04 • Kim Silly Seungmin

114 21 1
                                    

Keesokan harinya, setelah seharian melalui serentetan pergulatan batin yang panjang, Hyunjin dihadapkan pada sebuah keputusan. Ia harus kembali ke rumahnya. Apapun yang terjadi, mau sekeras apapun ia menghindar, Hyunjin tak bisa selamanya terus seperti ini. Selain faktor sayang terhadap sejumlah uang yang ia gunakan untuk membeli rumah keparat itu, Hyunjin juga tidak bisa selamanya tinggal di penginapan.

Tak apa seandainya Hyunjin kaya dan uang terus mengalir ke rekening tiap menitnya, tapi dengan keadaan ekonomi yang berantakan begini? Ditambah ia juga harus rutin mentransfer uang pada Ayah Ibu di kampung halaman tiap bulan, apakah tidak kurang ajar jika Hyunjin putuskan untuk menetap di penginapan? Memang sih semua uang yang ia dapatkan itu hasil jerih payahnya sendiri. Tapi tetap saja kurang ajar kalau ia membuang uang itu untuk tidur di penginapan padahal ia memiliki hunian sendiri. Ingatkan pada Hyunjin jika rumah itu telah jadi miliknya.

Sosok menjulang dengan rambut hitam panjang itu berdiri kaku di depan rumah yang terkunci. Hyunjin benar-benar merutuki diri setelah memutuskan untuk pulang pada pukul enam sore. Suasana rumah minimalis elegannya mendadak berubah menjadi bangunan yang menyeramkan sebab lampu teras dan halaman tak menyala. Tanpa sadar sepasang kakinya berjalan mundur satu langkah, dengan tatapan yang tak lepas dari rumah bercat krem beberapa meter di hadapannya.

Hyunjin meneguk ludah. Rasa sesal tiba-tiba menyelimuti diri, rumah di hadapannya betul-betul mengerikan. Suasana estetik yang dipancarkan telah berganti menjadi nuansa horor yang benar-benar kental. Matilah ia, sudah Hyunjin prediksi. Setidaknya tiga kali ia akan jatuh tak sadarkan diri malam ini.

Perlahan kakinya melangkah memasuki rumah setelah memutar knop pintu penuh ragu. Belum apa-apa, keringat sebesar biji jagung sudah mengalir deras di pelipis Hyunjin manakala langkahnya mulai menapaki lantai yang dingin. Diteguk salivanya susah payah, sepasang tangan Hyunjin-yang salah satunya menggenggam tas kerja- kontan mengepal kuat begitu kegelapan absolut menyapa netra.

Bangsat. Gue salah langkah. Pulang jam segini sama aja bunuh diri, Hwang bego Hyunjin!

Inginnya menyuarakan, berteriak kencang andai bisa. Namun suara Hyunjin seolah direnggut paksa membuatnya cuma bisa megap-megap sambil meraup oksigen sebanyak mungkin. Punya nyali berapa lapis ia kalau nekat berteriak di dalam rumah kencang-kencang? Bisa pingsan berdiri ia jika teriakannya mengundang satu makhluk gaib itu untuk menampakkan diri.

Hyunjin berjalan mengendap, menggerayangi dinding untuk menuntun jalan menuju saklar sambil menggumam doa dengan mata terpejam. Semoga setannya gak nongol, semoga setannya gak nongol.

Ctek.

Hyunjin bisa merasa ada sedikit cahaya yang menerobos kelopak matanya yang tertutup. Dalam posisinya yang persis menghadap dinding, pemuda itu tak juga henti merapal doa agar ketika ia berbalik. Ia tak mendapati makhluk apapun di balik punggungnya. Perlahan kelopaknya membuka, dengan sangat amat pelan Hyunjin coba berbalik seratus delapan puluh derajat.

Betapa beruntung, Hyunjin menghela napas lega setelah tak dapati apapun selepas ia berbalik badan. Punggungnya spontan dibawa menubruk dinding belakang, Hyunjin bersandar sembari hembuskan napas lega. "Anjir. Untung gak ada-"

"Lo nyariin gue, ya?"

Sempurna sudah tubuh Hyunjin membeku. Tepat di depan wajahnya setelah pemuda itu putar tubuh sembilan puluh derajat, sesosok pucat tengah berikan tatapan penuh tanya dengan kerlingan mata polos. Buat Hyunjin rasakan detak jantungnya seolah berhenti berdetak untuk sesaat.

Terjadi kontak mata selama beberapa saat di antara mereka. Hyunjin dengan tatapan ketakutan hingga bulir sebesar jagung bercucuran, sementara sosok pucat itu terus pandang pemuda Hwang penuh tanya.

"Tuh, kan, bener! Lo bisa ngeliat gue."

Brak!

"Sialan. Pingsan lagi."

-•••-

Katupnya perlahan bergerak, menandakan jika tubuh yang teronggok di atas lantai masih bernyawa. Yang mengenakan kardigan hijau masih bertahan pada posisinya selama nyaris satu jam, berjongkok sambil menajamkan penglihatan pada seonggok manusia penakut yang perlahan-lahan mencoba buka mata.

Pemuda-lebih baik disebut hantu, karena nyatanya memang begitu- bermata bulat itu melebar pelan, sedikit terkejut begitu melihat pergerakan Hyunjin yang mencoba duduk. Sambil meringis pemuda Hwang mencari sandaran, sampai akhirnya menyandarkan punggung pada tembok di belakangnya seraya mengusap-usap pelipis.

"Udah sadar?"

Pergerakan tangan Hyunjin yang tengah memijit pangkal hidung spontan terhenti karena satu pertanyaan dari makhluk yang belum ia sadari eksistensinya. Air mukanya langsung kaku begitu dapati wajah pucat yang menatapnya khawatir. Sebentar, hantu bisa khawatir memang?

"Lo gak capek apa pingsan terus? Gue gak nyeremin elah, gak usah takut kalau sama gue." Si hantu berujar panjang-dan sedikit sok akrab, lantas mendudukkan pantat di atas lantai dan mendekat pada Hyunjin yang sudah keringat dingin. "Lo satu-satunya yang bisa liat eksistensi gue di sini." Si hantu melanjutkan, kemudian berdehem.

"Mending kita kenalan dulu."

Hyunjin makin ingin melebur saat ini juga ketika tangan putih pucat itu terulur tepat di hadapannya.

"Nama gue Seungmin."

Alih-alih merespon, Hyunjin malah menatap hantu-yang-bilang-namanya-Seungmin itu dengan sepasang bola mata melebar. Sudut bibirnya bergetar, sepasang tangan Hyunjin yang memang sudah berkeringat sejak tadi, malah mengalami tremor kecil. Ia takut, sangat takut. Sampai ingin kencing. Hyunjin ingin buang air kecil!

Melihat gestur aneh pemuda di hadapannya, Seungmin buru-buru menarik kembali tangannya sebelum merubah ekspresi dari tersenyum lebar menjadi cemas. Sepertinya ia tahu kenapa Hyunjin tiba-tiba tremor. Cepat-cepat Seungmin mendekat dan malah membuat Hyunjin ingin pingsan.

"Eh, jangan takut. Gue gak jahat kok. Gue baik, lo gak percaya?"

Memang dasarnya penakut. Alih-alih tenang, Hyunjin justru kesetanan. Mencoba menjauh sejauh-jauhnya dari Seungmin disaat kedua kaki dan tangannya seolah lemas bagai jeli.

"Sumpah deh, gue gak bakal jahatin lo. Jadi-"

"JANGAN DEKET-DEKET, ANJING!" Akhirnya Hyunjin dapati lagi suaranya. Bersamaan dengan dirinya berteriak karena Seungmin terus mendekat, pemuda itu mencoba menjauh meski tak mungkin, sebab di belakangnya adalah tembok.

"Iya-iya, gua gak bakal deket-deket. Tapi lo jangan jauh-jauh-"

"JANGAN DEKET-DEKET GUE BILANG! SANA LO, HUSH HUSH!"

"Iya-"

"Pergi gak lo!?" Hyunjin tiba-tiba melotot. Matanya mendadak merah-bukan karena marah, tapi karena ketakutan hingga lebih nyaris membuat pemuda kelahiran bulan Maret itu menahan tangis. "Pergi, setan! Gue bilang pergi ya pergi!"

Pergi, setan!

Seungmin tiba-tiba tertohok-padahal nyatanya ia sendiri tak yakin apakah jantungnya bedetak. Melihat wajah gahar Hyunjin yang terlihat sengaja dibuat-buat-karena nyatanya pemuda itu mati-matian menahan takut, serta keringat sebesar jagung yang mengalir di wajah pemuda itu entah mengapa membuat kerendahan hati Seungmin langsung lenyap seketika.

Ia mendengus, sedikit memundurkan tubuh membuat Hyunjin meneguk ludah. Lalu tanpa pernah pemuda Hwang duga, Seungmin mengangkat tangan sebelum memberinya bogem mentah di pipi sepersekian detik setelahnya.

Bugh!

Tentu saja ... Hyunjin tumbang. Lagi.

"Bacot sih jadi orang." Seungmin berdecih, menatap penuh nyinyir pada Hyunjin yang kembali tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Sedikit puas, namun sedikit tak enak hati. Tapi-tidak. Hyunjin yang membuatnya marah, jadi satu tonjokan bukan masalah besar.

Seungmin mendengus, masih ingin menghina Hyunjin sebenarnya. Namun karena tiba-tiba menyadari akan satu hal, pemuda-maksudnya hantu- itu sontak melotot.

"Eh, anjir. Kok gue bisa mukulin orang sampai pingsan!?"

-•••-

October, 12th '21

𝙁𝙞𝙣𝙙 𝙏𝙝𝙚 𝘿𝙤𝙩 | 𝔖𝔢𝔲𝔫𝔤𝔧𝔦𝔫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang