IRIS

131 16 7
                                    

By. Annelysme

Right, hidup di zaman sekarang susahnya minta ampun. Sudah cari pekerjaan susah, kejahatan merajalela, bahkan walaupun sudah dapat pekerjaan masih banyak bos yang semena-mena.

Iris menghela napas lelah. Sudah empat kali dalam satu tahun ini dirinya dipecat. Alasannya sama, yaitu karena mereka tidak memiliki uang tambahan untuk mempekerjakannya.

Kondisi ekonomi saat ini memang gawat darurat. Sehingga banyak sekali perusahaan yang melakukan PHK, termasuk perusahaan tempat Iris bekerja.

Mau bagaimana lagi, kalau ini sudah takdirnya. Merengek minta diterima kembali bukanlah gayanya. Apalagi demo seminggu penuh, benar-benar tidak ada gunanya. Lebih diterima saja seikhlas-ikhlasnya. Kalau sudah rezekinya, nanti dia akan mendapatkan pekerjaan dan bertahan lama.

“Ris. Gue dengar-dengar lo di-PHK lagi, ya?”

Iris mengangguk sambil menatap kosong jalan raya di depannya. “Iya. Emangnya kenapa? Lo mau kasih gue kerjaan?”

“Bukan gue, sih, tapi ada teman gue yang butuh karyawan. Lo mau?”

Wanita itu memindahkan ponsel yang dipakainya dari telinga kiri ke telinga kanan. “Pekerjaannya apa dulu?” tanyanya memastikan. Ia tidak ingin bergabung dengan perusahaan yang tidak jelas atau bisa jadi pekerjaan itu ilegal.

“Gue enggak tahu. Coba tanya dulu. Nanti gue kasih kontaknya. Gimana mau? Untung-untung buat nambah penghasilan.”

Iris menimbang-nimbang, “Boleh. Langsung kirim aja. Gue mau langsung konfirmasi sama orangnya. Lagi butuh banget pekerjaan soalnya. Thanks, ya, Dar.”

“Sip! Gue matiin teleponnya dulu.”

Suara panggilan terputus menjadi akhir perbincangannya dengan Dara.

Wanita itu duduk di kursi halte sambil membuka ponselnya. Ada pesan dari Dara tak lama kemudian. Dara mengirimkan foto sebuah kartu nama, di dalamnya terdapat nama orang itu, perusahaan, nomor telepon, dan juga alamatnya.

Iris menuliskan nomor telepon itu dan meneleponnya kemudian. Apesnya, sebelum sempat panggilan terjawab... ada seseorang yang mengambil ponselnya.

Decakan sebal ia keluarkan. Ia segera bangkit dari duduknya, dan mengejar pencuri yang merampas ponselnya.

“Ah, sial,” decaknya sambil berlari sekencang mungkin. “Berhenti!!” teriaknya.

Orang yang mengambil ponselnya melesat secepat kilat, sehingga dirinya cukup kesusahan mengimbangi. Namun, Iris tidak menyerah. Ponsel merupakan benda paling berharga di hidupnya. Tanpa ponsel, ia tidak bisa menjalani kehidupan di era modern ini

Entah kenapa... tidak ada orang yang sudi membantunya. Apa ini karena di jalan raya? Atau karena orang-orang malas membantu orang asing yang bukan siapa-siapanya?

Tak mau peduli. Iris tetap berlari. Mau dibantu atau tidak itu bukan prioritas. Yang terpenting, ponsel itu harus kembali di tangannya.

“Hey! Pencuri! Kembalikan handphone saya!” teriaknya lagi, berharap teriakannya di dengar. “Di depan sana ada kantor polisi, apa Anda tidak takut?!!”

Pencuri itu menoleh padanya, dengan tetap berlari tentunya. Entah benaran jago atau mantan atlet lari. Dia tidak menabrak walaupun berlari tanpa melihat ke depan.

Sayangnya, Iris tidak melihat dengan jelas bagaimana rupa orang itu. Dia memakai masker dan topi untuk penyamarannya. Profesional juga pencurinya, tapi kenapa harus ponselnya?

Break The StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang