Keenam individu berkumpul. Enam entitas yang mewakili peradaban. Mereka duduk melingkar di sebuah ruangan yang hanya dinaungi oleh sebuah bohlam usang yang berdebu. Ruangan yang tak seorang pun tahu keberadaannya. Mereka tidak terlihat satu sama lain karena kegelapan yang menyelubungi mereka, membuat mereka terhindar dari naungan cahaya bohlam tua di tengah ruangan. Tak ada satupun yang tahu di mana pintu keluar berada. Mereka terkurung, namun tak terkurung. Terjebak, namun tak terjebak. Sepertinya mereka memang penghuni ruangan itu.
Salah satu dari mereka, yang bersuara serak, memulai pembicaraan, "Dunia dalam keadaan terdesak, ia akan jatuh ke jurang kelam tak berdasar. Kalian semua merupakan komponen utama keteraturan Dunia, komponen peradaban Dunia. Kalian semua bertanggung jawab atas kondisi Dunia yang sudah di ujung tanduk ini."
Duduk dua kursi di sebelah kanan pria itu, seorang lelaki berbicara dengan nada tak terima, "'Kalian'? Kau sebut 'Kalian'? Mungkin maksudmu 'Kita'. Kita semua yang bertanggung jawab atas kekacauan ini, Ahli Sejarah. Kau juga seharusnya ikut bertanggung jawab!"
"Apa salahku? Mengapa harus aku pula yang ikut bertanggung jawab?" tanya Ahli Sejarah ketus, "Aku sudah memberitahu kalian agar belajar dariku, belajar dari masa-masa kelam sebelumku. Bahkan, kau mencemooh dan meremehkan peringatan ku, kan, Ahli Ilmu Pasti? Kau selalu berpandang lurus ke depan, tidak pernah menggubrisku, tidak pernah mengindahkanku, enggan menengok ke belakang. Lalu sekarang kau menuntut pertanggungjawaban-ku? Mudah sekali kau berucap," ujar Ahli Sejarah yang tersulut emosi dan bersikap defensif.
"Kalian berdua, cukup!" kali ini seorang wanita, bernada keibuan dan tak terlihat rupanya, yang berbicara. "Tujuan kita di sini, di ruangan ini, bukan untuk meributkan siapa yang patut dimintai pertanggungjawaban," ujar wanita itu menenangkan suasana. Sambil menoleh ke Ahli Sejarah, ia berkata, "Ahli Ilmu Pasti benar. Kita semua adalah komponen keteraturan dunia. Maka kita lah yang harus bertanggung jawab, Ahli Sejarah."
"Maafkan aku, Ahli Bahasa. Aku lepas kendali. Sudah lama diriku memendam kesal terhadap Ahli Ilmu Pasti," ujar Ahli Sejarah sembari menghela napas dan merasa bersalah atas tingkahnya yang kekanak-kanakan.
"Benar yang diucapkan Ahli Bahasa," ujar seorang pria di sebelah Ahli Bahasa, "Saat ini yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk mengembalikan Dunia yang sedang krisis. Jujur saja... diriku sudah tak berguna lagi saat ini. Tidak ada artinya bila aku yang kalian korbankan. Perekonomian sudah hancur. Tak ada lagi ekonomi yang membuat manusia-manusia itu kalap. Tak ada lagi kerakusan akan uang. Tak ada lagi perbedaan pandangan dalam menjalankan roda perekonomian. Kesatuan yang diidamkan, berujung pada kegentingan yang tak terelakkan," kata Ahli Ekonomi lesu dan pasrah, ia merasa tidak dibutuhkan lagi akhir-akhir ini.
"Bukankah harusnya itu sudah cukup? Ekonomi sudah tidak ada, seharusnya itu cukup untuk mengembalikan Dunia," tanya Ahli Ilmu Pasti kepada lima penghuni lain di ruangan itu.
"Mungkin belum cukup sampai di situ. Mungkin masih ada hal lain yang menyebabkan kegentingan ini terjadi," Ahli Ekonomi menyampaikan pendapatnya yang menerka-nerka.
"Lalu, apa langkah yang harus kita ambil berikutnya? Kita tak bisa terus berdiam diri, Dunia semakin terpuruk. Kita harus mengembalikan Dunia ke jalannya," ucap Ahli Bahasa yang berpikir keras akan kelangsungan Dunia.
"Bagaimana jika kita tarik seluruh teknologi yang menyebabkan manusia berperang? Teknologi yang membuat manusia bersaing untuk menjadi yang terkuat," usul Ahli Sejarah kepada forum itu.
"Aku tidak setuju!" sanggah Ahli Ilmu Pasti, kemudian memberikan pembelaan, "Teknologi-lah yang membuat manusia menjadi lebih beradab. Teknologi yang membantu manusia menjadi spesies dengan derajat tinggi di Dunia."