06

19 2 0
                                    

1 + 1 = Lee Haechan, kiw<3
ᕦʕ •ᴥ•ʔᕤ

Kembali ke tujuan awal. Dhava pun mengantarkan Rana dengan selamat sampai depan rumah, pada pukul tepat jam 8.

“Masuk, ya. Langsung istirahat, kamu keliatan capek banget.” Dhava menginterupsi.

“Iya-iya, bawel banget sih kamu. Sama aja kayak si Reza,” ujar Rana sembari memberikan helm yang tadi dipakainya.

“Bawel begini juga ada manfaatnya buat ngingetin kamu. Nanti kalo kamu sakit, siapa yang susah?”

“Aku lah yang susah. Memangnya siapa? kan aku yang sakit, aneh sih.”

“Duh, bibirmu minta dicium banget, ya.”

“Pulang sekarang atau aku tendang ke Afrika?!” tegas Rana. Ternyata Rana lagi emosi. Dhava sih, ngomongnya aneh-aneh.

“IYA-IYA INI MAU PULANG!” Dhava menghidupkan mesin motornya lalu bergegas pergi dari pekarangan rumah Rana itu. Rana hanya terkekeh geli melihatnya. Dejavu sekali. Semua yang Dhava ucapkan, bahkan yang Dhava lakukan, itu semua sudah terjadi didiri Reza.

Ah, Rana jadi merindukan Reza. Biasanya dia selalu menganggu Rana kemanapun dia pergi. Walaupun ada urusan mendadak, Reza akan menghubunginya bahkan mengirim pesan sampai belasan. Tapi kali ini tidak, Reza kemana ya?

Rana harus mengenyahkan pikiran negatif nya. Lebih baik dia masuk ke dalam dan membersihkan diri, lalu sholat Isya.

Nara baru keluar dari kamarnya saat dirasa Rana sudah masuk ke dalam kamar.

Penglihatan Nara menangkap sesuatu di dalam plastik yang berada di atas meja makan. Nara mendekatinya untuk melihat apa isi di dalam plastii tersebut.

Bola mata Nara seketika berbinar saat melihat satu porsi bakso ada didepannya. Nara harus segera menghabiskannya. Nara sangat lapar sekali, di rumah juga tidak ada makanan yang tersisa. Nara hanya bisa menunggu Rana, karena Nara tidak bisa memasak. Biasanya Rana yang melakukan semua pekerjaan itu, dan Nara hanya menikmati hasil kerja Rana.

Nara biasanya membeli makanan di luar sendiri. Namun sepertinya dia tidak mau bersusah payah untuk membeli makanan. Tadi saat pulang sekolah pun ia tidak makan apapun. Dia hanya menunggu Rana pulang dan membawakannya makanan enak. Nara bukannya rindu Rana, ia hanya tidak mau menghabiskan uangnya untuk makanan. Biarlah Rana yang membelikannya. Lebih baik, uang dari Rana, Nara pakai untuk membeli kosmetik kecantikannya.

Kalian kira uang yang diberikan Rana kepadanya cukup untuk membeli seonggok barang kecantikan? Tidak. Rana selalu saja memberikan uang 500 ribu sebulan untuknya. Padahal gajinya hampir 3 juta rupiah. Rana memang perhitungan.

Beralih lagi ke Nara yang sedang membuka bungkus bakso tadi. “Lumayan lah walaupun bakso juga. Seenggaknya dia masih inget kalo harus ngasih makan gue!”

Nara menarik satu kursi dimeja makan dan mendudukinya. “Asli, enak banget baksonya. Beli dimana ini bocah, kudu dipatokin sih suruh beli lagi nanti. Bodo amat duit dia abis, dia kan banyak duitnya.” Nara memang tidak peduli pada keuangan Rana. Padahal uang yang didapatkan Rana juga untuk membayar uang sekolah mereka, tagihan listrik rumah, tagihan air, belanja bahan makanan serta lainnya.

Nara pikir mudah untuk mendapatkan uang? Tidak, Nar. Itu sulit. Nara belum merasakannya.

Nara memakan seporsi bakso itu sendirian tanpa tahu jika Rana mengintip dari samping tembok pembatas dapur rumahnya. Ada perasaan senang ketika Rana mendengarkan ucapan-ucapan yang dilontarkan Nara. Yah, walaupun Rana tahu jika ia hanya dimanfaatkan. Tidak apa-apa, selagi kakaknya itu bisa tersenyum. Sesayang itu memang Rana kepada Nara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fereastra [ft. Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang