CHAPTER 11

323 21 0
                                    

Apresiasi cerita ini dengan memberikan vote and comment:)

Selamat membaca:)

A

ngin menderu kencang menerpa wajah cantik Luna. Mobil itu berhenti tepat di salah satu rumah tua, interior kuno dan beberapa barang tak berguna tapi cukup layak di huni. Sorot mata Luna masih mengamati sekeliling, apakah masih ada orang yang mengawasinya. Bagi Luna tak ada waktu untuk berpikir, tujuan-nya sekarang mencari keberadaan Ethel dan menyiapkan serangan jika sewaktu-waktu Zeth dan anak buahnya datang.

Luna membuka laci-laci kemudian mengambil beberapa barang penting seperti ponsel, alat pelacak, laptop dan beberapa senjata berbahaya. Sesekali Luna melirik ke arah jendela. Wilayah itu sangat sepi dan jarang ada orang yang melewatinya. Biasanya Luna, Ethel dan Alexa sering ke tempat itu tapi akhir-akhir ini mereka terlalu sibuk terlebih setelah kepergian Alexa. Luna yang sibuk mengorek siapa pembunuh Alexa dan Ethel yang masih harus melanjutkan studynya.

Luna tersentak kala mendengar suara mobil semakin dekat menuju rumah kuno itu. Dada-nya terus berdebar kencang tanpa henti. Perlahan Luna menyibak tirai seraya mengintip siapa di balik jendela. "Miller!" pekik Luna tak percaya.

Pria bernama Miller itu berlari kencang memeluk Luna. "Kemana saja kau huh? Aku mencarimu sialan," maki Miller terkekeh haru. Pelukan-nya sangat erat seraya mengusap lembut rambut Luna.

Luna memutar bola matanya malas. "Hentikan makianmu atau ku robek mulut kurang ajarmu Miller," ancam Luna mendelik tajam.

Ah Luna hampir melupakan teman masa kecilnya itu. Selama ini Miller maupun Luna jarang bertemu. Dulunya Miller merupakan seorang detektif, karena kesibukan masing-masing
mereka jarang bertemu. Kalau pun bertemu, interaksi mereka tidak selugas sekarang. Miller tidak pernah menampak-kan batang hidungnya kurang lebih selama setahun. Pantas saja sekarang kehadiran pria itu yang secara tiba-tiba membuat Luna sangat shock.

"Kau tidak meguntitku kan?" tanya Luna mendongak penuh selidik. Untuk sekarang ia tidak bisa mempercayai semua orang kecuali diri sendiri. Tiba-tiba bertemu Miller di saat seperti ini membuat Luna tak bisa mencerna situasi.

Miller mengernyit heran. "Atas dasar apa kau menuduhku hm? Kau tidak penting sampai aku harus menguntit wanita seperti mu."

"Lalu apa yang kau lakukan di sini? Seingatku kau tidak ke sini selama setahun dan tiba-tiba kau datang. Ada apa?"

"Aku sedang lewat di sini dan baru sadar jika sudah lama tidak berkunjung. Tidak ku sangka bertemu denganmu. Omong-omong mengenai kematian Alexa, aku turut menyesali dan berduka cita. Kau pasti kesulitan hidup tanpanya." Miller berjalan lalu duduk di salah satu kursi terdekat di susul oleh Luna.

Luna tersenyum kecut, menunduk sendu. Oh sial! Air matanya sulit sekali di ajak kompromi. "Kau benar. Tapi hidup tidak akan berhenti begitu saja, right? Aku masih harus menyelidiki dalang dibalik pembunuhan Alexa."

Luna menggigit bibirnya sebab terpaksa berbohong. Miller tidak boleh sampai tahu jika ia sudah menemukan pelaku pembunuh Alexa. Hidup Luna sudah sangat rumit sehingga Miller tidak cukup berhak ikut dalam misinya untuk membantu. "Kau sudah temukan orangnya?" tanya Miller lekat. Sorot mata Luna terbaca dengan mudah, bagaimana menderitanya wanita itu hidup tanpa Alexa di sisinya.

Luna menggeleng lemah, membuang wajahnya ke samping. "Belum, tapi pasti akan ku temukan."

"Kau tampak gelisah dan pucat Luna. Apa kau sakit?" tanya Miller meletak-kan punggung tangan-nya di kening Luna.

Luna menggeleng seraya menyeka air matanya. "Tidak, mungkin karena aku kurang tidur. Lagipula, aku kemari sebab punya beberapa urusan di sini."

"Kalau begitu kita harus berbincang sambil makan siang bersama. Bagaimana?" tawar Miller tersenyum manis.

The Dangerous JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang