5.

7 1 0
                                    

Satu cowok berseragam yang sudah tidak rapi, baru saja keluar dari mobil sedan hitam yang harganya triliun rupiah. Sudah terlihat dari wajahnya, bahwa cowok itu tengah dihinggapi lelah setelah menghabiskan sebagian waktunya untuk menyempurnakan masa depan. Cowok itu melangkahkan kakinya dengan malas menuju pintu masuk dari sebuah rumah besar. Belum sempat menempelkan tangan pada gagang pintu, pintu tersebut sudah dibuka oleh seorang wanita berumur dengan pakaian serba rapi—kepala pelayannya.

Rumah yang ia masuki berukuran enam ratus meter persegi. Rumah besar itu bergaya modern-mini malis dengan dominasi warna abu-abu terang dan putih. Terdapat garasi di pojok kanan rumah itu dengan folding gate warna abu-abu tua yang menjadi tutup. Pintu masuk rumah itu diapit oleh dua jendela yang memiliki kesan modern. Di pojok teras, terdapat dua tanaman hias yang tingginya sekitar enam puluh sentimeter.

Griya itu mempunyai dua lantai. Lantai satu diisi garasi di sebelah kanan, ruang tamu, kamar utama, ruang keluarga, satu ruang kerja, ruang makan sekaligus dapur mewah, dan kamar-kamar untuk para pegawai yang terletak di belakang. Sedangkan, lantai dua berisikan dua kamar, perpustakaan, ruang keluarga, dan terdapat teras belakang yang menghadap ke arah barat. Selain itu, terdapat taman hijau yang mengelilingi rumah besar itu, dan terdapat dua buah gazebo—yang letaknya di depan dan belakang—di taman itu.

“Kakak!” Satu orang cowok yang terlihat masih muda, menyambut cowok yang masih terbalut seragam.

Cowok berseragam yang ia panggil dengan sebutan kakak, tidak memberi respons terhadap sambutan yang ia ujarkan. Kakaknya hanya lanjut berjalan dengan ransel di punggung. “Kakak sudah makan?” Cowok berpakaian kasual itu memberi soal kepada kakaknya, sembari mengikuti kakaknya berjalan.

“Eh, anak Mama sudah pulang.” Satu wanita cantik dengan pakaian santai, memberi basa-basi pada cowok berseragam itu.

“Kamu sudah makan?” Wanita itu bersoal, namun tidak direspons sedikit pun oleh yang ditanyai, “Makan dulu, Mama masak opor ayam, kesukaan Radivan.”

Cowok itu berhenti setelah mendengar kalimat itu, yang mana berhentinya membuat tiga orang yang sedari tadi mengikutinya—mama, adik lelakinya, dan kepala pelayannya, ikut berhenti. Ia langsung membanting arah jalannya menuju dapur.

“Mama ambilkan, ya?” Soal wanita cantik itu lepas melihat ketertarikan cowok itu terhadap opor ayam.

“Enggak usah, saya bisa sendiri, dan Tante panggil saya dengan panggilan ‘Ardano’, hanya Mama dan Papa yang berhak memanggil saya dengan sebutan ‘Radivan’.” Ardano Radivan berkereta, membuat wanita cantik—ibu tirinya— dan adik lelakinya terdiam.

Ardano Radivan memberikan ranselnya pada wanita tua berpakaian rapi yang bernama Desrikah Anastasia. Ia lantas melanjutkan jalannya menuju dapur dengan niat untuk memakan sesuatu. Sampai di tempat memasak, ia membuka kulkas dua pintu yang letaknya di sebelah lemari penyimpanan. Maniknya tertuju pada deretan benda oval warna oranye.

Cowok itu ambil sebuah wajan anti lengket, lalu menaruhnya di atas kompor tanam. Dirinya masukkan sedikit minyak zaitun ke dalam wajan itu setelahnya. Tak lama, ia memencet beberapa tombol hingga terdapat warna merah menyala di bawah wajan. Dirasa wajan sudah panas, cowok bertubuh tingi itu memecahkan telur di wajan tersebut. Setelahnya, ia raih sebuah piring dan menaruh nasi di atasnya.

Kursi meja makan berwarna krem Ardano tarik. Duduklah dirinya di sana, lantas meletakkan sepiring nasi dengan telur mata sapi di atasnya. Dirogohnya saku kanannya, mencari keberadaan benda persegi panjang nan tipis berwarna hitam. Setelah didapatkannya, cowok itu meletakkan ponsel pintarnya di sebelah kanan piring. Lalu, ia suap sesendok nasi, diikuti dengan sepotong telur panas yang baru saja dimasak.

Pesta TopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang