1

14 1 0
                                    

Berlatar rumah minimalis bewarna turangga, terjadi sebuah perdebatan kecil. Perdebatan yang tak mau gadis berjilbab itu dengar. Dan berakhirlah ia di sebuah lantai paling top di dalam rumah ini.

Beratap tanpa plafon, sederhana namun menyejukkan, itulah gambaran ruangan yang membuatnya nyaman.

Annisabilla Ratuliu. Gadis yang baru saja pulang dari berbantah dengan sahabatnya sendiri. Sesaat sampai di kamarnya, Annis memang merasakan bahwa ia telah berlebihan dengan sahabat semasa kecilnya. Ia akui bahwa penyebab pertengkaran itu, salahnya.

Bertengkar dengan teman ditambah mendengar nyanyian Rapp dari lantai bawah membuatnya teramat muak.

Disambarnya ponsel di saku celana kulot jeansnya, dan ia mulai menyadari sesuatu.

"Hari ini?" Pemilihan terakhir sekolah yang akan dituntutnya selama kurang-lebih tiga tahun lamanya.

Annis berbaring di tempat tidur.

Masuklah ia ke dalam web itu, dan mengetikkan segala hal, lalu yang terakhir, pilihan sekolah yang akan ia tuju. Dipencetnya asal, kemudian meletakkan ponsel di atas nakas. Annis memejamkan mata.




Persiapan olimpiade











Annis, berlabel gadis biasa tanpa ada sesuatu hal yang membuatnya mencolok. Setelah jam pulang sekolah mereka mengadakan tes kecerdasan. Ternyata dirinya terpilih dengan 'tak wajar', itu menurut Annis. Kalau menurut sekolah, tentu karena dia siswi terpintar 'setelah' seorang siswa kutu buku yang saat ini berada di pojok lorong perpustakaan Panchala.

Di dalam ruangan ini, dua jam setelah pengumuman peserta olimpiade.

Seharusnya Annis sudah pulang, dengan segala kekacauan di ruang tamu yang diperbuat oleh sepasang suami istri yang dilanda rendahnya rasa kepercayaan. Namun, ia justru terjebak bersama lima orang gila di sini.

Gila petualangan
Gila paras
Gila kecakapan
Gila keseganan
Dan gila buku

Annis? Dia gila karena salah pencet nama sekolah ini!

Seandainya saat itu ia tidak terbawa emosi. Hanya diperlukan satu menit saja untuk menjadi normal, di saat itu saja.

Gila, sungguh gila.

"Annis, Lo gak mau copot kerudung Lo itu? Gue yakin Lo cantik tanpa pake kerudung itu." Orang itu, manusia itu, si gadis modis yang selalu terpampang di brosur sekolah, di fyp tiktod, di videotron persimpangan jalan, bahkan telah menjadi iklan kosmetik di sebuah merek kecantikan ternama di kalangan remaja. Gadis itu menyuruhnya menunjukkan aset berharganya? Tidak bisa dibiarkan!

Apa? Annis bakal labrak tuh cewek? Oh tentu tidak, nyalinya menciut seketika dan hanya bisa tersenyum masam. Tangannya masih sibuk mencari-cari buku yang sudah direkomendasikan guru pengampu peserta olimpiade.

Hari sudah larut, hampir adzan isya berkumandang, sudah kurang lebih dari dua jam mereka bercengkrama. Hanya satu orang yang serius, Dipta. Bergulat dengan buku, sibuk menarik turunkan kacamata tebalnya, dan bisa Annis ketahui setiap lima menit sekali cowok itu akan mengecek ponselnya, mengetikkan sesuatu di benda pipih itu. Perlu dicurigai.

Annis tentu tidak seperti Dipta yang sibuk dengan buku rumusnya, iya dia juga sama sibuknya. Sibuk membaca novel karangan seorang anonim. Penulisnya selalu tak ingin menunjukkan rupanya. Entah siapa orang itu, tak ada yang tahu.

"Semuanya sudah membaca buku-buku yang saya rekomendasikan?" Tiba-tiba seorang guru pria rupawan berusia 28 menginterupsi kegiatan keenam siswa tersebut. Kacamatanya tak mengindahkan parasnya itu, berbeda dengan cowok berkacamata lainnya yang berada di ruangan yang sama.

"Sudah, Pak!" Jawab mereka kompak.

Sudah bagaimana? Dua sejoli berpacaran, dua sejoli pendekatan, dua sejo- satu orang membaca novel, dan yang lainnya berkutat dengan buku rumus. Itu yang dibilang sud- oke, pengecualian bagi yang terakhir.

"Baiklah, kalian boleh pulang sekarang. Hati-hati di jalan ya?"

SOSPETTATOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang