“Halo Sisil, nanti malam sibuk nggak?”
”Iya halo? Nggak tuh kenapa? Eh tapi nanti aku mau ke pasar malam.”
“Nah pas banget, Aku mau ngajak kamu kesana. Gimana?” tanyaku antusias.
“Aduh maaf, aku udah sama temen-temenku,” tolak Sisil yang merasa sudah memiliki janji.
“Kan bisa bareng bareng,” jawabku tak ingin kalah.
“Emm ketemu di tempatnya aja deh. Kamu ajak si Alaska tuh. Udah ya, aku mau siap-siap. Daah…”
Tuut… tuut… tuut… sambungan telpon terputus.
“Oh Tuhan nih anak, mentang-mentang punya temen baru. Main tinggal-tinggal aja.” Aku mulai mencari nama Alaska di kontak telepon dan menelponnya.
“Halo, Alaska?” sapaku.
“Iya halo?" Jawabnya.
"Kamu sibuk nggak? Kalo nggak..." Kalimatku terpotong kalimat Alaska.
"Tumben kamu menelponku duluan? Kangen aku ya? Yaelah tadi di sekolah bercandanya masih kurang? Atau kamu emang pengen denger suaraku? Hayo loo mulai kangen aku,” pede Alaska tanpa jeda.
“Eh, dengerin dulu. Belum selesai ngomongnya, main potong-potong aja. Kalo ngomong tuh pakek titik koma, jangan kayak kereta!” kesalku tak kalah panjang.
“Hehe sorry, mau ngomong apaan?” tanya Alaska.
“Gini, aku mau ngajak kamu ke pasar malam. Di lapangan dekat rumah pohon. Kamu sibuk nggak malam ini?” tanyaku.
“Yah sayang banget, aku nggak bisa,” jawab Alaska tanpa penjelasan selanjutnya.
“Lah, kok nggak bisa? Nggak asik kamu.”
“Maaf aku sibuk. Aku mau pergi sama teman-temanku. Temanku ada yang ultah, so aku makan-makan guys. Eh udah dulu ya, Aku udah dijemput. Daah Aska. Maaf ya.. ngajak kak Gama aja sana!” jelasnya mematikan sambungan telepon.
“Oh no, dilempar lagi? Ya ampun, ngeselin deh mereka,” aku memutuskan mengirim pesan kepada Naga.
Aska A: sore sayang, emm gaada yang bisa aku ajak kesana. Ngajak kak Gama boleh?
Naga N: iya gapapa, aku juga palingan ngajak Tio sama Tama.
Aska A: yaudah mkasih
Naga N: sama-sama, eh btw nanti dijemput atau gimana?
Aska A: bareng kak gama aja, nanti kamu chat dimana posisimu
Naga N: oh gitu. Oke
Aku pun turun menghampiri Kak Gama di taman belakang yang sedang asik bermain gitar. Bernyanyi-nyanyi manja disana.
“Kak, mau nggak nemenin Aska ke pasar malam?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
”Pasar malam? Kapan? Dimana?” tanyanya balik.
“Nanti malam di lapangan dekat rumah pohon,” jelasku langsung to the point.
“Wah kesempatan nih ngajak kak Cika, yakan? Kamu diajak Alaska sama Sisil ya?” tebaknya asal.
“Ihh, justru mereka udah ada acara sendiri,” jawabku sedikit malas.
“Terus?”
“Aku diajak Naga tadi pas di perpus.”
“Oh gitu. Diajak pacarnya ya? Yaudah cepetan gih siap-siap aku mau telpon kak Cika bentar. Siapa tahu dia mau ikut. Habis itu ayo berangkat!” perintahnya.
“Iya kak.”###
“Dek, mau ikut naik anting nggak?” ajak kak Cika.
“Nggak deh kak disini aja nunggu Naga,” tolakku pelan sambil menyisir pandangan ke semua sudut lapangan.
“Elaah nunggu si pangeran toh, yaudah ati-ati. Awas diculik!” goda kak Gama.
“Aska udah SMA kak, nggak ada yang mau nyulik aku,”
Mereka berdua terkekeh lalu mulai menaiki permainan anting-anting di depannya. Terlihat Sisil menghampiriku dengan sahabat barunya, Kana dan Kiri.
“Hey, Sendiri aja mbak? Mana gandengannya?” tanya Kiri.
“Nggak tuh, sama kakakku. Gandengannya masih di jalan.”
“Terus dimana sekarang kakakmu?” tanya Sisil.
“Lagi naik anting,” jawabku singkat.
Tiba-tiba saja moodku turun. Entah aku cemburu melihat sahabatku punya sahabat baru atau gara-gara sikap sahabat barunya sahabatku yang kurang mengenakan.
“Aduh kasihan, kenapa nggak ikut? Ditinggal ya? Atau takut jadi obat nyamuk?” sela Kana.
“Apaan sih?” sinisku.
Tak berapa lama Naga, Tio dan Tama datang. Pas sekali, mereka satu kelas dan aku merasa terasingkan. Jika akan seperti ini aku pasti mengajak cece teman sebangkuku. Meskipun omongannya frontal dan pedas, setidaknya aku ada teman.
“Eh kalian. Mau jalan-jalan berenam nggak?” tawar Kiri.
“Nggak! pisah aja. Si Kiri bawel banget, bisa-bisa pecah gendang telingaku,” jawab Tama. Aku terkekeh pelan.
“Ngeselin banget sih kamu, yaudah dua-dua aja. Aku sama Tio. Yoi sob?” Kiri memutuskan.
“Terserah.” jawab Tio singkat.
“Kalau gitu aku sama Naga. Dan Kana sama Tama,” sahut Sisil.
“Lah Aku woy, sama siapa?” selaku tidak terima.
“Kamu sendiri, siapa suruh ngak bawa teman,” jawab Kana.
“Ah resek, ya nggak bisa dong. Aku sama naga. Naga yang ngajak aku kesini, dia harus tanggung jawab. Kenapa malah sama Sisil? Yang pacarnya siapa coba?” ketusku menarik tangan Naga.
“Eh selow mbak, cemburu ya pangerannya sama cewek lain. Takut kalah saing ya?” Jawaban Sisil mengejutkanku. Apa maksud perkataannya? Siapa yang ingin bersaing?
“Cih apaan sih?” tanyaku sedikit bingung.
“Udah-udah, Sisil biar sama temannya, aku sama temanku plus Aska, Lagian Aska Pacarku. Adil kan?” lerai Naga.
“Yah kok gitu sih? Oke deh, tapi nanti ketemu disini lagi ya?” jawab Sisil. Perkataannya semakin membuatku tidak mengerti.
“Ogah! yuk jalan,” cercah Tama sambil menarik tangan Tio. Tio spontan menarik tangan Naga dan lanjut Naga menarik pingangku. Terlihat kak Gama dan Kak Cika sudah turun dari anting-anting.
“Kemana dik?” tanya kak Gama. Aku spontan berbalik.
“Keliling kak!” teriakku agar suaraku sampai pada telinganya.
“Yaudah ati-ati, nanti langsung pulang loh. Naga, kak Gama titip Aska. Nanti anter pulang!” pesan kak Gama teriak. Aku melingkarkan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O. Naga mengangguk mengiyakan. Setelah itu kami pun berpencar.
“Cie cemburu ya tadi?” tanya Naga.
“Ih nggak, ngapain cemburu,” jawabku mencoba tak santai.
“Halah bilang aja kalo cemburu, iya kan? Ngaku hayo,” goda Naga dengan mencubit hidungku.
“Ish iya iya. Iya ngaku. Lagian aku gak suka deh sama sahabat barunya Sisil. Sinis banget. Nyinyir orangnya.” curhatku.
“Biarin, dia emang gitu. Di kelas malah lebih parah,” jelasnya.
“Emm gitu ya? Eh iya, kita study tour itu tanggal berapa sih?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Nggak tau, belum ada pengumuman. Kenapa?”
“Gapapa sih, pengen tau aja. Boleh nggak ya study tour nanti berpasangan? Pengen deh seharian sama kamu. Hehe.” Aku tiba-tiba membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.
“Pasti seru deh, bisa cerita-cerita, terus bisa ketawa bareng, jalan-jalan bareng, belajar pengetahuan bareng. Waah seru!” aku berbicara sendiri di depan Naga. Ia tertawa. Secepat kilat tanpa basa-basi naga mencium sekilas pipiku. Membuatku terkejut. Seperti tersetrum rasanya jantungku.
“Udah jangan dibayangin tinggi-tinggi, nggak nyampek jatuh loh, sakit. Udah yuk nyari wahana yang asyik.” ajak Naga dengan santainya.
Aku hanya bisa mengangguk. Jantungku masih berdegup kencang. Hatiku berloncatan. lebah memberontak dalam perutku. Pikiranku melayang tidak tahu kemana. Senyum tidak henti-hentinya terlukis. Aku senang sekali. Entah karena ini ciuman yang pertama atau karena ini ciuman yang paling berani. Aku mulai tersadar dari dunia fantasiku, tanganku digandeng oleh Naga. Dan entah aku dapat hasutan darimana, aku melepas gandengan itu dan spontan memeluk Naga erat.
“Bodo amat dah diliatin banyak orang, bodo amat dah di nyinyirin banyak orang. Yang penting aku seneng hari ini.” batinku tak kalah senang.
“Aaaaaa aku nge fly sob... love you Nagaa… lovee youu.:*:* hehe. kok alay banget sih aku, nanti pembacanya risih loh. Tulisanmu nggak dilirik kapok!” lanjut batinku yang masih saja melonjak tinggi. Tiba tiba Naga membuka suara. Aku melepas pelukannya. Eh tapi tunggu, aku menyadari sesuatu jika kami sedang di depan rumah hantu.
“Eh kok kesini sih? Yang lain aja ya? Anting-anting kayak kak Gama tadi, atau komedi putar atau lempar gelang atau apapun deh yang lain. Jangan rumah hantu. Ini sudah malam, beneran deh aku berani beliin tiket buat kamu asal nggak ke rumah hantu,” pintaku pada Naga yang langsung dibalas dengan menunjukkan dua tiket masuk rumah hantu. Mengisyaratkan sudah tidak bisa diganggu gugat.
“Nggak mau, anting-anting udah biasa buat orang pacaran. Rumah hantu kan keren , seru. Whooaaaa! Dan akupun sudah beli tiketnya, sayang kalau nggak dipakai.”
“Loh? Kapan belinya sih?”
“Tadi sebelum nemuin kamu sama tema-teman yang lain.”
"Ih curang, kenapa bisa gitu sih."
"Bisa lah, kan aku." Naga menaikkan sebelah alisnya.
“Eh tapi dari tadi aku nggak lihat kamu pegang tiket deh, kamu taruh mana?” tanyaku mencoba mengulur waktu.
“Ah kamu banyak tanya. Udah yuk masuk. Nggak apa apa kok!”
Naga menyerahkan dua tiket masuk rumah hantu kepada petugas.
Aku sempat memberontak tidak mau. Namun, Naga menggandengku lebih erat. Beruntungnya aku, disana terdapat pasangan lain yang juga ikut masuk. Dua pasangan yang juga ingin mencoba wahana ini. Awal masuk tidak sebegitu seram, hanya ada patung-patung hewan seperti komodo, ular, kelabang, kalajengking, dan banyak lagi. Mulai masuk ruangan pertama ada patung vampir dengan lampu merah diatas bingkai pintu. Di tengah perjalanan, ada seseoang sedang mengaduk sesuatu di dalam kuali. Dia berdiri di samping jembatan buatan.
“Eh itu orang atau bukan?” tanya gadis di belakangku.
“Bukan, itu hanya robot sayang,” jawab pasangannya.
“Darimana kamu tahu?” tanyanya lagi.
“Aduh, Udahlah jalan aja. Ikutin gadis di depan kamu itu.” Karena aku merasa diriku terpanggil, Aku sedikit menoleh. Tetapi hanya gelap yang kulihat.
Tiba-tiba pasangan yang berjalan di baris terakhir berlari mendorong kami. Kami terpaksa ikut berlari agar tidak terjadi sesuatu yang tak inginkan. Jatuh misalnya. Ternyata seseorang tadi bukan robot, melainkan manusia yang berdandan seperti monster. Saat setengah berlari, Naga menabrak tembok di sampingnya karena aku tertabrak gadis di belakangku. Rumah hantu yang sangat menegangkan menurutku. Tetapi Naga masih dengan santainya berjalan seperti tidak merasa ketakutan sama sekali. Mengetahui siku Naga sedikit terluka, kami berhenti sejenak. Betapa takutnya aku, kami berjalan paling belakang sekarang.
“Naga, pintu keluarnya masih jauh nggak sih?”
“Nggak, setelah ruangan ini sepertinya sudah pintu keluar.”
Beberapa langkah kemudian aku melihat secercah cahaya. Sepertinya itu pintu keluar. Setelah sampai di luar wahana aku merasa ada yang menepuk pundakku. Aku terkejut bukan main.
“Naga!” spontan aku memekik pelan bersembunyi di balik lengan kirinya.
“Eh eh, ini aku, Tio. Histeris banget sih? Hehe jadi pengen di posisi Naga.” ucap Tio sedikit menggoda. Ternyata Tio dan Tama yang berdiri di pintu keluar.
“Apaan sih kamu! Nanti-nanti kek nepuk pundaknya. Rese banget. Nggak tahu apa jantungku masih lari-lari tuh di dalam rumah hantu!” cercahku sedikit bernada tinggi. Anehnya, mereka bertiga malah menertawakanku.
“Haha, tapi masa iya setakut itu? Sampai minta tolong gitu sama Naga,” Tama mulai membuka suara.
“Naga!” Tio meniru gayaku tadi sembari tertawa.
“Ah rese ya kalian! Ledek aja terus!” kesalku.
Kami meneruskan langkah menuju wahana selanjutnya. Tiba-tiba Naga berbisik pelan.
“Kamu lucu ya, ada-ada aja tingkahnya. Dan sepertinya aku harus mengatakan sesuatu itu sekarang.”
Spontan aku berhenti. Apa yang ingin dikatakannya? Apakah harus dengan berbisik? Naga menyuruh Tio dan Tama berjalan dahulu kemudian Naga memegang pundakku untuk menghadapkan padanya.
“Aku mau kita pegang komitmen kita Aska.”
“Wah, udah yakin nih sampai mau buat komitmen berdua? Eh tapi emang selama kita pacaran kamu nggak berkomitmen?”
“Hehe udah yakin banget, bukan gitu sih. Ya pengen lebih resmi aja komitmennya. Aku mau kita sama sama jaga perasaan. Jangan ada orang lain diantara kita. Kita harus tetep terbuka cerita apapun yang terjadi sama masing-masing. Jangan ada yang disembunyiin. Ngasih kebebasan masing-masing buat berteman sama siapa aja. Bisa diterima?” dalihnya.
“Diterima, aku menambah. Boleh berteman sama siapa aja tapi tetap ingat hatinya buat siapa. Nggak boleh jadi pencemburu. Cemburu boleh tapi jangan over posessif. Setuju?” tambahku.
“Baiklah. Aku setuju.” Naga tersenyum. Aku memeluk lagi tubuh tinggi itu.
“Ternyata sayangnya lebih dari yang aku kira. Bahkan aku selalu berpikir dia tidak pernah menyayangiku karena sifat dingin dan cueknya itu,” batinku sekali lagi.###
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love Story
Romance"Mungkin jika aku tidak melakukannya, aku tidak akan pernah tahu kesalahanku dimana," batinku. "Dengan ini aku mengerti, apa itu cinta dalam definisi pribadiku." Aku tersenyum tulus lantas menyimpan kembali laptopku.