O U R [4th]

879 112 1
                                    

Our Chalongrat [JaFirst]
...

Balkon di sebrang di pandang sendu dari balik kaca jendela kamarnya. Hal yang mungkin paling sering First lakukan selama hampir tiga hari terkurung di dalam kamarnya.

Tuan Novsamrong benar-benar menunaikan ucapannya. First benar-benar tak lagi dapat menikmati kebebasan seperti sebelum-sebelumnya. Tiga hari di mana ia hanya sanggup termangu menikmati keadaan kepalanya yang ramai, kemudian tenggelam dalam kesepian.

Ia sakit. Raga dan jiwa.

Belum lagi, ia sungguh di buat tak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi pada phi Ja. Apa ayahnya melarang phi Ja menjawab semua panggilan telepon darinya? Ratusan kali jika bisa di hitung seberapa besar ia berupaya menghubungi phi Ja, hanya sekedar untuk membagi keluh kesah.

Agar setidaknya luka di pergelangan tangan ini tak harus kembali meninggalkan jejak.

“Maafkan aku,” lirih First. Mengelus garis merah di sepanjang pergelangan tangannya. “Aku tak tahan phi ...”

Bukankah itu lebih baik, saat ia sungguh ingin membenturkan kepalanya hingga pecah di dinding.

Sebuah benda tipis nan tajam di genggam erat. Benda itu bagai teman berbagi lara. Teman baiknya yang sayangnya sering phi Ja buang.

“Apa phi baik-baik saja?” First akan memastikan keadaan Ja apapun yang terjadi. Ia akan berupaya menemukan celah dan segera menemui Ja.

Our Chalongrat

Sebuah mobil yang sebelumnya tampak melaju dengan kecepatan rata-rata mendadak memelan seiring belokan.

Hanya ada keheningan pekat yang menaungi suasana mobil yang berada dalam kendali seorang sopir pribadi dan sosok kurus yang duduk di kursi belakang.

“Tuan, anda kelihatan kurang sehat.” Sampai suara sang supir memecah tabir keheningan yang ada. Melirik penuh kekhawatiran pada kaca spion guna melihat keadaan sang Tuan muda di kursi belakang. “Tuan muda First.”

“Aku baik paman.” First yang semula menyibukkan diri memandang deretan pohon di sepanjang jalan, sedikit lama menyahuti ucapan sang supir.

Supir keluarga Novsamrong itu tetap tak ingin mengalihkan pandangannya pada kaca spion. Sejak berangkat tadi, pria setengah baya itu sudah merasa janggal dengan keadaan Tuan mudanya itu. “Jika Tuan muda sakit, paman bisa meminta ijin pada Tuan Novsamrong agar Tuan muda tak usah masuk sekolah dulu.”

“Aku hanya kurang tidur paman,” sahut First. Adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu, ketika sang ayah telah membiarkannya kembali berangkat sekolah. Daripada ia harus mendekam di rumah itu.

“Tuan muda terlihat pucat.”

“Aku hanya kurang terkena sinar matahari,” kilahnya lagi.

Sopir itu akhirnya hanya sanggup mengangguk pasrah. Tuan mudanya yang malang. Dulu, Tuan muda First adalah anak dengan definisi bahagia paling nyata, paling cerah dan penuh tawa sampai entah bagaimana kegelapan macam apa yang seakan menghancurkan dunia anak manis itu.

Sedangkan First tak lagi dapat memahami apa yang di rasakan oleh tubuhnya. Luka tak lagi terasa perih, lebam tak lagi terasa nyeri. Angin malam tak lagi terasa dingin, ataupun kekecewaan serta kekesalan yang tak lagi menghujam hati.

Semuanya seakan terasa hambar dan redup.

Keteguhan untuk tetap semangat dalam hidup semakin hampa di rasa.

“Tuan muda harus menjaga kesehatan, angin musim hujan itu tak baik bagi tubuh.”

Orang-orang baik yang membuatnya sedikit bangkit selalu muncul tanpa di duga. First mengulas senyum tipis, merasa bahwa setidaknya ada yang sudi mengkhawatirkan kesehatannya.

“Terima kasih paman.”

Our Chalongrat

First tak akan menyesali apa yang telah menjadi keputusannya—meskipun itu akan membuat situasi di kehidupannya kian buruk dan runyam.

Lagi—entah sudah keberapa kali, langkah kaki ini kembali di ayun panjang-panjang melewati trotoar jalan yang penuh dengan genangan air.

First seakan berniat untuk pulang lagi, setelah tiba di depan pelataran sekolahnya. Tidak, ia memang melangkah sesuai dengan jalan yang akan membawanya menuju alamat rumahnya, namun yang ia tuju adalah rumah yang berdiri tepat di samping rumah keluarganya.

Rumah phi Ja—keluarga Suansri.

Semoga saja tak ada yang mengenalinya. First sampai mati-matian mengawasi keadaan sekitar selama berjalan kaki. Mulai dari pejalan kaki sampai mobil yang berlalu-lalang. Berjalan bagai orang misterius yang berpenampilan rapat.

Membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena jarak kompleks perumahannya dan sekolah cukup jauh. Lelah? Tidak, bahkan First sampai tak menyadari kondisi kakinya yang terasa lembab di dalam sana. Sensasi perih pada kelingking kaki menggelitik tengkuk.

Tok!

Tepat setelah berhasil tiba di depan gerbang pelataran rumah keluarga Suansri, First mengetuk permukaan pagar tinggi dan hitam itu lekas.

Tok! Tok!

Ia mengetuk sampai belasan menit, namun tak ada sautan suara apapun dari dalam. Rumah juga terlihat sepi.

Kemana mae dan phi Ja? Mereka harus segera membukakan gerbang, atau ayahnya akan mengetahui keberadaannya.

Apa mereka tak mendengar ketukan ku? Biasanya Mae selalu tanggap jika ada yang mengetuk gerbang.

Mae ...”

Tok! Tok!

First menekan ulu hati yang tiba-tiba terasa nyeri. Pandangannya mendadak memburam. Jika seperti ini ia tak mungkin terus berdiri di depan gerbang. “P-phi Ja.”

Keringat dingin melesak dari setiap pori-pori tubuhnya. First memilih menekuk diri, bersandar pada pilar pembatas gerbang sembari meresapi rasa sakit yang mendera seluruh organ tubuhnya.

Menjadi kuat itu sulit.

Dirinya bukan seorang anak dengan kepribadian buruk dan pembangkang. Hanya saja ayahnya sering meliriknya dengan sebelah mata.

Ukhuk!

Nafasnya memberat saat rasa pusing telah mendominasi sampai membuatnya tak bisa membuka mata.

...


Heavy hearts, like heavy clouds in the sky, are best relieved by the letting of a little water ... [Our Chalongrat]

Continued ...

Our Chalongrat [JaFirst] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang