadir dalam pertemuan bersama tetua. Apakah Maharaja tengah menemani adiknya, Puteri Nertaja, untuk menikmati perayaan di alun-alun ibu kota kerajaan?
"Tiba-tiba aku sangat ingin melihat perayaan Panen Raya. Temani aku," pinta Sudewi kepada Wulan membuat pelayan itu bingung.
"Ta-tapi Paduka ... ayahanda Paduka akan segera datang untuk melihat kondisi Paduka."
Sudewi memegang tangan Wulan agar tidak ketakutan. Sekarang Ayahnya tidak lagi bisa menyiksa Wulan dan Saka setelah surat tanda bekerja mereka diberikan padanya. Ia mengusap raut wajah Wulan yang penuh kekhawatiran. Sudewi pun menjelaskan tak perlu ada yang dikhawatirkan karena terbukti selama beberapa kali mereka pernah keluar dari istana tak ada satu pun yang mengetahui. Saka juga selalu menemani mereka. Saka sendiri sudah terbukti merupakan prajurit yang handal.
Wulan membantu Sudewi mengenakan selendang hijau milik Wulan agar terlihat lebih membaur dengan orang-orang di luar istana. Melalui jalur belakang istana yang mengarah langsung ke hutan, ketiganya berjalan santai. Wulan dan Saka tak berani berjauhan karena yang mereka jaga saat ini adalah seorang permaisuri beserta calon pemegang tahta Majapahit di masa yang akan datang.
Sampai di desa, mereka disambut oleh iringan irama alu dan lesung yang beradu. Para wanita desa berkumpul di pinggir jalan sembari bernyanyi. Beberapa di antaranya melomoat-lompat sambil menari mengikuti ketukan irama alu dan lesung. Sudewi menurunkan topi capingnya agar tidak terlihat. Ia tersenyum saat beberapa anak kecil berlarian di sekitar mereka.
Sudewi terus membawa kakinya ke sebuah taman. Sebuah taman yang didedikasikan oleh Maharaja untuk sahabat terdekatnya. Dibangun di atas reruntuhan rumah Mahapatih terdahulu. Kini taman tersebut menjadi tempat belajar murid-murid sekolah Nusantara. Sebuah prasasti batu yang bergambarkan seekor garuda yang duduk di atas punggung gajah terlihat gagah saat disinari oleh sinar mentari siang.
Seorang pria berdiri di depan prasasti itu menggandeng seorang anak kecil yang tengah memakan jajanan pasar. Sudewi mengenali punggung itu. Itu adalah suaminya. Ia mundur beberapa langkah mengajak Wulan dan Saka untuk bersembunyi.
"Yang Mulia Paduka ...." Sudewi meletakkan telunjuknya di depan bibir mengisyaratkan Wulan untuk diam. Saka memegangi lengan Wulan untuk membiarkan Sudewi melakukan apapun yang diinginkannya. Terjebak di dalam istana bukanlah sesuatu yang menyenangkan jadi wajar jika Sudewi ingin bebas sesekali.
Pria itu meninggalkan taman menuju beberapa meja tempat orang berjualan jajanan di depan rumah kayu mereka masing-masing. Sudewi mengikuti dari kejauhan. Saat Maharaja berhenti di penjual semanggi, Sudewi ikut berhenti melihat hidangan di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAJANA (Spin Off MADA)
Historical Fiction(Dalam Revisi) ma·ha·ja·na ark n orang yang amat ternama; orang besar. Terbangun dan melanjutkan hidup sebagai remaja kembali. Hayam Wuruk hidup dengan beban masa lalu yang tak kunjung terlepas. Waktu terus bergulir hingga suatu saat kesempatan kedu...