SORRY

3 1 0
                                    

Alaska: Aska, kamu kemana aja sih? Gini ya sekarang? Udah nggak pernah balas pesanku, nggak pernah angkat telponku. Emang kamu sesibuk itu ya? Ada apa emangnya? Aku buat salah apa sama kamu? Coba cerita. Kamu tau nggak, sepi kalo nggak ada kamu. Kenapa jadi jauh gini sih? Aku nggak mau ya kamu kayak gini tanpa alasan. Aku sendirian disini.
Pesan panjang dari Alaska  membuatku teringat satu hal. Aku belum menjelaskan alasanku kenapa aku jarang membalas pesannya bahkan menerima telepon darinya.
Alaska : Jangan menghindar lagi Aska! Aku tahu kamu sedang membuka akun media sosialmu.
Pesan yang baru saja masuk semakin membuatku bingung.
Alaska : aku pengen semuanya cepat selesai. Aku tunggu kamu di rumah pohon. Aku beri waktu 30 menit untuk sampai disana. Aku butuh penjelasan darimu.

"Oh tidak, bagaimana ini? Alaska marah? Jangan dong. Duh gimana ini? Harus minta bantuan ke Sisil. Alaska kan suka sama Sisil. Nggak mungkin marah-marah dong kalau aku bawa Sisil ke rumah pohon," pikirku panjang lebar.
Aku mulai mengirim pesan kepada Sisil. Bermenit-menit tak ada jawaban. Aku memutuskan menelponnya. Pun tidak diangkat.
“Sisil kemana sih aduh, giliran butuh nggak ada. Aku butuh teman buat cerita ke Alaska tentang semuanya.” Aku mondar mandir di dalam kamar terus mencoba mengirim pesan bahkan kembali menelpon Sisil untuk menemaniku menceritakan semuanya kepada Alaska. 15 menit lagi aku harus menemui Alaska di rumah pohon. Tanpa pikir panjang aku menuju rumah Sisil untuk menjemputnya. Sesampainya di rumah Sisil, jawaban tak terduga meluncur di telingaku. Aku langsung menuju rumah pohon tanpa dampingan siapapun.

Tak lama aku sampai di dalam rumah pohon. Jantungku berdegup kencang. Aku mulai menaiki satu demi satu papan kayu yang terpaku di tubuh pohon. Terduduk manis seorang pria disana yang sepertinya sedikit merenung.
“Ka.” Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. Dia berdeham namun tak menoleh.
“Aku mau ngomong sesuatu. Tapi sebelumnya aku minta maaf.” Aku ingin menceritakan tentang Naga dan beberapa perubahan sikapku padanya akhir akhir ini.
“Ya, mungkin agak telat. Tapi setidaknya aku cerita. Maaf aku harus cerita, ini mungkin bakal ada pengarunya sama sifat sikapku akhir akhir ini ke kamu.”

Aku mulai bercerita tentang komitmen dan beberapa kegiatan yang aku lakukan sehingga tidak pernah bersama Alaska lagi. Atau mungkin sedikit mengabaikannya. Revisi, sangat mengabaikannya. Setelah cukup lama bercerita ekspresi dia berubah derastis. Dia yang awalnya full smile padaku menjadi no expression. Ekspresi marah ditunjukkan, kecewa, kesal, berkaca kaca, semua. Moodnya berubah, dia tak berbicara sepatah kata pun padaku. Aku menunduk dan kembali meminta maaf.
“Kenapa nggak bilang dari kemarin kemarin sih? Kamu tahu nggak aku nyariin kamu yang dulu? Aku takut aku ada salah sama kamu. Aku takut aku nyakitin kamu. Dan kamu tahu? Aku begitu kehilangan semuanya.”

“Awalnya aku mau cerita, tapi aku mikir lagi. Kan nggak ada hubungannya sama kamu. jadi aku biarin aja mengalir." Jawabku.
"Nggak ada hubungannya denganku? Ada Aska!" Bentak Alaska
Aku terdiam menatap mata marah Alaska. Bertanya-tanya apa hubungannya komitmenku bersama pacarku dengan Alaska? Mengapa dia sangat marah?
"Kamu mengulang kesalahan yang sama Aska. Dulu saat kamu pacaran sama si Naga, kamu juga nggak bilang-bilang ke aku. Aku tahu dua minggu kemudian. Sekarang terulang lagi? Segitu cintanya ya kalian berdua? Sampai ada komitmen segala? Biar apa? Nggak ngasih celah buat orang lain gitu? Iya?" Marahnya padaku. Aku tidak tahu mengapa dia semarah ini.
"Okay okay, Aku minta maaf.”
Alaska memalingkan wajahnya dan mengangguk.

Benar memang tampaknya dia memaafkanku. Tetapi aku tahu, aku pernah merasakannya juga. Dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah padahal belum sepenuhnya dia memaafkanku. Bermenit menit kita tidak saling cakap. Hening menjadi teman kami. Sepertinya langit pun mengerti keadaan. Buliran air jatuh dari langit perlahan lalu mengeroyok tanah. Kita tidak bisa pulang sekarang. Hujannya semakin deras turun bersama angin. Aku dan Alaska merasa kedinginan disitu. Benar-benar hening dan sepi. Yang terdengar hanya rintihan hujan dan riuh angin. Tanpa aba-aba Alaska merangkul pundakku. Lumayan jauh antara tempat dudukku dengannya. Sebenarnya aku ragu untuk mendekat.
“Sini, biar nggak kedinginan. Semoga hujannya cepat reda biar kita bisa kembali pulang.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang