Kau tahu pukul Sembilan malam aku harus apa ?, yah pasti kau tahu dan aku tahu sekarang terlambat. Aku bersama Sam berlari-lari menuju rumah jalang yang terkenal di sekolah-- Ellisabethy More. "Sampanye, sampanye, sampanye" selama berlari Sam menyeru seperti itu.
"Kau tidak tahu kalau kita akan kehabisan Sampanye" aku membalasnya. Kami sampai dan langsung mengetuk pintu sekeras mungkin, dan dibukalah pintunya oleh seorang pria berbadan besar yang kukenal dari kelas Sastra, dia cukup bodoh dan tidak pernah mengerjarkan tugas. Aku tidak tahu namanya hanya panggilannya yaitu Nick si gays.
"Hai Nick" menyapa sambil menelan liur menatap mata tajamnya. "Kami satu kelas dengan Glowy di kelas bahasa inggris teman Ellisabethy More, dia mengundang kami datang, jadi..." secara spontan mulutku ditampar oleh Nick.
"Masuklah" perintahnya, ternyata dia tidak menyukai basa-basi. Sam langsung berseru perang sangat gembira, masuk mendahuluiku dan secara tidak di sangka-sangka Nick sempat mencolek bokongku. Oh tidak, dunia ini sangat berbahaya dipenuh oleh gays.
No Glowy No Sampanye, itu rencanaku dan sebagai robot baikku yang di control oleh perintahku, Sam menurut. Kami sepakat sebelum menemukan Glowy di pesta ini, tidak ada yang boleh meminum Sampanye diantara kami berdua.
"Astaga, dia favoriteku" Sam menunjuk kearah penari telanjang di tiang.
"Fokuslah padaku Sam, temukan Glowy" entah apa yang ada diperasaanku sekarang, hanya tentang Glowy Glowy Glowy dan Glowy bagaikan aku tidak ingin kehilangan keluargaku.
"Tunggulah sebentar, aku akan kembali menghampirimu" di tengah suara bising dentuman music DJ dan sorotan-sorotan lampu aku sudah tidak memperdulikan apa mau Sam. Dia pergi meninggalkanku yang masih berdiri di tengah kemeriahan pesta liar ini. Wanita telanjang, para gays, sampanye bertumpah-tumpah, bubuk heroin, kokain, pil putih ekstasi... ini suatu simfoni menyenangkan bagiku meski aku belum pernah memakai barang haram tersebut. Aku belum pernah ke acara pesta ini, jadi jangan heran jika aku terlewat bingung mencari apa yang harus aku lakukan disini selain mencari Glowy. Aku tidak pandai bergoyang, menari dengan music club. Aku hanya anak perumahan yang terlantar bersama kumpulan orang-orang aneh.
Aku menarik seseorang yang melintasi posisiku "Apa kau tahu dimana Glowy ?" tanyaku dengan tangan mencengkram lengan pria yang sempat ingin melewatiku.
"Lepaskan tanganku bung," pintanya mengeraskan suaranya karena ruang ini di penuhi dengan music DJ. Aku segera melepaskannya.
"Maaf... maaf" ucapku mengangkat kedua tangan persis seorang buronan tertangkap basah. "Aku hanya ingin tahu keberadaan Glowy murid kelas Bahasa Inggris" aku mendetail tepat di telinga seseorang itu.
"Ow G ?" jawabnya memasang wajah membuktikan kalau dirinya tahu.
"Yah..yah G, Glowy" mungkin G ialah sebutan kecil untuk nama Glowy.
"Dia ada di atas sana, Man" sambil bergoyang santai nan ringan bagai penari, pria itu menunjukkan keberadaan Glowy.
"Oh thanks guys" ucapku menepuk pundaknya dengan langkah melebar untuk berlari. Mungkin saja Glowy akan menyambut ramah kedatanganku karena memang dia yang telah mengundangku. Salah saja jika dia mengundang dan aku dijadikan kacang tanpa di makan.
Aku berlari cepat menaiki anak tangga tanpa memperdulikan sudah berapa orang aku tabrak atau aku senggol. "Sorry sorry sorry" hanya itu ucapan setelah aku menabrak seseorang bahkan aku telah mengganggu orang yang ingin berciuman, masa bodoh ! habis mereka menghalangi.
"You Asshole, Man !" celotehan yang kudapati dari korban yang kutabrak. Dari celotehan protes aku tidak mendapati apa-apa setelah menemukan keberadaan Glowy, melihat dirinya tertawa tidak seperti orang normal bersama beberapa orang liar, menghisap banyak weed dari seorang pria bajingan bernama Petter Palker yang Glowy duduki di pangkuannya. Sofa cerah yang mereka duduki di depan sana berubah muram menjadi hitam legam lalu menyebar keseluruhannya. Aku tidak menyangka dia memiliki dua sisi yang berbeda, antara kepang dan wanita seperti di dalam pesta ini, atau bahkan keduanya berbeda.
YOU ARE READING
THE PROBLEM JOURNAL
HumorJustin Carlos dilahirkan pada keluarga yang berprofesi sebagai penulis novel di Chicago. Hal itulah yang membuat dirinya terpaksa masuk ke dalam sekolah jurusan sastra, padahal dia samasekali tidak memiliki kemampuan untuk menulis karangan. Bahkan d...