5

5 1 0
                                    

Setelah mencoba untuk tidak mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Dipta, Rengga mengusulkan mereka ke suatu tempat. Tempat di mana hanya Rengga yang tahu. Dan Eliza. "Gue tahu tempat yang aman."

Ketika hendak mengambil sepedanya, Eliza menginterupsi, "Lo mau ke tempat biasa?" Eliza menggapai lengan atas Rengga.

"Iya lah, cuma di sana yang paling aman."

"Ah Lo, bang, punya tempat rahasia ga dibagi-bagi ke adeknya," Angga memberengut kesal.

"Bacot lu," Rengga menghadap Eliza lagi, "kenapa emang?"

"Mending kalian pulang dulu, ke sini pake taksi, atau jalan, atau apa lah."

"Jangan bawa ponsel," imbuh Dipta yang paham apa maksud Eliza.

"Tepat tengah malem nanti, kita kumpul di sini, bawa senter dan silet yang udah karatan."

"Ribet banget," Annis merotasikan bola matanya malas.

"Ikutin apa kata gue aja bisa gak Lo?!"

"Gue gausah ikutan aja, gue gak bakalan bocorin tentang ini kok," ucap Annis bersedekap dada.

"Kata siapa? Lo juga termasuk kriteria tersangkanya di sini," itu Dipta yang berbicara. Sepertinya ia masih tak terima dengan tudingan Annis tadi.

"Ya ya ya ya, oke."

"Awas ya Lo, Kak, kalo gak dateng," ancam Angga.

"Iyaa, bawel Lo."














Keakraban Tengah Malam














Semilir angin malam, suara hewan nokturnal yang bersahutan membuat Annis bergidik ngeri. Senter berwarna hitam sudah di tangannya dan silet berkarat di saku sesuai pesanan Eliza.

Dirinya sendiri. Sepertinya yang lainnya belum datang? Ke mana mereka? Padahal di jam tangannya yang melingkar, sekarang tepat pukul dua belas tengah malam.

Hari semakin seram, dirinya hanya bisa menatap sinar dari balik tembok sekolah dan mencuri pandang di belakangnya yang terdapat jalan buntu.

Bum

Seketika keadaan gelap gulita. Sinar dari dalam sekolah mendadak padam. Sepertinya lampu di sana sudah habis masanya.

Angin menghembus halus, berhawa panas. Annis memberanikan diri menghadap ke belakang, takut-takut ia ketahuan satpam karena masih berada di lingkungan sekolah. Apakah ia akan tewas di tempat?

Dipersiapkannya senter dengan ibu jarinya di atas tombol, dan

"Bha!" Suara Rengga yang menjengkelkan. Rengga membuka kedua tangannya tepat di depan wajahnya yang lumayan ganteng, namun raut wajahnya itu seakan bisa membuat Annis melempar sandalnya sekarang juga.

"Astaghfirullah! Kak! Gue kira apaan tau gak!" Annis menggebu-gebu.

"Tsuut, diem, ayok ikut gue!" Rengga mengajak Annis lebih menjorok ke tempat yang gelap, tempat di mana pernah Annis dengar gosipnya bahwa orang yang masuk ke sana tidak pernah keluar hidup-hidup. Paling biasa ya kerasukan dan tak ingat bahwa ia pernah masuk ke sana.

Bersama senternya, Rengga menuntun langkah mereka. Tepat di ujung, terdapat tembok tinggi yang sengaja dibangun, karena tidak ingin memakan jiwa lagi, bahkan di atas tembok tertempel beling-beling yang tidak absen menghiasi tembok beton itu.

"Lo gila, Kak? Ngapain kita ke sini? Lo gak mau apa-apain gue kan?" Annis menutupi bagian penting dari tubuhnya.

"Gue mau perkosa Lo di sini!"

Seketika pupil Annis membesar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SOSPETTATOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang