1.

50 3 0
                                    

Februari 2017

Satu cowok dengan senter kecil di tangan kanannya, tengah berjalan di koridor sekolahnya. Cowok itu tidak terlalu tinggi, dan badannya ramping. Terdapat kacamata dengan frame warna hitam bertengger di hidung mancungnya. Rambutnya sedikit panjang, terdapat sedikit poni yang menutupi sedikit bagian dari dahinya.

Ia berjalan cepat menuju kelasnya, hendak mengambil buku tugas karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya di buku itu. Terdapat rasa khawatir di benaknya, ia khawatir buku itu hilang. Sampai di kelasnya, ia mengorek-korek lacinya cepat, sebab keadaan di sana yang gelap membuat dirinya sedikit takut kalau-kalau ada sesuatu yang muncul di hadapannya. Lepas mendapat buku catatan dengan ukuran B5, ia lantas buru-buru mengeluarkan diri dan menutup pintu kelasnya.

Langkahnya kali ini lebih ringan, sebab ia sudah mendapatkan buku tugasnya yang begitu penting baginya. Cowok berkacamata itu melangkah menyusuri koridor sekolahnya dengan rasa lega. Namun, di tengah perjalanan menuju pintu keluar sekolah, senternya tiba-tiba mati. Itu menyebabkan rasa takutnya meningkat drastis. Akhirnya, ia tetap berjalan dalam kegelapan, dengan hanya satu dua lampu serta cahaya bulan yang menerangi jalannya.

Tibalah saat ia melewati taman belakang yang letaknya di paling pojok sekolah. Ia berhati-hati, dan kewaspadaannya meningkat, kala ia melewati tempat yang terkenal angker itu. Baru beberapa sentimeter ia melewati tempat itu, dirinya disambut dengan suara orang kesakitan dan suara pukulan. Sebagai orang yang sudah mendengar rumor tentang keangkeran tempat itu, ia segera mundur, bersembunyi di balik tembok. Tak lama, ia kumpulkan puing-puing keberaniannya, lantas mengintip apa yang terjadi di tempat itu.

Di penglihatannya, terdapat dua cowok. Satu cowok berseragam-yang sudah acak-acakan-tengah duduk di kursi dengan keadaan tangan, kaki, dan badannya diikat. Ia yakin, cowok itu tidak bersekolah di sekolahnya, sebab seragamnya jelas beda. Cowok itu terlihat lemah dan tubuhnya penuh luka. Di beberapa bagian dari seragamnya, terdapat bercak darah. Keadaan cowok itu sungguh memprihatinkan.

"Please, gue... mohon... Ini sakit..." Cowok yang duduk, berujar dengan lemah menghinggapinya.

Sedang cowok satu lagi, berbalut pakaian serba gelap. Tubuh bagian atasnya dibalut hoodie berwarna hitam dengan tulisan "charming" di bagian bawah kanan. Topinya berjenis baseball cap dengan warna legam polos. Ia memakai celana jeans warna hitam untuk membalut kaki jenjangnya. Sepatu ketsnya juga berwarna legam, namun, di sisi-sisinya, terdapat lurik warna emas yang jadi penghias. Yang menarik perhatian cowok berkacamata itu ialah, cowok bertopi itu membalut tangannya dengan hand wrap yang di dalamnya terdapat benda keras, biar pukulannya kuat.

Cowok bertopi tersenyum meremehkan. Ia menarik kerah cowok berseragam. "Sakit lo ini enggak seberapa sama sakit yang gue rasakan." Cowok bertopi bercakap dengan kemarahan menguar dari wajahnya.

Ia melepas kasar genggamannya terhadap kerah cowok berseragam. Cowok bertopi itu menghela napas, berusaha mengurangi rasa marahnya. "Lo itu anak baik, berprestasi juga," cowok bertopi berjeda, "Tapi, gue kecewa sama lo," Nada bicaranya berubah menjadi nada kegeraman, "Lo sudah membuat suatu kesalahan yang benar-benar salah di mata gue. Lo tahu, di mana letak kesalahan lo?" Cowok yang duduk, tidak menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya, sebab tubuhnya sudah terlampau lemah.

Cowok bertopi, mencondongkan tubuhnya, dan menatap tajam cowok berseragam. "Lo," Tingkat kegeraman cowok bertopi terlihat meningkat, "Sudah rebut dia dari gue!"

Cowok bertopi itu kembali memukuli cowok berseragam tanpa henti. Semua bagian tubuhnya ia pukuli. Ia bahkan tak jarang menendangnya, hingga cowok berseragam itu mengeluarkan cairan merah dari mulutnya. Ia jadikan cowok berseragam itu sebagai samsak untuk meluapkan kemarahannya. Sungguh, ia tidak berperikemanusiaan.

Pesta TopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang