09. Camp (2) ft. Radit

28 7 1
                                    



Strawberry and cigarettes — Troye Sivan



🐙🐙🐙



Sempurna. Satu kata yang cepat melintang kala tubuh Lavana sepenuhnya bersandar di bawah kayu kokoh pohon flamboyan. Kelopak merahnya sesekali berterbangan tak terorientasi, tersangkut pada surai Lavana yang diikat messy buns acak. Dari bukit gelap nan tinggi ini, gadis yang sedang memangku dagunya di atas lutut tersebut, mampu melihat jelas bagaimana kobaran api mengerlingkan percikan bunga merah, menyinari satu komplek perkemahan.

Jalanan tanah setapak yang tadinya ramai oleh sekelebat orang berbaju coklat, kini dimakan senyap bersama beberapa orang yang telah rapi terbungkus jubah tidur. Ditambah semilir angin yang mendayu mersik, mengusik helaian rambut Lavana yang telah terhempas tidak beraturan.

Berbekal name tag di dalam co card bening bertali hijau, Lavana mengambil langkah kecil lalu menemukan adanya spot sepi yang bisa ia tempati sementara. Sendiri ditemani sunyi dalam sepi. Tujuannya adalah mencari celah udara segar, sebelum bersatu pekat pada lautan manusia yang nantinya akan berbaris mengambil makan malam.

"Cocok banget, dah, dijadiin arena adu semut! Semut dinosaurus yang jalan-jalan kayak tabrak-tabrakan gitu. Mana ada yang kumpul gitu kayak ibu-ibu qosidah," gumamnya memicing sipit. "Emang udah paling bener jalan keluar. Ara sama Chilla terlalu mager buat keluar kemah, cih."

Sesaaat setelah mengambil posisi terlentang santai agar kedua kelereng coklatnya itu bisa lebih terkesima lagi memandang hamparan bintang, telinganya tidak sengaja menangkap suara gemersik dari arah belakang. Ah, masa bodoh kepada siapa pun yang ingin memarahi dirinya sebab berada di luar area perkemahan.

"Heh!"

"Anjing!" pekik Lavana refleks, langsung membangkitkan tubuhnya. Terkejut tiba-tiba suara menggelegar muncul dalam sederet radiusnya. Diputarnya badan kecil yang sudah terduduk tegak itu ke belakang, dan netranya secara responsif menangkap satu gerakan pria yang bersiap melemparkan gulungan buku tulisnya. "Ah—eh, ih, aduh, astagfirullahaladzim!"

Lelaki tersebut, Radit, akhirnya ikut bersinggah gusar di sebelah Lavana. Ia mengarahkan telunjuknya pada wanita yang sudah memasang wajah melas itu sebagai tameng. "Lo kayaknya tiap ketemu gue gak ada kata lain selain anjing kali, ya?"

"Sa—saya, teh, gak tau kalo itu Kakak. Sumpah, Kak, saya gak ada niatan ngomong anjing lagi, dah!" cicitnya kikuk seraya menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

"Kebiasaan buruk."

"Well—saya minta maaf sekali lagi."

"Lo ngapain di sini?" tanyanya mulai sedikit melupakan masalah sepele Lavana, yang dirasa tidak akan ada ujungnya bila terus dinasihati.

Dalam hening yang terbendung, Lavana tampaknya berpikir bodoh. Memastikan lagi kegiatan apa yang sedang ia lakukan di dalam rimbunan pepohonan malam seperti ini. Namun, sela-sela pikirannya itu menyela balik, lebih tepatnya menodong balik satu tanda tanya besar yang harusnya Lavana pakai untuk membalas Radit.

"Sebentar, Kakak bukannya OSIS? Ini urusannya anak pramuka, bukan? Urusannya sama kemah apa, ya, Kak?" Tepat sasaran mengupas rasa penasaran yang sebenarnya tidak penting juga untuk ditanyakan.

Radit hanya menggendikan bahunya tak acuh. Kini ia ikut menatap lahan petak yang sekarang suasananya tampak seperti arena persiapan perang. Lapangan hijau dengan kemah berwarna hijau tua di setiap bahu berpetak. Atau lidah api unggun yang bergelora ke angkasa luas.

"O—oh, ma—maaf, Kak. Lupa kalo OSIS punya privasi," sambung Lavana untuk mencoba tidak membuat masalah lagi. Diamnya Radit sungguh menyembunyikan seribu rutukan yang ada dalam diri Lavana.

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang