Kata orang, menjelang hari pernikahan kedua pasangan calon pengantin bakal didera banyak ujian. Hal itu juga pernah Gea alami. Dulu Gea sempat ragu saat menjelang hari pernikahannya dengan Gema. Ia berniat membatalkan acara akad nikah yang tinggal menghitung hari.
Salah satu yang membuatnya goyah, adalah kehadiran Almira ditengah keduanya. Gea menyayangi Almira, menerima gadis kecil itu dengan sepenuh hati. Tapi ia sendiri takut. Takut jika seandainya suatu waktu nanti dirinya tak mampu membagi kasih sayangnya sama rata pada Almira dan anak kandungnya sendiri. Gea takut dirinya gagal menjadi Ibu sambung untuk Almira.
Jika seandainya hari itu, Gea nekad membatalkan pernikahan mereka, mungkin hari ini dirinya masih berkelana kesana kemari. Dan tentu saja menyesal seumur hidup karena telah menyia-nyiakan laki-laki seperti Gema.
Meski seringkali dibuat jengkel atas perilaku sang suami yang kelewat pendiam, Gema tetap kepala keluarga yang penuh tanggungjawab. Belum sekalipun Gea temukan kewajiban yang suaminya lalaikan. Pria itu begitu menjaganya, memberinya perlindungan, membawanya pada sebuah jalan yang benar.
Gema selalu terlihat mengagumkan saat mengenakan peci, sarung dan Koko putih kesenangannya. Pria itu tidak mengeluh bila Gea menyuruhnya untuk membantunya membersihkan rumah, atau menyuapi kedua balita mungil buah cinta mereka. Gema melakukannya tanpa mengeluh lelah meski Gea tau aktivitas Gema diluar rumah begitu banyak.
"Ge?" Tubuhnya tersentak kaget lantas kembali tenang saat menyadari kalau sang suami lah yang memeluknya dengan lengan kokoh berbulu lebat itu. "Kok nggak tidur? Sesek ya?" Tanyanya serak.
Gea menggeleng pelan, lantas merapatkan tubuhnya pada Gema. "Peluk sampe pagi ya Mas." Pintanya yang tentu disetujui Gema.
Belum ada semenit, suara Gea kembali mengudara, yang kemudian membuat iris Gema kembali terbuka lebar, memandangi wajah sang istri dalam dekapannya. "Makasih ya, sudah mau jadi suamiku, orang pertama yang hatiku percayakan sepenuhnya. Orang paling sabar, paling ngerti apa mauku. Makasih sekali lagi karena sudah memilih aku buat jadi ibu anak-anak kamu."
Mata Gea berkaca saat mengatakannya. Gema menangkap guratan sendu diwajah sang istri. Ia juga sadar suara istrinya bergetar diakhir.
"Kenapa jadi mewek malem-malem begini? Kamu abis mimpi apa sih?" Lembut, Gema menghapus lelehan air mata Gea. Istrinya memang cengeng. Tapi baru kali ini ia menghadapi Gea yang tiba-tiba menangis malam-malam pula. Membuatnya bingung sekaligus khawatir.
"Kamu cinta kan sama aku Mas?" Gema mengangguk saja sebagai jawaban atas pertanyaan sang istri. Padahal tidak perlu ditanya pun jawabannya sudah jelas. Buat apa ia berkerja siang malam bila bukan untuk Gea dan anak-anak mereka? Buat apa Gema menghabiskan waktunya menjadi suami Gea bila ia tak mencintai perempuan itu? Mengapa ia mau menuruti permintaan Gea bilamana hatinya tak menginginkan wanita itu berada di sisinya? Jawabannya lebih dari jelas seharusnya. Juga tidak perlu ditanyakan ulang sebab menurut Gema, semua yang ia lakukan adalah bahasa cinta untuk Gea.
Tapi, barangkali hari ini, istrinya perlu pengakuannya, kejelasannya, dan ungkapan langsung dari mulutnya. Katanya, sesekali perasaan cinta dan sayang harus diungkapkan.
"Iya, cinta, sampai mati." Gema kembali menghapus linangan air mata yang kembali membanjiri wajah istrinya. Makin dibuat bingung lah ia, karena seharusnya Gea sudah diam usai ia mengatakan perasaannya bukan?
"Udah deh jangan nangis. Bikin bingung kamu ini." Gema mendesah lirih. Air mukanya yang frustasi sekaligus bingung membuat Gea tak kuasa menahan tawa gelinya di sela isak tangis.
"Aku tuh tiba-tiba keinget dulu, waktu aku mau batalin pernikahan kita yang tinggal berapa hari. Kalau aja hari itu aku beneran nekad batalin, pasti hari ini kamu udah nikah sama perempuan lain. Almira Nggak jadi anakku. Nggak ada Yada, nggak ada Gyani. Aku pasti nyesel sampai mati, Bapak apalagi. Nggak bisa bayangin gimana hidup aku sekarang kalau hari itu aku bener-bener buat keputusan yang salah." Tangis Gea pecah lagi. Tidak keras memang, karena Gea masih memikirkan nasib ketiga anaknya yang tertidur pulas.
Gema memilih diam, mengunci mulutnya. Tapi ia tetap merengkuh tubuh Gea, serta memberinya kecupan sepanjang puncak kepala wanitanya. Gema juga membiarkan kaos yang ia kenakan basah oleh tangis juga ingus Gea, meski sejujurnya ia agak risih dengan sensasi dingin di bagian dadanya.
"Kamu ini lho, aku cerita kok diem saja? Bukannya ditenangkan kok mal-" Gema langsung membungkam mulut Gea dengan bibirnya. Hanya kecupan ringan. Tapi efeknya membuat Gea diam. Salting pula.
"Saya disini, sama kamu. Nggak usah dibikin mumet, kalau, seandainya, begini begitu. Lihat ke depan, nggak usah tengok-tengok ke belakang Ge. Jalani apa yang ada didepan kamu saat ini." Gema menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian dahi istrinya, sebelum melanjutkan kalimatnya."Kamu ini nyusahin diri sendiri namanya. Yang dulu-dulu itu nggak usah kamu inget. Buat apa coba? Memangnya bisa kembali ke masa itu?"
Gema mendongakkan kepala Gea agar ia lebih leluasa menatap wajah ayunya, kemudian ia kembali melanjutkan, "Kamu ini sampai terisak-isak seperti tadi, malam-malam pula. Memangnya saya nggak bingung?" Bisik Gema lirih.
"Aku abis nangis lho Mas, kok malah kamu omelin begini." Cicit Gea. Ia memandang sangsi pada suaminya yang dibalas delikkan khas Gema. Kedua alis tebalnya hampir menyatu, dahinya berkerut-kerut.
"Ya terus?!" Air muka Gema makin terlihat kecut. "Udah sana Wudhu, terus tidur. Saya peluk sampai pagi."
Gea memilih patuh pada titah Gema. Ia juga sudah lelah, dan ngantuk berat.
Sementara istrinya menghilang dibalik pintu kamar mandi, Gema beringsut melepas kaosnya yang sudah basah, lalu menggantinya dengan kaos baru.
Gea kekanakan. Memang. Tapi sejauh ini Gea pandai menempatkan diri. Kapan dirinya menjadi Ibu, yang penuh kelembutan tapi sarat ketegasan didalamnya. Juga kapan waktunya dia berkamuflase menjadi istri yang memberi Gema rumah, pelukan hangat, juga malam panjang yang mereka habiskan berdua tanpa pernah bosan.
Sejauh ini kata bosan belum menyusup kedalam relung hati keduanya. Jikalau suatu waktu nanti, rasa itu hadir, kedua pasangan itu berharap cinta mereka tidak pernah surut. Ikatan sehidup semati itu tidak pernah lepas.
Sebab Tuhan mereka adalah penguasa, yang juga pemilik atas diri mereka sesungguhnya, maka keduanya senantiasa meminta. Agar si hati tak pernah lelah mencinta satu sama lain. Agar bahtera mereka tidak terkikis apalagi sampai roboh oleh terjangan ombak ujian. Agar keduanya bisa saling bertaut diatas langit sana, meski telah dipisahkan oleh kematian yang entah kapan menyapa.
Doa keduanya senantiasa mengalun lembut dengan sujud panjang yang mengiringnya. Tangan yang menengadah dengan merendahkan diri serendah-rendahnya didepan ilahi. Berharap sepenuhnya, menyerahkan seutuhnya.
~ TAMAT ~
SERIUS INI ENDING BUAT GEMA & GEA
Terimakasih banyak untuk semua temen-temen yg udh ngikutin mereka. Terimakasih banyak atas support kalian untuk aku. 🙏🙏
Akhirnya Setelah satu tahun cerita ini bener-bener SELESAI. Dari awal aku udah bilang kalau ini cerita ringan yang sudah pasti happy ending.
Happy ending menurutku wkwkw.
Seneng dan terharu karena banyak bgt yang dukung aku hehew.. 😭
.
.
Apa kalian mau aku buatin ekstra part teman-teman? Jawab disini Yap👉
.
Sebagai gantinya, aku akan bawa cerita baru lagi. Aku usahakan bulan ini sudah up🥰
Jadi jangan dulu dihapus dari library kalian ya temans, aku bakal umuin
disini pastinya. 🥰Genrenya masih roman ( UPS!🤪 )
Sekali lagi terimakasih untuk kalian semua, peluk cium dari aku, author yang suka telat update. Semoga kalian diberi kesehatan, umur panjang penuh berkah serta rejeki melimpah 🤲 aammiin
.
Eh iya, buat yang belum baca aku sarankan segera ya, kemungkinan beberapa chapter bakal aku unpub🤗
Salam Sayang Penajanuari ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
My Duda-Mas Gema❤️ (Pindah Ke Dreame)
RomanceHolla. First story by. Penajanuari 🥰 Warning! Cerita Dewasa.! Segera baca mumpung masih on going yaps, ..................................... Cakra Gema Argawinata menikahi seorang wanita berumur sepuluh tahun lebih muda darinya. -_-_-_- La Gea Ma...