Everything Will Be Alright

41 4 0
                                    

By: My_Rein13

"Percayalah, kamu yang pendiam dan secuek ini, ada orang yang diam-diam suka padamu," ucap Raisya diam-diam melirik ke belakang punggungku tanpa aku sadari.

"Benarkah? Tahu dari mana?" tanyaku, yang jujur saja, sedikit penasaran.

"Itu rahasia," balasnya tersenyum misterius.

***

Namaku Nadine Aurora Anggraini. Orang-orang sering memanggilku Nadine, padahal panggilan asliku Aurora. Seperti yang kalian tahu, aku hanyalah seorang gadis pendiam dan cuek. Temanku bahkan bisa dihitung dengan  jari-jari sebelah tangan. Tidak banyak, bukan?

Aku tidak pandai bersosialisasi, tidak pandai mencari topik pembicaraan, tidak bisa berbaur dengan khalayak ramai, dan tidak bisa bersikap bebas di depan orang-orang. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang interaksi sosial. Jangan tanya kenapa, karena aku sendiri juga tidak tahu jawabannya. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan diriku menjadi seperti ini.

Hari-hariku dihabiskan dengan membaca buku, kebanyakan buku cerita, mengobrol dengan teman di media sosial, mengikuti komunitas kepenulisan, dan juga menulis novel. Dipikir-pikir lagi, aku jarang membaca buku pelajaran. Mungkin hanya sekedar baca saja, terutama saat mengerjakan tugas atau saat akan ulangan.

Cukup banyak kisah-kisah tak mengenakkan yang telah kulalui. Parahnya, aku bahkan tidak sepenuhnya sadar kalau itu adalah sesuatu yang tidak mengenakkan. Jangan membawanya ke makanan, oke? Karena ini lebih mengarah ke rasa, perasaan, apa yang kita alami dan apa yang kita rasakan.

Saat ini, aku sedang duduk manis di meja makan sembari memandangi pemuda yang tengah menyibukkan dirinya di dapur. Sedikit bocoran, orang itu adalah adalah orang yang menyelamatkanku, memberiku semangat, dan memberiku harapan untuk hidup. Dia adalah penolongku, sekaligus pacarku.

"Apa yang kamu lihat? Serius sekali."

Aku tersentak kaget dari lamunanku saat mendengar suaranya. Tanpa sadar, aku menoleh ke arahnya yang saat ini tengah fokus menatapku. Aku gelagapan, sungguh, dan secara refleks, aku mengalihkan tatapanku.

Sekalipun aku tidak menatapnya, aku tahu kalau dia berjalan mendekatiku, terdengar dari langkah kakinya. Aku yakin saat ini mukaku bersemu merah. Bahkan setelah tiga tahun bersama, aku masih tidak tahu bagaimana harus bersikap saat menghadapinya.

"Untuk apa begitu gugup? Aku tidak makan orang, oke?"

Dia tertawa kecil membuatku semakin merasa malu. Tidak bisakah dia berhenti menggodaku? Tidak tahukah dia kalau aku sudah sangat malu saat ini? Mukaku mungkin sudah semerah mawar sekarang.

"Aku tidak gugup," jawabku sembari memaksakan diri menatap ke arahnya.

Ah, sial. Aku mengambil keputusan yang salah. Aku benar-benar kehabisan kata-kata saat melihatnya yang tersenyum lembut ke arahku. Bagaimana sekarang? Apa sebaiknya aku mengalihkan tatapanku saja? Tapi, itu tidak sopan, bukan?

"Kamu tidak memikirkan hal-hal aneh lainnya, bukan?" tanyanya terdengar khawatir? Ah, kupikir aku salah dengar.

"Tidak!" aku membantah, dan lagi-lagi, aku menatap tepat ke arahnya.

Dia masih tersenyum, tapi ada kilatan aneh di matanya yang tidak aku sadari. Pemuda itu mengulurkan tangannya dan mengacak pelan rambutku.

"Jangan memikirkan hal-hal aneh lagi, ya?" ucapnya terdengar membujuk, membuatku mengangguk tanpa sadar.

"Lalu, tunggu sebentar. Sarapannya akan selesai sebentar lagi," ucapnya kemudian berbalik kembali ke arah dapur.

Aku menopang pipiku dengan kedua tanganku, menatap punggungnya yang dulu pernah melindungiku dari banyak orang. Kalau tadi aku benar-benar tidak salah mendengarkan nada suaranya yang khawatir, kurasa aku tahu kenapa. Ini harus dimulai dari tiga tahun yang lalu.

Break The StigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang