Oleh: millamarihulu
Aku bermimpi lagi. Masih mimpi yang sama tentang Elis dan segudang alasan mengapa aku kembali ke kampung halaman yang sangat enggan kujejakkan lagi semenjak menempuh pendidikan di pesantren ini.
Di mimpiku, Elis menangis. Gadis manis itu menatap kosong cermin di hadapannya lalu berbisik padaku, memintaku menjemputnya dan membawanya pergi. Suara tangisan bayi di belakang sana membuat bisikan Elis terdengar semakin lirih. Tidak, bukan cuma tangisan bayi yang kukira itu anaknya. Ada juga teriakan laki-laki asing yang mengata-ngatai sahabatku itu dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor.
Ih, kata-kata pantangan yang tidak pernah kudengar keluar dari mulut orang berpendidikan. Ustazah pasti murka kalau mendengar deretan kata-kata terlarang itu.
Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Kami berhadapan. Keningnya berkerut. Kubaca gerak bibirnya, 'tolong'. Tuhan, hatiku saja panas, apalagi Elis yang dimaki semacam itu setiap hari.
Kupandangi sekujur tubuh Elis. Gadis belia itu hanya mengenakan daster kumal. Lengan dan kakinya dipenuhi semburat luka yang membiru. Ia tampak sangat lemah, ringkih, dan rapuh.
"Elis?" tanyaku.
Gadis itu menjangkaukan tangannya ke depan cermin. Refleks aku juga menjulurkan tangan, berusaha menyentuhnya. Mungkin aku bisa menyelamatkannya. Mungkin aku bisa menariknya dari neraka berkedok rumah tangga itu. Mungkin aku bisa mengembalikan keceriaan gadis usia 16 tahunan yang seharusnya kini masih belajar bersamaku.
Aku melangkah ke depan, semakin dekat dengan sosok yang sangat kurindukan itu. Saat telapak tangan kami mulai bertemu, ia memudar. Tangan, lengan, bahu, dan seluruh tubuhnya meleleh menjadi air bening berwarna kemerahan. Tangisan bayi di sekitar kamu semakin riuh. Pun juga makian itu berubah menjadi gelak tawa yang teramat menakutkan.
Tidak! Apa yang terjadi? Kenapa Elis menghilang? Aku menoleh ke kanan dan kiri, berusaha menemukan Elis yang seharusnya masih ada di hadapanku. Namun, ia benar lenyap, seperti tidak pernah ada. Aku berteriak dan seketika semua menjadi gelap.
Aku terbangun di kamarku yang lampunya sudah dipadamkan. Jam weker di sebelah kanan menunjukkan waktu pukul tiga pagi. Saatnya tahajud, pikirku. Namun, kali ini pikiranku semakin kalut. Mimpi itu datang lima malam berturut-turut. Pasti ada alasan mengapa Elis muncul dan meminta tolong, kan?
Mungkin aku gila atau terlalu banyak menonton film horor, tapi aku percaya ada sesuatu yang tidak beres dengan Elis. Dan memang benar. Elis tidak pernah baik-baik saja sejak pernikahan itu.
***
"Kenapa kamu mau menikah dengan laki-laki itu? Astaga, Lis. Dia seumuran bapakmu."
Aku melempar dodol ke kasur Elis. Sahabatku ini sedang dipingit. Besok ia akan dilamar seorang laki-laki kenalan bapaknya dari kampung sebelah. Siapa sangka, Elis, sang primadona kelas, tidak lanjut SMA karena akan segera jadi istri orang."Bagaimana cara menolaknya, Na? Ibuku bakal marah besar."
"Lalu, kamu nggak masalah?"
Elis tidak menjawab. Ia pasti sudah bermasalah dengan ibunya yang keras kepala itu. Bisa kulihat ada bekas luka biru di betis bagian belakangnya. Pasti luka akibat dipukul rotan.
"Gimana kalau kamu kabur saja?" usulku.
Iya. Aku tahu ini gila. Anak usia 15 tahun mengusulkan minggat dari rumah hanya demi menghindari pernikahan paksa yang kian marak terjadi di kampung kami. Mungkin untuk beberapa gadis itu bukan masalah. Daripada melanjutkan sekolah, nilai pas-pasan, lebih baik menikah untuk menghemat uang. Masa bodoh dengan SMA apalagi kuliah. Perempuan tidak dikodratkan untuk hal-hal semacam itu, kata sebagian orang yang pro dengan ide gila bernama pernikahan dini ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break The Stigma
Cerita PendekKarena kesehatan mental bukanlah hal yang harus dibiarkan. Menjadi bahagia bukan lagi sebuah angan-angan. Menjadi bebas, dari setiap kekangan dunia. Ini adalah aku, Yang tidak sempurna namun akan memeluk bentala.