O U R [7th]

1.1K 121 0
                                    

Our Chalongrat [JaFirst]
...

Tuan Novsamrong seakan di butakan oleh amarah yang meledak-ledak. Layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah, First di seret tanpa belas kasihan.

Menghiraukan desisan yang beberapa kali keluar dari bibir pucat si manis, akibat cengkraman yang terlalu erat di rasa pada lengan.

Dari belakang, First menatap pundak tegap ayahnya sendu. Seharusnya pundak itu bisa menjadi sandarannya. Bisa menjadi tempat di mana ia bisa berkeluh-kesah. Tempat ternyaman setelah pangkuan seorang ibu.

Saat telah berada di ruangan keluarga, Tuan Novsamrong dengan keras menghempas lengan First hingga remaja itu hampir terjerembab.

“Sudah ku katakan jangan membuat ulah!,” bentak Tuan Novsamrong. Mencengkeram erat kerah baju sang putra. “Apa kau tahu betapa muak aku melihat sikapmu itu?!”

First memilih melayangkan pandangannya pada kaca patry tinggi tanpa ingin menjawab perkataan ayahnya.

“Membangkang dan terus membangkang HAH?!”

First melirik wajah ayahnya dari sudut mata setelah tubuhnya kembali di hempas begitu saja. Rasa penyesalan yang ada pada dirinya kemarin menguap begitu saja, tepat ketikan ayahnya itu menyeret nama Ja dalam ulahnya.

Tuan Novsamrong mengusak kepala rusuh. “Kenapa diam? Apa kau mulai tertular penyakit anak itu?!—”

“CUKUP!” First menukas keras. “Kesal dengan sikap ku bukan? Atau ingin menampar wajahku, maka lakukan! Tampar! Tapi jangan pernah menyeret nama phi Ja dalam masalah yang ku lakukan!” Desir nyeri yang merambati ubun-ubun tak ada apa-apanya dengan perasaan sakit pada hatinya.

Tuan Novsamrong sepontan mengangkat tangan. Pria itu menatap sang putra dengan mimik wajah keras dan tajam. “Kau!”

Tak!

Sebuah benda kecil di lempar begitu saja dari genggaman Tuan Novsamrong hingga menghantam lantai berlapis marmer di bawah tungkai.

Sebuah benda tipis dan tajam. Tergelatak, mengkilat di sapu cahaya lampu. Benda itu juga mendadak menarik fokus First sampai terbelalak.

“Sudah sejauh mana tingkah laku buruk mu?” Tuan Novsamrong memberi senyum sarkas. “Membangkang, tak patuh aturan, selalu melarikan diri, dan lihat fakta apa lagi yang ku dapatkan hari ini. Jelaskan apa itu.”

First membatu. Memilin bibir bawahnya erat. Apakah ayahnya itu sudah tahu kebiasaan buruknya mengenai apa yang sering ia perbuat pada lengannya?

“SUDAH BOSAN HIDUP KAU?!” Bahkan Tuan Novsamrong tak peduli lagi sekeras apa bentakan itu. Yang ada di dalam kepala pria itu hanyalah tentang bagaimana ia merasa di bodohi oleh sang putra. “Kemarikan lenganmu. Cepat.”

First jelas menghindar. Menyembunyikan kedua lengannya di balik punggung. Setidaknya ia sudah mencoba berusaha, sebelum ayahnya dengan kasar menarik kedua lengannya.

Tawa hambar lebih dulu mengudara.

“Sudah seburuk apa pergaulan mu hah?!” sentak Tuan Novsamrong. “Ada apa dengan otak mu?! Self Injury? Yang benar saja.”

Setitik air mata luruh tanpa komando. Seremeh itukah tindakan yang First lakukan bagi ayahnya?

“Kau laki-laki—”

“APA LAKI-LAKI TAK BISA TERTEKAN?!” Teriak First, “hati manusia itu sama.”

“Tertekan? Aku tak paham apa yang ada dalam kepala mu itu.”

“Maka mulailah pahami ini pho! Aku muak dengan apa yang ada di dalam hidup ku!” Aku lelah pho ... aku kesepian dan memerlukan pelukan. Ada perasaan takut yang benar-benar menghantui jiwaku, tentang bagaimana jika aku tak bisa tumbuh seperti apa yang pho harapkan.

Aku hanya remaja lemah.

Tuan Novsamrong terkekeh getir. “Pikiran mu dangkal. Seperti tak ada setitik pun darah Novsamrong yang bergejolak dalam dirimu.”

Andai dunia ini penuh dengan pilihan, maka First tak berminat untuk terlahir di dunia ini. Lebih baik menjadi awan dan terus hidup di atas sembari memutari dunia.

“Akan lebih baik kau mulai menata diri.” Tuan Novsamrong melanjutkan. “Kau harus lebih banyak di tempa. Besok kau akan berangkat ke London. Belajarlah untuk menjadi mandiri tanpa harus mendapat doktrin dari orang-orang kurang berpendidikan.”

Tau apa yang First rasakan setelah mendengar kalimat itu?

Kelopak matanya panas. Air mata berjatuhan begitu saja. Kerongkongan mendadak mengering dan terasa menyakitkan! Pertahanannya pecah pada titik ini.

Bagaimana bisa ayahnya memberinya perintah untuk pergi ke London—pergi meninggalkan Ja.

“Anda tak berhak mengatur jalan hidup ku,” ucap First penuh penekanan. “Mengapa tak mencoba mengurus kehidupan baru anda bersama jalang dan anaknya itu?”

PLAK!!

Kali ini terasa jauh lebih menyakitkan, sungguh. Pandangan First sampai di buat buram beberapa detik, dengan tubuh sepenuhnya terjerembab.

“Jaga perkataan mu sialan!.
” Tuan Novsamrong menunjuk First tepat di dada. “Jangan membuatku merasa menyesal telah membesarkan mu. Sepenuhnya yakin bahwa istri ku juga menyesal telah melahirkan anak pembangkang!”

“Aku tak meminta untuk di lahirkan!” Balas First.

PLAK!

Sudah terlampau sakit, dan tamparan itu benar-benar tak lagi mengacaukan hatinya.

“Turuti kata-kata ku, atau pergilah dari rumah ini.”

Baiklah! Dengan senang hati. First menggulung senyum getir. Sekilas menatap netra ayahnya dengan pandangan dalam. “Maaf pho.”

Maaf karena ia lebih memilih untuk pergi. First hanya belum siap jauh dari Ja.

First melangkah perlahan sembari menikmati nyeri yang mendekap seluruh tubuhnya, sampai kedua tungkainya hampir mencapai pertengahan anak tangga, saat otot-otot pada kakinya mendadak terasa tak berfungsi.

“PERGILAH YANG JAUH! KAU INGIN BERSAMA ANAK BERPENYAKITAN ITU BUKAN?! LAKUKAN AP—.”

BRAK! BRAK!

Debuman pertemuan antara tubuh penuh tulang dengan marmer menimbulkan gema mengerikan.

Tuan Novsamrong terbelalak sesaat setelah mengalihkan atensi menatap sisi tangga dan tubuh sang putra yang telah terbujur lemah.

“FIRST!”

Semuanya terasa terlalu tiba-tiba! Darah ... darah, dan tubuh First. Bagaimana bisa?! Tuan Novsamrong mendadak menjelma bagai manusia kerasukan. Mendekap kepala sang putra dalam pelukan dada. Sementara cairan merah kehitaman terus melesak keluar. “T-Tolong! Cepat kemari pelayan sialan!”

Tentram serta kedamaian—itulah yang First rasakan. Kedua matanya tak lagi mampu terbuka, namun ia masih sanggup merasakan serta mendengar apa yang tengah terjadi.

Hawa dingin mendadak mendekap tubuhnya.

“CEPAT SIALAN!”

Suara ayahnya yang penuh kekhawatiran. Seperti inikah rasanya di khawatirkan?

“First buka matamu! L-lihat pho.” Tangan besar Tuan Novsamrong menyapu darah yang telah mengaliri wajah putranya halus. “K-kau tak akan kenapa-kenapa.” Dan pria naif itu kembali mendekap tubuh sang putra erat.

Aku lelah pho.

Ada cahaya terang yang memikat kenyamanan. Ada sesuatu yang melambai di sana.

Maaf pho.

...

Nobody is very tough in this life. Everybody feels the sadness but they sometimes pretend to smile ... [Our Chalongrat]

Continued ...

Our Chalongrat [JaFirst] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang