Pagi itu sungguh pagi yang membuatnya buru-buru. Sebab, Freya baru tahu mengenai kabar bahwa ada tugas fisika yang dikumpulkan hari ini, sedang ia belum mengerjakannya. Ketua kelas XI IPA 2, Reihan, lupa untuk memberi tahu hal itu pada gadis itu serta teman-teman sekelasnya, dan katanya baru teringat tadi malam. Untunglah, tugas itu hanya terdiri dari sepuluh soal.
Cewek berambut sebahu berjalan ke kelas dengan langkah cepat, walaupun masih ada tiga puluh menit sebelum bel masuk berbunyi, yang mana waktu tersebut cukup untuk menyelesaikan sepuluh soal. Pikirannya hanya tertuju pada tugas fisika itu, tak peduli dengan sekelilingnya yang ramai. Gadis itu bahkan melupakan roti cokelat favoritnya. Cewek itu pikir, ia harus cepat agar dirinya bisa mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu guna menghindar dari hukuman guru fisika yang tegas dan galak.
DUAK
Gadis itu terkena lemparan bola basket, saat ia berjalan di jalan pinggiran lapangan luar ruangan. Bola itu mengenai kepalanya, yang mana menyebabkannya jatuh tersungkur karena saking kuat. Cewek itu meringis sakit serta memegangi bagian kepalanya yang terkena bola, dengan harap rasa sakit tersebut menguap hilang.
Datanglah seorang cowok dengan rasa bersalah dari lapangan memghampiri Freya. Perawakan cowok itu tinggi dan tegap. Alisnya tebal dan matanya diisi iris legam yang menenggelamkan. Hidung mancung macam perosotan, namun menjadi salah satu senjata yang ampuh dalam memikat hati perempuan. Pipinya tidak gembul, labium bervolume medium dengan warna merah muda yang agak gelap. Dan rahangnya tegas nan tajam memperkuat pesonanya. Kulit berwarna sawo manis, tidak mengurangi daya pikatnya, justru mengelokkan rupanya yang rupawan.
“Kamu enggak apa-apa?” Cowok itu bertanya, yang mana menyebabkan Deolinda Freya menengok ke arah cowok itu.
“Eh, Gibran,” Freya mengenali teman sekelasnya itu, “Iya, aku enggak apa-apa, kok.”
“Maaf banget ya, aku enggak sengaja,” Gibran merasa bersalah karena permainan basketnya memakan korban, “Benar, kamu enggak apa-apa?”
Deolinda Freya mengangguk kecil. “Iya, enggak apa-apa.”
Mendengar jawaban yang bertolak belakang dari yang ia lihat, Gibran berinisiatif, “Mau kuantar ke UKS? Biar aku gendong, enggak apa-apa.”
“Enggak usah, aku enggak apa-apa.” Deolinda Freya menolak tawaran cowok bernama lengkap Gibran Arsenio Zayyan.
“AYA!”
Cowok berlabel karib itu tergopoh-gopoh berlari dari jarak jauh, setelah pandangannya mendapati gadis kesayangannya tengah terduduk dibuntuti rasa sakit. Cowok itu—yang lebih suka memanggil karibnya dengan nama kecil gadis itu—menghampiri Deolinda Freya, sahabatnya sejak usia delapan. Cowok berbahu lebar itu duduk di sebelah gadis Xavier dengan kekhawatiran memenuhi dada. Segera ia melihat keadaan sahabatnya, mengecek beberapa bagian tubuh cewek itu kalau-kalau ada luka.
“LO!”
Ardano Radivan berubah ekspresi dalam satu detik, macam mobil canggih dalam film yang berubah menjadi robot dalam sekejap. Dilihatinya cowok basket itu dengan tatapan murka. Tangannya membentuk kepalan kuat, siap menjotos cowok itu kapan saja. Rahang atas dan bawahnya saling mendorong. Hati memanas sekaligus merasa tidak rela sahabatnya itu dilukai.
Ardano Radivan berdiri, namun tatapannya tetap pada Gibran Arsenio. Tak lama, Ardano menarik kerah Gibran. Ardano mendorong cowok basket itu ke saka bangunan dengan keras, hingga terdengar suara ‘duak’ akibat pertemuan punggung Gibran dengan saka bangunan. Ardano Radivan tidak peduli terhadap ekspresi kaget pada wajah temannya.
“Lo melakukan apa ke dia?!” Ardano Radivan tersulut amarah.
Gibran mengangkat dua tangannya setinggi dua telinganya. “Wow, wow, wow, santai, Bro.” Gibran berusaha mengusir suasana tegang.
Kalimat Gibran tidak mempan, Ardano malah mendobrakkan tubuh Gibran ke saka lagi.
“Ar...” Deolinda Freya mencicit.
“Kenapa lo melempar bola ke Freya? Lo mau mencelakakan dia?! IYA?!” Kemarahan Ardano semakin meningkat levelnya.
Merasa diabaikan, Deolinda Freya berdiri dengan perlahan. “Ar, ARDANO! Please, aku enggak mau kamu...”
Sinyal itu, sinyal yang artinya ada kesalahan yang dilakukan Ardano, dan Freya tidak suka dengan hal itu.
Ardano dengan cepat melepaskan genggamannya terhadap kerah Gibran. Ia berbalik badan, menghadap ke arah Freya sepenuhnya.
“Gibran sudah minta maaf dan dia bilang, dia enggak sengaja,” Freya menerangkan, dengan butir air di sudut matanya.
“Maaf,” Ardano memegangi dua lengan gadis di depannya, “Maafkan aku.”
Freya melepas paksa tangan sahabatnya yang memegangi lengannya. Ia menyapu air matanya. “Sudah, aku mau ke kelas.”
Dua siswa itu tengah berdiri di koridor sekolah, saat teman-teman lain duduk mendengarkan pemaparan guru di dalam kelas. Keduanya sama-sama berdiri dengan satu kaki diangkat dan tangan memegangi kuping. Namun, yang satu—yang memakai seragam sekolah dengan kurang rapi—terlihat lebih santai, sedang satu lagi berair muka kesal sekaligus sedih. Mereka disetrap karena tidak mengumpulkan tugas tepat waktu dan tidak mengumpulkan tugas.
“Sudah dong, jangan sedih.” Cowok berkulit sawo manis mencoba menghibur teman sekelasnya.
Gadis berambut sebahu itu malah mengeluarkan air mata. “Hiks...”
Ia sedih. Sebab usahanya sia-sia. Cewek berambut sebahu itu, sudah berusaha mengerjakan tugas yang mana ada rasa pening di kepala saat mengerjakan. Namun, tugasnya malah tidak diterima dengan alasan terlambat mengumpulkan. Cewek itu juga jadi kehilangan kesempatan untuk mendengar pemaparan guru mengenai materi baru, yang mana dapat membuatnya keteteran. Selain itu, gadis itu khawatir nilai rapornya akan menurun, sebab ada satu pekerjaan yang nilainya nol.
“Masa tugasku enggak diterima? Padahal cuma terlambat lima menit. Hiks...” Protes gadis itu.
“Nanti kalau nilai raporku menurun, bagaimana?” Deolinda Freya itu mengungkap kekhawatirannya, “Aku takut. Hiks...”
“Hei, hei, enggak apa-apa. Satu nilai nol enggak memberi dampak yang besar terhadap rapor kamu,” Gibran Arsenio berupaya membuat gadis itu tenang, “Yuk, duduk dulu, yuk.”
Dua pelajar itu mendudukkan diri ke kursi panjang di sebelah mereka. “Kamu mau aku kasih saran, enggak?”
Cowok bernama lengkap Gibran Arsenio Zayyan itu, mendapati gadis di sebelahnya—yang lagi bersedih, mengangguk kecil pertanda persetujuan. “Begini, misalnya kamu punya sebuah perahu. Kamu mau menaiki perahu itu untuk ke suatu pulau. Setelah kamu cek, ternyata perahu itu bocor, lalu apa yang akan kamu lakukan?” Gibran bersoal, “Tentu kamu akan melakukan penambalan terhadap bagian yang bolong, iya ‘kan?”
Sampai di sini, Deolinda Freya tidak menemukan korelasi antara nilainya dengan apa yang dipaparkan temannya itu.
“Sama saja dengan nilai kamu. Kalau ada satu yang nilainya nol, maka usahakan untuk menambalnya, dengan apa? Dengan cara mendapat nilai bagus di tugas lain, kalau bisa sempurna.”
“Jadi, kamu enggak usah sedih, masih ada pekerjaan selanjutnya yang bisa kamu kerjakan.” Gibran menyimpulkan.
“Yuk, enggak usah sedih lagi,” Gibran kembali menghibur, “Senyum dong, mana senyumnya? Sini, aku mau lihat senyum kamu yang manisnya mengalahkan gula.”
Kalimat penenang dari temannya, mujarab dalam mengurangi kesedihan yang melanda gadis bermarga Xavier itu.
Gibran Arsenio tersenyum manis, dan mengusap lembut pucuk kepala gadis di sebelahnya. “Sudah, jangan menangis, ya? Mau susu cokelat?”
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.
Gibran terkikik pelan. “Lucu banget.”
***
tbc.Halo teman-temaaaann!
Bagaimana ceritanya? Maaf ya, kalau tidak memenuhi ekspektasi teman-teman :)
Kawan-kawan semua, ada yang punya saran untukku? Boleh bagi di sini ya, terima kasih ><
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesta Topeng
Teen Fiction"Kamu adalah padi, tetapi kamu malah mencari tebu." "Kamu bagai bumi, dan aku bagai ozonmu." "Well, if you try to get close to her, you'll see Orca." Hidup bagaikan pesta topeng: yang kau lihati, acapkali bukan yang sejati. Kisah seorang gadis manis...